Sebelum Dia Hilang, Berubah Jadi Kenangan

mahes.varaa
Chapter #3

PRIA DARI GEDUNG SEBELAH

[Berita hari ini: Kecelakan beruntun terjadi di pinggiran kota M menuju kota N. Kecelakaan terjadi di jalan raya M km 93 tepatnya di tikungan menurun tajam yang memang sudah rawan terjadinya kecelakaan. Kecelakaan ini terjadi saat bus yang membawa rombongan sekolah dari kota M menuju kota N mengalami rem blong di jalanan menurun. Bus itu menabrak truk besar di depannya di mana di depan truk itu ada sebuah mobil yang dikendarai oleh seorang wanita. Awalnya truk itu berusaha mengerem untuk menahan bus yang mengalami rem blong. Tapi karena jalan menurun, truk tak mampu menahan beban bus itu dan buruknya, bagian belakang mobil di belakang pada bagian depan truk yang membuat mobil itu terdorong bersama dengan truk oleh bus. Kecelakaan tak terhindarkan. Mobil bersama dengan truk jatuh ke jurang di depannya bersama dengan bus dan beberapa penumpangnya yang gagal menyelamatkan diri. Korban dalam kecelakaan ini diperkirakan akan terus bertambah karena masih dilakukan evakuasi. Berikut beberapa nama korban yang berhasil diidentifikasi: …]

Setelah melihat namanya muncul di berita kecelakaan di layar lobi rumah sakit, Mira membeku. Dunia seakan berhenti. Keheningan menggantung di ruangan yang penuh dengan keramaian orang-orang lalu lalang di rumah sakit. Saat ini … benaknya diserang oleh ratusan pertanyaan tentang dirinya,  tentang kecelakaan yang dialaminya, dan tentang fakta yang baru saja disebutkan di berita yang sedang Mira lihat saat ini. 

“Apa aku sudah mati?” tanyanya lirih. Mira mendekat pada Bagas dan berusaha untuk menyentuh Bagas dengan kedua tangannya. Tapi sayangnya, tangannya melewati begitu saja tubuh Bagas seolah tubuh itu hanya bayangan layaknya hologram seperti yang pernah ia lihat dalam film-film.  “A-aku … enggak selamat dari kecelakaan itu?” tanyanya terbata.  

Mira melihat ke arah Bagas yang tadi sempat membeku karena terkejut. Reaksi Bagas itu mengingatkan Mira pada usahanya meminta tolong pada orang-orang tadi. 

Sial!

Pandangannya beralih dari Bagas kepada dirinya sendiri. Ia menatap tubuhnya dari atas ke bawah. Pandangannya kemudian berhenti pada kedua kakinya. Bagian bawah tubuhnya itu kini tak terlihat. Bagian tubuh yang harusnya jadi penopang tubuhnya, alat untuk bergerak, kini tak terlihat. Ia ingat dengan jelas, tadi sudah berjalan ke sana kemari, dan sekarang ia baru menyadari—sadar bahwa ia tak merasakan kakinya, seluruh tubuhnya yang harusnya terkena efek samping dari kecelakaan yang tadi dialaminya. 

Apa ini sebabnya semua orang tadi mengabaikanku?? 

Masih tidak bisa mempercayai pandangannya, kedua mata Mira beralih dari kakinya ke arah kaki Bagas. Kaki pria itu mengenakan sepatu kets, dan yang paling penting—menapak pada lantai yang memantulkan bayangannya. Pada titik ini, ia menyadari satu hal lagi: selain kakinya tidak terlihat, pantulan bayangannya tak terlihat di lantai. 

Perbedaan itu sudah cukup jelas jadi jawaban. Tidak ada yang salah dengan Bagas. Kesalahan terletak pada dirinya, tubuhnya sendiri. Kini … ia tahu dengan jelas alasan semua orang mengabaikan permintaan tolongnya, bentakannya di depan meja pusat informasi. 

Ini sebabnya semua orang tadi mengabaikanku. 

Mereka semua mengabaikanku bukan karena enggak mau nolong aku, tapi karena mereka enggak bisa lihat aku! Enggak bisa dengar suaraku!

Aku sudah mati. 

Dalam kecelakaan itu, aku bukannya selamat. Tapi aku kehilangan nyawaku. 

Tangan Mira bergetar. Pada titik ini, ia harusnya merasakan degup jantungnya yang kian meningkat, keringat dingin yang menyerang tubuhnya, tapi dua hal itu tak lagi ia rasakan. Menyadari jika semua orang tadi mengabaikan dirinya karena fakta bahwa Mira sekarang bukan lagi manusia, Mira kembali melihat Bagas yang memasang reaksi terkejut seolah sedang melihat dirinya. 

“Jadi Bagas, kamu–” tanyanya lirih. 

Sebelum Mira menyelesaikan pertanyaannya, Bagas langsung menganggukkan kepalanya lemah. Tatapannya dalam, penuh kesedihan, penyesalan yang tak bisa digambarkan.  “Ya, Mira. Aku bisa lihat kamu sekarang,” jawabnya lirih, nyaris seperti bisikan. 

Jawaban Bagas itu untuk sejenak membuatnya teringat akan ingatan lamanya. Kenangan lama di mana dirinya masih kuliah di kampus yang sama dengan pria itu. 

Sebelas tahun yang lalu. 

Rumor, gosip dan isu adalah sesuatu yang sudah biasa ada di suatu tempat. Di belahan manapun dunia, selalu ada yang namanya rumor, gosip dan isu. Ketika isu tentang sesuatu berbau gaib beredar, rumor dan gosip yang berhubungan dengan hal gaib juga akan menyebar, layaknya virus, penyakit, yang menyebar dengan cepat, tak terbendung, entah itu benar atau tidak.  Itulah yang terjadi di kampus di mana Mira kuliah lebih dari sepuluh tahun yang lalu. 

Sebuah rumor menyebar, nyaris ke seluruh kampus, ke seluruh angkatan di berbagai jurusan. Bahkan dosen dan staf kampus pun mengetahuinya. Rumor itu membicarakan tentang sosok pria dari gedung sebelah yang entah gedung mana tepatnya. Rumor itu menyebar dengan cepat dan membuat orang tidak bisa mengatakan tidak untuk membicarakan dan membahasnya. Entah dari mana rumor itu dimulai, tapi dari kesimpulan beberapa cerita, rumor itu dimulai dari senior Mira. 

“Kamu sudah dengar gosipnya belum, Mira?” tanya Nila tiba-tiba. Setelah jam kuliahnya, Mira dan Nila-teman kuliahnya berjalan menuju kantin untuk makan siang. Dua gadis itu harusnya makan dengan tenang ketika makanan tiba karena kuliah sebelumnya adalah mata kuliah dosen killer di mana mereka harus fokus mendengarkan, mencatat. Bahkan menguap karena kantuk pun, tak ada yang berani melakukannya saat jam kuliah dosen itu. 

Mira menggelengkan pelan, sambil terus menyendok nasi kuning yang dipilihnya sebagai menu makan siang.  “Gosip apa?” jawabnya datar, seolah tak peduli. 

Lihat selengkapnya