Sebelah Kamarmu, Tempatku Sembuh

Agung Saputra
Chapter #2

Kota Ini Diam, Tapi Menyala

1

Bandung malam hari punya cara sendiri untuk membuatmu mengingat kesepian.

Bukan dengan sunyi total, tapi dengan gemuruh yang samar—sepeda motor lewat, denting sendok warung nasi goreng, dan suara televisi dari kamar kos sebelah.

Kosan Bu Tuti punya lima kamar. Tapi hanya dua yang terisi saat aku datang.

Satu dihuni Vivi.

Yang satu lagi masih kosong—kata Bu Tuti, "menunggu seseorang yang belum pulang."

Kalimatnya seperti doa atau kutukan. Aku belum tahu yang mana.

Kamar nomor tujuh terasa lebih hidup malam itu.

Entah karena tubuhku mulai menerima kenyataan, atau karena luka mulai bicara lebih pelan.

Aku duduk di lantai, punggung menyentuh tembok, dan membuka koper satu per satu.

Buku puisi, pakaian longgar, charger, botol kosong, dan kaset mini dari Walkman yang sudah lama tidak kupakai.

Aku putar satu.

Lagu pertama: Ada Band – Manusia Bodoh.

Aku tertawa sendiri.

Karena rupanya, walkman ini tahu isi hatiku lebih baik daripada psikolog mana pun.

2

Vivi belum kembali malam itu.

Tapi kamarnya tak sepenuhnya sunyi.

Dari sela dinding yang tipis, aku bisa dengar kipas angin tua berdengung, dan suara ketikan—seperti laptop yang terus menyala walau pemiliknya entah ke mana.

Aku berjalan ke balkon.

Dari atas, kota ini terlihat seperti jantung yang berdetak pelan.

Lampu kendaraan menyala-mati.

Udara dingin menggelayut di atas genteng rumah.

Di balkon sebelah, ada seseorang duduk sambil memetik gitar.

Suara petikannya tidak sempurna, tapi cukup untuk membungkam pikiranku yang riuh.

Dia menoleh. Lelaki berkacamata dengan hoodie robek di lengan.

“Lo baru ya?” tanyanya.

“Nara.”

“Raka.”

3

Kami bicara tak lebih dari lima menit malam itu.

Tapi sunyinya bertahan lebih lama.

"Aku suka balkon ini," katanya.

"Kenapa?"

"Karena dari sini, kita bisa lihat semua hal bergerak, tapi kita nggak harus ikut bergerak."

Aku tersenyum.

“Lo kuliah di mana?”

“Udah enggak. Lagi berhenti. Mencoba sembuh, katanya.”

Katanya.

Seolah itu kutipan dari orang lain.

Atau kalimat yang dia sendiri belum percaya sepenuhnya.

4

Pagi harinya, aku menemukan tulisan di bawah meja belajarku.

Dipahat dengan ujung pensil atau pisau kecil. Tulisan tangan yang ragu, tapi dalam:

“Aku pernah percaya seseorang bisa jadi rumah.

Tapi lalu rumah itu terbakar.”

Aku mengusap huruf-huruf itu pelan,

dan untuk pertama kalinya sejak tiba di kota ini,

aku menangis.

5

Aku ke warnet sore itu.

Mencari nama Iqbal di Google, lalu menghapus pencarian.

Mencari akun Facebook lama Raka, lalu menutup tab.

Mengetik: “Bagaimana cara menulis puisi yang tidak terdengar seperti ratapan?”

Hasil teratas: “Tulis puisi seperti kamu menulis surat yang tak pernah bisa dikirim.”

Aku membuka Youtube.

Mengetik: Efek Rumah Kaca – Desember.

Lihat selengkapnya