Sebelah Rumah Sebelah Kota

Kenon BB
Chapter #1

Yang Teriak-teriak

Malam masih baru, namun suara dari arah rumah tetangga begitu menggangu. Teriakan anak lelaki. Begitu keras. Begitu menyayat. Sudah hampir setiap malam suara itu terdengar.

Loko, yang selalu hilang konsentrasi belajar setiap suara itu muncul, jadi penasaran. Ada apa sebenarnya di rumah sebelah itu? Namun, selalu saja ia tidak menemukan jawaban. Rumah tetangga begitu tertutup hingga ia tidak bisa mengetahui keadaan di dalamnya. Maksudnya, Loko belum juga tahu siapa saja yang tinggal di rumah itu.

Memang, Loko dan keluarga, baru menempati rumah mereka sekarang ini tidak lebih dari satu bulan hingga belum semua tetangga berhasil mereka kenal. Meski begitu, rumah tetangga yang selalu mengeluarkan suara teriakan dan menyayat tiap malamnya itu telah mereka ketahui. Keluarga sebelah itu bernama keluarga Pak Gading. Pak Gading dan istri memiliki tiga orang anak, namun tak satu pun yang terlihat oleh Loko.

Sepengetahuan Loko, anak terkecil dari keluarga Pak Gading adalah lelaki dan suara yang menyayat itu pastilah berasal darinya. Loko sangat yakin dengan itu, tidak mungkin jika suara itu berasal dari Pak Gading atau tiga perempuan lain yang ada di rumah tetangga tersebut. Suara Pak Gading lebih berat dan lebih besar, Loko pernah mendengarnya ketika suatu hari Pak Gading berbincang dengan ayahnya di pinggir jalan.

Dengan malas, Loko menutup buku pelajaran. Dia berjalan menuju jendela, membukanya, dan langsung melihat keluar. Dari jendela kamar, Loko bisa melihat rumah tetangga. Posisi kamar Loko yang berada di lantai dua memberi keuntungan tersendiri. Pagar pendek sebelah rumah tidak mampu menutup pandangannya. Masalahnya, pandangan Loko hanya mampu melihat keadaan rumah sebelah yang terlihat sangat sedikit penerangannya. Cahaya yang paling terang, tampak jelas, hanya berasal dari ruang televisi rumah itu.

Loko mengedarkan pandangan ke sebuah kamar di sudut rumah. Kamar itu hanya diterangi lampu pijar yang berkekuatan 10 watt. Terlihat tidak begitu terang, namun Loko mampu melihat sebuah bayangannya di sana. Bayangan anak kecil dari balik kain jendela, lelaki, yang sedang berjalan mondar mandir. Sesekali bayangan itu berhenti, berteriak, dan kemudian berjalan lagi. Terus berulang.

Tiba-tiba, di kamar itu, muncul bayangan lain yang lebih besar. Bayangan kecil itu terdiam dari gerak dan suara. Bayangan besar itu menampakan kalau tangannya memukul bayangan kecil. Tanpa suara. Bayangan kecil tidak bisa melawan, lalu bayangan besar itu hilang lagi, meninggalkan bayang kecil di dalam kamar. Bayangan kecil menghilang, mungkin merikuk di kasur, suara terdengar lebih menyayat, sebuah tangisan.

Loko sedikit panik memperhatikan kejadian tersebut. Ia sampai menjinjitkan kaki untuk dapat melihat lebih jelas lagi, namun yang ia dapati hanya sebuah kekosongan. Yang terdengar hanya tangisan yang semakin menyayat. Segera ia edarkan pandangan ke arah ruang televisi. Ia lihat bayangan besar tadi, yang ada di kamar tempat kejadian tadi, duduk dan menekan sesuatu hingga cahaya menjadi berubah. Tampaknya bayangan besar itu mengganti saluran televisi.

Kemudian, Loko kembali mengedarkan pandangan ke kamar pertama, ia tidak melihat apa-apa. Ia juga mencoba lihat ruang lain, juga tak ada apa-apa.

Loko menutup jendela dengan cepat, adegan tadi membuat kepalanya pusing. Ia tidak pernah melihat penyiksaan seperti itu secara langsung walau hanya bayangannya saja, selama ini ia hanya melihat di televisi. Segera ia rebahkan badan di kasur, mencoba memikirkan, ada apa sebenarnya di rumah tetangga itu? Tak lama kemudian, suara tangisan dari sebelah rumah menghilang, mungkin anak kecil itu telah tertidur. Loko pun coba memejamkan mata.

“Ayah, mungkin nggak kalau seorang bapak memukul anaknya sendiri?” tanya Loko keesokan harinya ketika sarapan.

“Kenapa?” balas ayah sambil terus mengunyah makanan.

“Hm, tadi malam Loko lihat dari jendela kalau di rumah sebelah ada kejadian kaya’ gitu.”

“Ngapai kamu lihat, nggak sopan lho.”

“Ya, kan, suara teriakan itu menggangu, jadi Loko penasaran, terus Loko lihat....”

“Apapun alasannya, itu tidak sopan. Sudahlah terusi makanmu nanti terlambat sekolah,” balas ayah.

“Tapi, kok bisa, seorang bapak memukul anaknya sendiri?”

“Hm, kamu benar-benar ingin tahu jawabannya ya?”

Lihat selengkapnya