Sesuatu yang kejam, setidaknya itu ada dalam pikiran Kano ketika mendapati hari telah tiba di waktu senja. Tidak seperti ketika keluarganya masih lengkap, senja adalah sesuatu yang indah, ia selalu menunggu waktu itu tiba. Bermain di halaman bersama kedua kakaknya dan memandang bapak dan ibunya duduk di beranda sambil berbincang, sangat indah. Menurut Kano, kini, seandainya saja hari tanpa senja, ia pasti akan sangat senang. Ia tidak harus menunggu bapaknya pulang dan menerima hukuman baru. Hm, menunggu sesuatu yang seharusnya ia hindari. Hukuman. Hukuman yang tidak mengenal kata salah atau tidak, yang penting pasti kena hukuman.
Seperti senja ini, Kano tak bisa tenang menunggu pintu depan terbuka. Ia tidak akan menerima ketukan pintu dari luar agar dibukakan pintu. Yang ia dapati hanyalah pintu dengan sendiri terbuka dari luar, ya, bapaknya memang selalu menguncinya dari luar, maka tak akan ada ketukan pintu dari bapaknya itu.
Seketika pintu terbuka, tampak suasana senja di luar sana, seorang lelaki besar memasuki rumah dengan tenang. Tubuhnya sangat tinggi, mungkin sekitar seratus delapan puluh centimeter, wajahnya hampir penuh dengan rambut, rambut di atas bibir dan rambut di dagu tumbuh begitu suburnya, begitu juga dengan jambang, segalanya tampak penuh.
Lelaki itu menenteng bungkusan dan langsung meletakannya di atas meja makan. Kano paham dengan kebiasaaan itu. Kemudian lelaki itu masuk kamar dan tak lama kemudian keluar lagi dengan pakaian yang lain dan langsung menuju dapur membuat kopi. Setelah itu, seperti kemarin-kemarin, lelaki itu langsung hanyut dalam acara tv. Kano pun paham dengan semua kebiasaan itu. Setiap lelaki itu mulai duduk di depan tv, maka tak ada lagi waktu untuk Kano menonton tv. Yang Kano lakukan, sama seperti kemarin-kemarin, adalah menuju meja makan, membuka bungkusan, melahapnya, dan begitu selesai langsung menuju kamar. Semuanya ia lakukan tanpa kata, sama seperti kemarin-kemarin.
Malam ini, ia tidak melakukan teriakan seperti hari-hari sebelumnya. Ia takut akan kena pukul lagi. Beruntunglah hari ini bapaknya tidak marah-marah dan menghukumnya jadi ia bisa merasa sedikit tenang. Suasana seperti ini tidak mau ia ganggu dengan teriakan yang juga tidak menghasilkan apa-apa.
Kini, ia cuma bisa berharap pesan yang ia kirimkan dengan panah mainannya tadi dapat dibaca tetangga barunya itu. Yang ia lakukan malam ini hanyalah membaca buku cerita saja.
***
Makan malam selesai, Loko membantu ibunya membersihkan piring-piring kotor. Mengangkat piring kotor itu ke tempat cuci piring, menunggu ibunya selesai mencuci, dan kemudian meletakkan piring yang baru dicuci itu di rak piring. Suatu kebiasaan Loko kalau sehabis makan, kecuali sehabis makan pagi karena ia langsung berangkat sekolah jadi tak sempat membantu membersihkan piring kotor.
“Kamu jadi pelihara ikan, Ko?” tanya ibu begitu mereka sampai di ruang tv.
“Jadi.”
“Terus kapan kamu angkat akuarium di samping rumah itu? Kemarin Ibu lihat sudah ada airnya sedikit, mungkin terisi air hujan, kalau tidak segera dipindahkan akan jadi penyakit lho.”
“Penyakit?” tanya Loko bingung.