Senin, setelah pulang sekolah, selesai ganti baju dan makan siang, Loko segera melakukan kebiasaan barunya. Pergi ke samping rumah dan melompati pagar yang pendek itu untuk mengunjungi kawan barunya, Kano. Loko membawa bungkusan makanan yang telah dibungkuskan Ibu. Tidak lupa ia membawa buku cerita pesanan Kano.
“Kano!” ucap Loko berulang-ulang sambil mengetuk kaca jendela.
Tak lama kemudian Kano muncul dari balik jendela, menyibakkan kain jendela dan membuka jendela kacanya. Namun sayang, jendela itu tidak bisa dIbuka secara lebar, hanya lubang kecil saja.
“Aku bawakan makanan dan buku cerita.”
Kano menerima semuanya melalui celah jendela kacanya. Wajahnya tetap murung walau ia paksakan untuk tersenyum. Bagamanapun juga, ia sangat senang mendapat kunjungan Loko.
“Kamu sakit ya?”
Kano hanya menggeleng mendapat pertanyaan seperti itu.
“Terus kenapa murung gitu?”
“Aku menyesal karena lari saat di pasar hewan kemarin.”
“Memangnya kenapa?” tanya Loko lagi sambil menyandarkan bahunya di tembok.
“Seandainya saja aku tidak lari, pasti aku tidak dikurung lagi. Ternyata jalan-jalan kemarin adalah ujian untukku.”
“Ujian?”
“Ya, kalau aku tidak lari dan tidak bertingkah kaya’ kemarin, bapakku akan menyekolahkan aku lagi,” jawab Kano sambil menunduk. Sama seperti Loko, bahu Kano juga sudah menempel di tembok.
Loko terdiam, ia tidak tahu harus bicara apa. Ternyata perubahan Pak Gading mengandung niat tertentu, sayang mereka tidak tahu sebelumnya, pikir Loko. Perlahan Loko memandang ke arah dalam kamar Kano. Ia memperhatikan isi kamar tersebut dengan teliti.
“Kamar kamu bagus” puji Loko untuk mengalihkan perhatian dan kesedihan Kano. Kano hanya tersenyum saja.
“Aku sebenarnya ingin punya kamar kaya’ kamu. Kasurnya tidak menggunakan ranjang, kan enak jadi nggak takut jatuh dari ranjang. Dan itu, meja belajar kamu juga lesehan, keren!” ungkap Loko panjang lebar.
“Masih bagus kamarmu. Aku bisa bayangkan kalau di dalam sana banyak buku dan mainan. Hm, pasti ada TV untuk main playstasion kan?” balas Kano yang mulai melupakan kesedihannya.
“Kok tahu?”
“Aku bayangkan saja kok, tapi benarkan?”
Loko mengangguk sambil tersenyum riang.
“Aku beli ikan yang sama dengan kamu punya,” ucap Kano malu.
“Warna kuning dan berjambul juga?”
“Yup.”
“Wah, keren, jadi kita punya ikan yang sama. He he…”
“Kok tertawa?” balas Kano bingung.
“Nanti kita kan bisa tukar-tukar ikan tanpa diketahui orangtua kita kalau ikan kita sudah berganti.”
“Tapi…” Kano menundukan kepala, ia tidak tahu hal itu bisa kesampaian. Saat ini ia tetap terkurung dan itu untuk waktu yang ia juga belum mengerti. Maksudnya, ia tidak tahu kapan ia bisa keluar rumah dan bermain di rumah sebelah, rumah Loko.
Mendapati kalimat yang menggantung yang keluar dari mulut Kano, Loko langsung paham. Ia tahu kalau Kano pasti berpikir tentang keinginan untuk bisa berkeliaran di luar rumah.
“Santai, Kan, kamu sebentar lagi pasti akan diizinkan bermain dan sekolah lagi.”
“Kamu yakin?”
“Yup, ayahku sudah punya cara untuk membebaskan kamu.”
“Cara?”