Hari ini, November 2024.
Broom, broom!
Suara mesin meraung di antara deru angin dan derit aspal yang panas. Di jalanan pinggiran kota M, sebuah mobil melaju kencang. Di balik kemudinya, Mira duduk dengan tubuh tegang. Kedua tangannya mencengkeram setir erat, bibir bawahnya tergigit, napasnya pendek-pendek. Sesekali, ia menekan klakson keras-keras.
Tiinnn! Tiinnnn!
Mobil-mobil di depannya tak kunjung memberi jalan. Mira menatap ke kaca spion, mencari celah, berharap bisa memotong jalur.
“Bara, tunggu Mama, sayang…” gumamnya lirih, putus asa.
Kalimat itu berulang keluar dari bibirnya, menjadi mantra gugup di tengah deru mesin dan bunyi klakson yang tak berhenti. Ia tak peduli pada tatapan sinis atau umpatan dari pengemudi lain. Yang ada di kepalanya hanyalah wajah putra kecilnya—Bara.
Hari itu, Mira sedang berpacu dengan waktu. Di kursi belakang mobilnya tergeletak sebuah tas besar berwarna hitam, berat oleh tumpukan uang tunai. Uang itu bukan miliknya untuk berfoya-foya. Itu adalah uang tebusan.
Mata Mira memanas, kenangan kemarin sore menyeruak begitu saja—ia baru selesai mandi saat menyadari rumah sepi. Pintu yang mestinya terkunci ternyata terbuka sedikit, dan Bara … tak ada. Panik, ia berlari keluar rumah, berteriak memanggil nama putranya ke setiap sudut jalan. Tapi hasilnya nihil.
Saat hendak melapor ke kantor polisi, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal:
Kamu ingin anakmu kembali? Siapkan uang 500 juta. Aku akan hubungi lagi besok.
Mira awalnya tak percaya. Tapi detik berikutnya, sebuah foto masuk—foto Bara dengan mata yang ketakutan.
Sejak itu, dunia Mira runtuh. Ia hanya berpikir satu hal: menyelamatkan Bara, dengan cara apapun.
Pagi harinya, ia menarik semua tabungannya lalu menerima pesan lanjutan:
Datang ke pinggiran kota N. Di sana ada stasiun pengisian bahan bakar di km 93. Masukkan uang ke loker dan tunggu satu jam. Setelah aku konfirmasi uangnya, kamu akan bertemu anakmu di sana.
Perjalanan ke pinggiran kota N, seharusnya hanya satu jam jika lancar. Tapi sialnya, hari itu jalanan padat oleh truk-truk besar yang berjalan lambat di jalur pegunungan yang berkelok-kelok dan kondisi jalanan yang menanjak atau menurun.
Tiiin! Tiinnn!
Mira menyalakan lampu sein kanan. Jalur di depannya menurun dengan belokan tajam sekitar 200 meter. Di depan, seekor “raksasa besi”—truk tronton besar—bergerak seperti siput.
“Cepatlah, cepat!” desisnya.
Ia mencari celah. Jalur sepi di depan, dan Mira nekat memutar setir ke kanan. Ban berdecit, mobilnya berhasil menyalip. Tapi—
Bruakk!
Suara benturan keras meledak dari belakang. Mira terperanjat, menoleh cepat ke spion—truk yang tadi disalipnya kini melaju liar, seperti kehilangan kendali.
Bruaakkk!
Benturan berikutnya membuat tubuh Mira terpental ke depan. Mobil kecilnya terdorong kuat. Ia berusaha mengendalikan arah, tapi truk itu terus mendorong dari belakang.