Loko berjalan pelan melewati rumah Kano, sepi, tak ada teriakan-teriakan seperti tadi pagi ketika ia berangkat sekolah. Loko berhenti tepat di depan tiang listrik, di perhatikannya dengan serius tiang itu. Sudah dua kali ia menabrakan diri ke tiang itu, pikirnya sambil tersenyum kecut. Setelah memperhatikan tiang yang menjulang tinggi itu, tiang yang dua kali telah membuat kepalanya benjol, ia kembali meneruskan langkahnya pulang.
Dalam perjalanan ia tetap melihat rumah Kano yang sepi. Ada apa di rumah itu, tanyanya dalam hati. Mengapa tak ada suara, tanyanya lagi sambil mengaruk-garuk kepala. Apakah tadi malam pembicaraannya dengan Kano lewat jendela telah diketahui Pak Gading, pikirnya lagi. Waduh, bagaimana ini, tanyanya lagi dan lagi.
Sesampai di rumah, Loko langsung membersihkan diri dan berganti pakaian. Kemudian, langsung menuju meja makan. Ibu telah menunggunya dengan santapan yang begitu menggiurkan.
“Bu, kenapa rumah sebelah sepi?” tanya Loko langsung.
Ibu hanya menggeleng sambil menyendokkan nasi ke piring Loko.
“Tadi pagi saat Loko pergi sekolah di rumah Kano sangat ribut, suaranya sampai di jalan,” sambung Loko lagi.
Ibu tetap sibuk menyendokan lauk.
“Bu, kenapa ada perceraian?” Loko mengeluarkan pertanyaan yang selama ini masih disimpannya.
“Apa?” ibu seketika menghentikan kegiatannya menyendokan lauk ke piring Loko.
“Cerai?” ulang Loko lagi.
“Dapat dari mana kata itu, Ko?”
“Kano”
“Oh…” ibu berpikir, mungkin sudah saatnya Loko tahu. Sebelumnya ia selalu saja menghindar ketika akan berbicara tentang itu dengan Loko. Baginya, Loko masih terlalu kecil untuk mengetahui hal itu. Namun, keadaan telah membuat Loko harus tahu lebih dulu.
“Kenapa, Bu?” ulang Loko lagi sambil mulai memakan makan siang yang telah disendokan ibu.
“Perceraian itu terjadi akibat ketidakcocokan.”
“Ketidakcocokan?”
“Yah, hm, ini terjadi karena salah satu atau keduanya selalu ingin menang. Misalnya, kamu dan Kano yang sedang bermain playstasion. Kamu ingin main sepakbola dan Kano ingin main basket, terus tak ada dari kalian yang mau mengalah, kan jadi nggak cocok.”
“Gitu aja?”
“Yah, nggak. Terus kalian jadi marah-marahan dan saling bermusuhan. Terus tidak berteman lagi. Nah, itu yang namanya perceraian.”
“Oh, jadi Pak Gading dan Bu Gading bermusuhan,” Loko mengambil kesimpulan.
“Kurang lebih seperti itu,” jawab ibu sambil tersenyum. Ia tidak tahu apakah penjelasannya dimengerti oleh Loko.
“Tapi kok bisa bermusuhan, ya? Kan kasihan Kano,” ucap Loko prihatin.
“Mau bagaimana lagi, Ko, mungkin bagi mereka itu jalan yang paling baik.”
“Tapi kan kasihan Kano,” ulang Loko lagi dengan nada protes.
“Memang kasihan si Kano. Namanya perceraian pasti tidak baik untuk anak. Seperti kalau kamu bercerai dengan Kano kan kasihan dengan playstasionnya, nggak ada yang main.”
“Tapi Loko sama Kano kan nggak musuhan dan nggak pernah main playstion bersama?”
“Loko, itu namanya perumpamaan,” ucap ibu dengan sabar.
“Perumpamaan?” tanya Loko bingung.
“Ya, sudahlah, makan saja,” balas ibu. Dia tidak tahu harus menjelaskan arti kata perumpamaan kepada Loko. Menyesal juga ia katakan kata itu, pikirnya.
“Tapi Bu…”
“Apa lagi?” sambar ibu yang sepertinya tidak siap jika Loko bertanya yang bukan-bukan.
“Kenapa rumah Kano sepi? Apa mereka semuanya pergi?”