Sebelah Rumah Sebelah Kota

Kenon BB
Chapter #10

Yang Ramai-ramai

Pagi. Loko terlambat bangun dengan pusing di kepala. Tadi malam ia tidur dengan perasaan yang tidak tenang. Bayang yang baru masuk di kamar Kano tadi malam membuat pusing. Ia tidak sempat melihat dengan jelas bayangan itu jadi ia sibuk mengira-ngira siapa yang masuk ke kamar Kano. Ia sangat berharap kalau yang datang bukan Pak Gading, ia takut dengan bapaknya Kano itu. Wajah Pak Gading sangat menyeramkan, ditambah lagi dengan kekejaman yang dibuatnya terhadap Kano, membuatnya menjadi sosok yang benar-benar harus dihindari.

“Ye, segitunya sampai merajuk segala…” goda ibu begitu melihat Loko menuruni tangga.

Loko tetap cuek sambil terus melangkah ke kamar mandi. Kalau tidak buru-buru ia bisa terlambat sekolah, pikirnya.

Melihat Loko yang cuek seperti itu, ibu malah tambah menggoda.

“Masih ingin tahu bagaimana caranya Bu Gading dan Nuri tiba di rumah kita?” ucapnya sambil mendekati Loko yang sudah berada di bibir pintu kamar mandi.

Loko memandang ibu dengan bingung.

“Ye, malah bengong, nih handuknya,” balas ibu sambil memberikan handuk kepada Loko. Loko memang sering lupa membawa handuk ke kamar mandi.

Loko menerima pemberian ibu itu dengan bingung juga. Ibu ngomong apa sih, pikirnya. Langsung saja ia masuki kamar mandi. Dalam otak Loko, ia harus cepat mandi agar tak terlambat sekolah. Itu saja. Eit, masih ada satu lagi yang masih dipikirkan Loko, siapa yang masuk ke kamar Kano tadi malam?

Selesai mandi dan berpakaian, Loko langsung menuju meja makan untuk sarapan. Ayah dan Ibu sudah menunggu dengan tatapan kuatir, mereka kuatir kalau Loko merajuk benaran. Bisa runyam, Loko itu kalau merajuk sering kelewatan. Untuk merayunya juga sulit. Pernah Loko merajuk gara-gara tidak mau pindah rumah ke kota ini, merayunya harus dengan jalan-jalan ke kebun binatang selama tiga hari berturut. Begitulah Loko, anak semata wayang, manjanya sering kelewatan. Jadi, saat ini, ibu dan ayah sedang berpikir, bagaimana caranya merayu Loko jika ia merajuk benaran.

Loko langsung memakan masakan yang disediakan ibu dengan lahap. Nasi goreng dan telur mata sapi setengah matang serta segelas susu. Ibu dan ayah belum memakan sarapan meraka, tatapan meraka terus memperhatikan Loko yang makan dengan lahap.

“Enak nasi gorengnya, Ko?” tegur ibu.

Loko tidak menjawab pertanyaan itu, ia hanya mengacungkan jempol saja.

“Telurnya?” kali ini ayah yang bertanya.

Sama seperti tadi, Loko hanya mengacungkan jempol saja.

Ayah dan ibu saling memandang, tampaknya mereka bingung dengan sikap Loko yang sama sekali tidak bicara.

“Tadi malam tidurnya bagaimana?” tanya ayah lagi.

Tiba-tiba Loko langsung menghentikan makannya. Ia memandangi kedua orangtuanya dengan serius. Ayah dan ibu menjadi bingung dengan sikap Loko yang seperti itu.

“Itu dia, Yah, yang buat Loko pusing…” ucap Loko.

“Kamu sakit?” sambar ibu dengan kuatir.

“Nggak, cuma tadi malam Loko nggak bisa tidur dengan tenang. Tadi malam sebelum tidur, Loko kan ngobrol dengan Kano dan kakaknya, biasalah pakai bahasa isyarat, nah tiba-tiba muncul orang lain yang sampai sekarang Loko nggak tahu siapa. Loko takut kalau yang datang ke kamar Kano itu Pak Gading.”

Ayah dan Ibu menarik napas lega.

“Kok senyum-senyum?” tanya Loko begitu melihat orangtuanya malah senyum dan bukan prihatin.

“Nggak pa-pa, kiraian kamu sakit,” balas ibu sambil mengedipkan mata pada ayah.

“Kok pakai main mata juga?” tanya Loko lagi, ia merasa ada yang disembunyikan orangtuanya itu.

“Terus?” ayah malah bertanya dan bukan menjawab pertanyaan Loko tadi.

“Apanya?” balas Loko bertambah heran dengan sikap kedua orangtuanya.

“Ceritanya masa’ cuma sampai di situ. Cerita tentang yang membuat kamu nggak bisa tidur itu, memangnya kamu lihat bentuk badannya seperti apa?” tanya ayah mencoba mengalihkan perhatian Loko.

“Itu masalahnya, Yah. Begitu ada bayangan yang masuk, Loko langsung menunduk di bawah jendela. Biar nggak ketahuan,” terang Loko.

“Yah sudah, nggak pa-pa. Mungkin saja yang masuk Bu Gading.”

Lihat selengkapnya