Seminggu setelah ayah Loko pergi ke kota sebelah keadaan masih belum banyak yang berubah. Kano tetap terkurung dalam rumah dan belum juga bisa sekolah. Loko pun sudah berulang-ulang melompati pagar untuk mengunjungi Kano. Perubahan hanya ada pada ikan mas koki mereka yang berwarna kuning dan berjambul, ikan-ikan itu semakin rakus saja. Setiap kali diberi makan, maka dengan cepat makanannya habis, tidak peduli berapa banyak yang diberikan. Hebatnya, tak satu pun dari ikan itu yang mati. Padahal, jika ikan mas koki terlalu banyak makan, ia akan mati kekenyangan.
Kano mulai jenuh dengan keadaan ini. Ia sudah tidak sabar untuk sekolah dan bermain di alam bebas, namun semuanya hanya seperti mimpi.
“Sabar, Kan, mungkin ayah masih usaha,” ucap Loko dari balik jendela Kano yang terbuka sedikit.
“Ya, seharusnya aku tidak terlalu banyak berharap,” jawab Kano dengan malas.
“Tenang saja pasti berhasil.”
“Entahlah, aku sudah nggak seyakin minggu lalu. Hm, nasib.”
“Kamu kok putus asa sih!”
“Bukannya putus asa tapi sudah memang kaya’ gini mau gimana lagi,” balas Kano dengan malas, sangat malas malah.
“Ye, terus mau bagaimana?” Loko juga ikutan malas.
“Bagaimana kalau kamu datangi sekolahku saja…” ucap Kano tiba-tiba semangat.
“Kamu kan sudah tahu sekolahku, terus kamu jumpai guruku dan bilang keadaanku. Pasti beres. Mereka pasti akan datangi bapakku dan memaksa untuk kembali menyekolahkanku,” sambung Kano lagi.
“Tapi kalau mereka nggak percaya?”
“Pasti percaya kan ada suratku.”
“Suratmu dipegang sama Ayah.”
“Yah sudah aku buat lagi. Tunggu ya…” ucap Kano sambil menuju meja belajarnya.
Loko bingung melihat Kano yang sibuk menulis. Ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi guru-guru SD Calon Pemimpin tempat Kano sekolah. Walaupun ia sudah tahu tempatnya tapi untuk ke sana sendirian, ia lumayan takut juga. Ia memang jarang keluar sendirian selain ke sekolah, kalaupun keluar ia pasti bersama ayah atau ibunya.
“Nih, suratnya,” ucap Kano sambil memberikan sebuah amplop dari celah jendela.
“Tolonglah, aku sudah bosan kaya’ gini terus,” sambungnya.
“Tapi…”
“Ko!” terdengar teriakan Ibu dari sebelah rumah yang membuat kalimat Loko terhenti.
“Yah sudah, besok pulang sekolah aku langsung ke sekolahmu. Aku pulang dulu, sudah dipanggil Ibu,” ucap Loko pelan sambil mengantongi surat yang diberikan Kano itu. Sesungguhnya ia masih tidak begitu yakin untuk ke sekolah Kano, namun melihat Kano yang seperti itu ia menjadi tidak tega. Ia setujui saja rencana tersebut.
Kano memandang Loko melompat pagar. Sedikit harapan terpancar dari wajahnya. Semoga Loko benar-benar pergi ke sekolahnya, pikirnya.
“Ada apa, Bu?” tanya Loko begitu sampai di halaman rumahnya sendiri, ibu sudah menunggu dengan manis di situ.
“Ada tamu.”
“Tamu?”