Mendengar kabar bahwa pernikahan Mira hancur setengah tahun yang lalu, hati Bagas terasa tak karuan. Ada perasaan aneh yang tak bisa ia jelaskan—antara menyesal, sedih, dan getir sekaligus. Kenangan pun menyeretnya kembali lima tahun belakang. Saat di mana ia masih percaya bahwa cinta itu punya kesetiaan, bisa menunggu, bahkan setelah jaran dan waktu memisahkan.
September 2019.
Lima tahun yang lalu, Bagas yang hendak pergi menjadi relawan, mengajukan pertanyaan penting pada Mira. Pertanyaan mengenai kelanjutan hubungan keduanya di masa depan, bentuk tanggung jawabnya sebagai seorang pria.
“Setelah aku kembali, kamu mau nikah sama aku?” tanyanya, suaranya lembut namun penuh harap.
Mira tersenyum kecil, matanya menatap lurus ke arah Bagas. “Kenapa enggak? Tapi gimana dengan ibu? Sepertinya Ibu enggak suka sama kamu, Gas.”
“Nanti setelah aku kembali dari tugas relawanku, aku akan berusaha untuk yakinkan Ibumu. Aku janji, aku pasti bisa buat Ibu kamu nerima aku,” ucap Bagas mantap.
Mira tertawa kecil menerima keyakinan pria itu. “Aku percaya sama kamu kok. Pria pilihanku enggak akan pernah salah.”
Bagas ikut tersenyum. “Ya, apa yang kamu pilih emang enggak salah.”
“Tapi beneran cuma setengah tahun kan?” tanya Mira lagi, suaranya setengah bergetar.
“Ya,” jawab Bagas. “Cuma setengah tahun.”
Hari itu Bagas berangkat ke Cina sebagai relawan medis. Di lubuk hatinya, ada firasat aneh—seolah tugas itu yang datang mendadak itu bukan kebetulan. Ia bahkan sempat menduga kalau Ibu Mira, Rahayu, yang sengaja mengatur semuanya agar ia pergi jauh dan terpisah dari Mira. Tapi meski begitu, ia tak pernah berpikir untuk mundur. Selama Mira tidak menyerah padanya, ia pun tak akan menyerah. Jika benar ini ujian dari Ibu Mira, Rahayu, maka ia akan menjadikannya bukti: bahwa cintanya pada Mira bukan sekadar kata, bukan sekadar api yang berkobar sementara.
Namun, pembuktian itu tak semudah yang ia bayangkan.
Pada desember 2019, dunia Bagas berubah. Wabah misterius melanda kota tempat ia bertugas. Rumah sakit berubah menjadi neraka—tangisan, kepanikan, batuk, dan bau antiseptik bercampur menjadi satu. Kota diisolasi, kepanikan merajalela.
Di tengah perjuangannya untuk bertahan melawan wabah sembari menyelamatkan nyawa orang-orang, Bagas sempat berpikir bahwa mungkin ia akan meregang nyawanya di kota asing bersama dengan wabah itu. Yang tak pernah ia duga adalah seseorang datang menemaninya di tengah kekacauan itu.
“Gas! Bagas!”
Sosok familiar muncul di balik masker dan pakaian pelindung. Suara tak asing yang selalu memanggil namanya.
“Teddy?! Apa yang kamu lakukan di sini?” Bagas hampir tak percaya melihat kehadiran laki-laki itu. “Kupikir kamu sudah pulang ke Indo!”
Teddy menepuk bahunya. “Aku tunda dulu. Kamu di sini, dalam keadaan begini, mana bisa aku pulang duluan. Aku sudah minta bantuan kenalan Ayahku—dan Ayah Maudy juga—buat urus kepulangan kita lewat kedutaan,” jelasnya ringan. “Kamu tahu kan kalau semua warga asing akan dipulangkan?”
Bagas mengangguk pelan. Ia tahu berita itu. Ia hanya perlu menunggu kedutaan untuk membawanya kembali. Yang tak pernah ia sangka adalah sosok di hadapannya sekarang ini—Teddy. Ia tidak akan pernah menyangka persahabatan yang dulunya diawali oleh rasa ingin tahu, bisa terjalin sekuat ini.