Mira menatap Bagas. Tatapan dalam penuh arti. Baik sorot matanya, raut wajahnya, kini memancarkan keterkejutan yang tak bisa ia pendam. Di tengah situasinya, ia harusnya bersyukur karena ada seseorang yang bisa melihat dan mendengarnya. Tapi orang itu adalah Bagas, sosok yang sama sekali tak pernah ia duga akan ditemuinya di sini, dan dalam keadaan seperti ini.
“Jadi Bagas, kamu-” ucapannya terhenti karena benaknya masih memproses apa yang sedang terjadi.
“Ya, Mira. Seperti yang kamu lihat, aku bisa lihat kamu sekarang.” Meski tidak bisa mempercayai apa yang sedang ada di hadapannya saat ini, Bagas merasa sedikit lega karena Mira datang padanya, membuatnya bisa melihatnya lagi.
“Jadi gosip tentang kamu semasa kuliah itu benar adanya? Pria dari gedung sebelah yang katanya bisa melihat arwah dan hantu, itu benar-benar kamu?” ulangnya masih tak bisa percaya.
Bagas tersenyum getir karena tak menyangka jika wanita di hadapannya masih ingat dengan gosip lamanya semasa kuliah. Ia kemudian mengangguk pelan, tanda membenarkan. “Itu memang aku.”
“Kenapa selama aku kenal kamu, kamu enggak pernah bilang? Kupikir gosip itu cuma sekedar gosip.”
Bagas kembali tersenyum “Karena kamu enggak percaya dengan hal-hal seperti itu. Kamu sendiri yang bilang kalau kamu enggak percaya karena kamu enggak bisa buktikan sendiri kan? Jadi apa gunanya aku cerita kalau pada akhirnya kamu enggak percaya?” jelasnya sembari memasang kacamatanya. Ia mengambil earbud di salah satu saku seragamnya, kemudian memasangnya di salah satu telinganya. Bagas kini bertindak seolah sedang terhubung dengan seseorang melalui panggilan, tapi sebenarnya tidak. Jaman sekarang berbeda dengan jaman dahulu. Kemajuan teknologi membantunya untuk menyembunyikan kemampuannya. Ditambah lagi orang sekarang jauh lebih tidak peduli dengan orang di jaman dulu. Bagas duduk kembali di kursinya dan memberi instruksi pada Mira untuk duduk di sampingnya dengan lirikan matanya. “Kamu tadi bilang anakmu dalam bahaya kan? Ceritakan apa yang terjadi? Pasti arwahmu masih di sini karena anakmu itu.”
Mira mengangguk pelan. Ia sebenarnya masih ingin bertanya pada Bagas mengenai rahasia pria itu yang tak pernah diketahuinya. Tapi sekarang bukan saatnya untuk menggali masa lalu pria itu. Sekarang ada hal yang lebih penting dan harus dilakukan sesegera mungkin. Tanpa basa-basi, Mira mulai menjelaskan apa yang terjadi padanya, pada Bara–putranya, sampai kecelakaan yang merenggut nyawanya.
“Jadi anakmu diculik dan kamu kecelakaan karena ingin menebus anakmu?” ulang Bagas memastikan.
“Ya.” Mira menggenggam tangannya sendiri merasa sungkan pada Bagas. “Sejarah masa lalu kita, sepertinya cukup buruk, dan sekarang aku dengan tidak tahu malunya meminta tolong sama kamu, Bagas. Tapi aku terpaksa, Bagas. Sejak tadi aku berusaha minta tolong, tapi enggak ada satupun orang yang menyadari keberadaanku, mendengar suaraku! Aku akan paham kalo kamu mungkin menolak membantuku, Bagas!”
Mira mengira Bagas akan menolak permintaannya. Fakta bahwa ia menikah dengan pria lain dan mengira bahwa pria di sampingnya sudah meninggal sebelumnya, masih cukup mengejutkan. Sejujurnya … sekarang ada banyak hal yang harus ia luruskan dengan Bagas, tapi waktunya tak cukup. Bara—putranya sedang dalam keadaan tidak bisa menunggu.
“Kenapa aku harus menolaknya?” Bagas memasang senyum tipis di bibirnya. Hatinya yang tadi sempat hancur, kini rasanya menghilang dalam sekejap. Meski di sampingnya kini hanya ada arwah Mira dan tak lagi ada tubuhnya secara nyata, tapi bisa melihat Mira lagi jadi sebuah kebahagiaan kecil bagi Bagas. Ada banyak penyesalan di masa lalu di hati Bagas untuk wanita yang duduk di sampingnya. Bagas merasa kehadiran wanita di hadapannya saat ini adalah untuk menyelesaikan semua penyesalan Bagas di dalam hatinya, di masa lalunya.
Bagas merasa dengan menolong Mira sekarang, setidaknya akan menebus apa yang dirinya lewatkan di masa lalu.
Sebelum dia hilang dan berubah jadi kenangan, seenggaknya aku ingin melakukan sesuatu untuk terakhir kalinya.
“Jadi kamu mau bantu aku, Bagas?” tanya Mira memastikan.
Bagas: “Ya.”
“Ma-makasih,” ucapnya terbata. Setelah semua usahanya dan mengira dirinya berada dalam jurang keputusasaan, Mira jelas harus bersyukur dengan pertemuan ini. “Aku enggak bisa membayar apa yang akan kamu lakukan untukku, Bagas.”
Bagas: “Anggap saja ini untuk menebus kesalahanku di masa lalu, Mira.”
“Sekali lagi, makasih–”
Mira belum sempat menyelesaikan ucapannya ketika seseorang mendadak duduk di kursi di mana Mira duduk dan membuat Mira langsung berpindah tempat. Bagas melihat sosok itu dan terkejut mendapati sosok itu mendadak ada di hadapannya sekarang.
“Teddy, kenapa kamu di-”
Dari posisinya, Mira dapat dengan jelas melihat raut wajah Bagas yang sangat terkejut dengan kehadiran sahabatnya sendiri. Rasa terkejut itu terlihat bercampur dengan sedikit tekanan yang mirip dengan rasa takut, tertangkap basah melakukan kesalahan.