Awal-awalnya, ketika menerima surat terbaru dari Kano, Loko menjadi sangat bingung. Kano menuliskan kata-kata yang menurut Loko sangat tidak layak. Di surat itu Kano mengatakan kalau Loko tidak mau menolongnya maka Loko bukan temannya lagi.
Loko menjadi sedih sekaligus marah, bukannya ia tidak mau menolong atau membalas surat Kano, tapi ia lebih memilih mengikuti kalimat orangtuanya. Dengan tidak mengabari Kano adalah salah satu cara untuk menolong, seperti kata ayah, ia ingin Kano tidak manja dan bergantung terlalu banyak pada orang lain.
Seandainya ia tetap menolong seperti yang diinginkan Kano, tentunya ia akan kena marah ayah dan ibu, itu merupakan alasan yang paling kuat hingga ia tidak melakukan permintaan tersebut. Terserah kalau Kano marah, yang penting ia ingin hubungannya dengan ayah dan ibu baik-baik saja, begitu pikiran Loko. Ia tidak mau membuat orangtuanya yang sangat baik itu menjadi marah, ia sangat senang dengan keadaaan yang telah ada, ia tidak mau merusak hanya gara-gara ia menolong seorang kawan.
Seperti kata ayah lagi, biarkan orang menyelesaikan masalahnya sendiri, toh, kita telah membantunya. Dan, setiap orang tentunya punya cara sendiri untuk menyelesaikan masalahnya. Seperti saat ini, Loko mulai tidak begitu terpengaruh dengan surat Kano itu. Ia mulai sadar kalau tetap menolong Kano, maka Kano akan tetap seperti itu terus menerus.
“Bukannya Ayah ingin mempengaruhi kamu, lihatlah isi surat Kano itu, ia jadi memaksa kamu untuk menolongnya. Itu berarti sudah tidak benar. Kita menolong kan dengan rela bukan karena terpaksa. Masa’ mengatakan kamu bukan temannya lagi kalau kamu tidak mau membantu secepatnya. Itu nggak benar, Ko, kamu tidak boleh seperti itu. orang yang minta tolong nggak boleh maksa, itu namanya pemaksaaan,” ucap ayah setelah mendengar laporan Loko tentang surat terbaru dari Kano.
Loko hanya mengangguk saja. Sengaja ia beritahukan isi surat itu setelah lewat tiga hari sejak surat itu datang. Tak ada yang tahu tentang surat itu, Loko menyimpannya dengan rapi. Ibu juga tidak tahu ketika tukang pos datang memberikan surat itu. Loko yang menerima surat itu secara langsung dan langsung juga ia sembunyikan begitu selesai membacanya. Entah mengapa saat itu ia ingin menyelesaikan masalah itu sendiri, maksudnya kemarahannya terhadap isi surat Kano itu.
“Ayah tak ingin kamu bermusuhan dengan Kano, maklumlah, mungkin ia lagi tertekan. Tapi, teman kamu kan bukan hanya Kano seorang. Kamu bisa dapat teman yang lain. Ayah yakin, besok juga si Kano sadar dengan yang kamu lakukan, maksud Ayah, ia sadar kalau kamu benar dengan tidak menolongnya.”
“Terus apa Loko harus balas surat Kano?” tanya Loko dengan polos. Sesungguhnya ia ingin membalas surat itu segera, namun ia ingin mendapat persetujuan lebih dahulu.
“Memangnya kamu mau balas apa? Mau marah-marah juga?” tanya ibu sambil menggoda.
“Enaknya bagaimana?” tanya Loko lagi.
“Ye, malah nanya ulang. Jawab dulu pertanyaan tadi,” tambah ibu.
“Nggak tahu, Loko nggak tahu, maunya marah juga biar Kano tahu siapa Loko sebenarnya,” jawab Loko sombong.
Ayah dan ibu tertawa terbahak melihat Loko yang sok jagoan.
“Memangnya kalau marah-marah terus masalahnya bisa selesai?” celetuk ibu.