Kantor kepolisian kota M.
Maudy, seorang detektif muda dengan reputasi tajam dari kepolisian kota M, awalnya sama sekali tidak tertarik dengan penyelidikan kecelakaan beruntun di kilometer 93. Ia terbiasa menangani kasus berdarah, misteri pembunuhan, atau kejahatan dengan motif yang rumit—bukan insiden lalu lintas. Namun semua berubah ketika ia mendengar nama salah satu korban.
Sebuah nama yang membuat jantungnya berhenti sesaat.
Nama yang ia kenal.
Ingatan lama menyeruak tanpa permisi menggali ingatan terdalamnya—tentang masa lalu yang samar, tawa, dan perkenalan sederhana beberapa tahun silam.
Teddy: “Perkenalkan, ini temanku—Bagas. Kami dari kampus yang sama, cuma beda angkatan.”
Maudy: “Salam kenal, aku Maudy. Sepupu Teddy.”
Teddy kemudian mendekat dan berbisik. Suaranya datar tapi penuh keseriusan. “Maudy, temanku ini … spesial.”
“Spesial gimana?” tanyanya, alisnya mengerut. “Karena mau temenan sama kamu, Ted? Gitu? Atau spesial pakai telor kayak nasi goreng?”
Saat itu Maudy hanya terkekeh, mengira sepupunya sedang bercanda seperti kebiasaannya. Teddy memang terkenal suka menggoda, suka tidak serius ketika menanggapi sesuatu. Tapi Teddy hanya menatapnya datar—tidak tertawa. Raut wajahnya serius, begitu serius hingga Maudy merasa suasana berubah.
“Yang spesial dari Bagas,” katanya sambil menepuk bahu Bagas, “adalah … matanya. Dia bisa melihat arwah.”
Maudy sempat mengira sepupunya sedang menjahilinya. Tapi sekali lagi ia menatap wajah itu—raut serius itu masih sama, ia yakin sepupunya itu tidak sedang bercanda. “Kamu serius? Enggak bercanda?” tanyanya memastikan.
Teddy melirik ke arah Bagas, tatapannya seolah mengatakan jika ia sungguh-sungguh dengan ucapannya. “Nanti kamu akan tahu kalau aku enggak bercanda, Maudy,” katanya datar. “Menurut kamu, aku bakal bercanda soal beginian?”
Maudy sempat tak percaya, sampai kemudian secara tak sengaja, Bagas membantu menyelesaikan salah satu kasusnya—kasus yang bahkan logika kepolisian sulit menjelaskan. Sejak hari itu, ia percaya.
Mereka pun sering bekerja sama dalam beberapa kasus misterius. Kadang Bagas datang dengan tatapan yang terlihat kelelahan, seolah membawa bayangan dunia lain di matanya, tapi ia selalu membantu dengan tulus. Dan di sela kerja sama mereka, Maudy sering mendengar cerita dari Teddy. Yah … sepupu laki-lakinya itu punya mulut yang sangat suka bicara bahkan lebih buruk dari burung beo. Darinya, ia mendengar kisah tentang seorang perempuan yang membuat Bagas hancur—seseorang yang dulu begitu ia cintai, lalu pergi tanpa alasan.
Kini bertahun-tahun kemudian, suara pembaca berita di TV kantor membuat Maudy terdiam di tempat.
“Berikut nama korban tewas dalam kecelakaan beruntun di km 93: korban pertama, Mira Anastasia, umur 30 tahun …”
Nama itu membuatnya darahnya berdesir.
Mira Anastasia.
Suara itu menggema di kepalanya. Mira Anastasia. Nama itu seperti bayangan masa lalu yang menyeret kembali kenangan muram Teddy, dendamnya, dan kisah patah hati yang begitu dalam.
Maudy: “Ted, aku butuh bantuan Bagas. Kasus pembunuhan ini aneh. Enggak ada bukti, enggak ada saksi. Lokasinya juga enggak ada kamera CCTV-nya. Mungkin temanmu—Bagas bisa membantu untuk mencari petunjuk.”
Biasanya Teddy akan langsung menyampaikan pesannya pada Bagas, dan ia hanya perlu menunggu beberapa menit untuk mendengar jawaban dari pria itu. Tapi kali ini, sepupunya itu langsung menolak permintaannya tanpa pikir panjang.
Teddy: “Jangan sekarang, Maudy!”
Maudy: “Kenapa? Aku tahu dia sedang berniat melamar pacarnya, tapi bisa tolong tanyakan padanya, kapan dia punya waktu??”