Melihat cara Bagas menatapnya—tajam, menuntut, seolah tak ingin menunggu sedetik pun—Mira merasa seluruh pertahanannya runtuh. Napasnya tercekat. Pada akhirnya, ia tak punya pilihan selain membuka luka yang berusaha ia tutupi selama ini: tentang Bela—perempuan yang menjadi selingkuhan Arya.
“Bela itu karyawan di perusahaan milik Ibu,” ucapnya pelan, bibirnya bergetar. Setiap kata yang keluar terasa seperti duri yang menusuk dadanya sendiri. “Kamu pasti tahu … yang mengurus perusahaan itu Arya.”
“Karyawan?” Bagas mengulang, tak percaya. Dalam dunia yang ia kenal, drama perselingkuhan di kantor bukanlah hal asing. Ia sudah melihatnya terjadi berulang di tempat kerjanya sendiri.
Mira mengangguk lemah. “Awalnya Bela ada di departemen yang berbeda. Tapi setahun setelah aku dan Arya menikah … Bela dipindah ke departemen sekretaris Arya.”
Dari titik itu, semuanya berubah. Entah karena terlalu sering bersama, atau mungkin karena sesuatu yang kelam dan tak pernah diketahui Mira, Bela mulai menyukai Arya. Padahal ia tahu betul Arya sudah menikah. Namun perempuan itu terus mengejar lelaki itu—setahun setengah lamanya. Awalnya Arya diam, seolah tak menggubris. Hingga setahun lalu, entah bagaimana, semuanya runtuh. Arya tergelincir dan jatuh ke dalam pelukan perempuan itu.
Selama enam bulan, perselingkuhan itu berlangsung diam-diam. Rahasia kotor itu akhirnya terbongkar saat Rahayu—Ibu Mira—menemukan bukti tak terbantahkan. Syok itu menghantamnya terlalu keras. Berikutnya, serangan jantung datang dan merenggut nyawanya.
Dan Mira … hanya bisa berdiri di tengah reruntuhan hidupnya. Mengetahui ibunya meninggal akibat perselingkuhan suaminya sendiri menjadi luka yang tak pernah bayangkan harus ia tanggung.
Ia meminta cerai, Arya tak menolak. Mungkin karena rasa bersalah, mungkin karena alasan lain yang tak ingin lagi Mira pikirkan. Tapi meski begitu, pria itu tak pernah melupakan kewajibannya. Ia tetap mengurus perusahaan Ibu Mira seperti sebelumnya, rutin mengunjungi Bara, dan menyerahkan semua hak Mira serta Bara sesuai dengan wasiat mendiang Rahayu.
Mira sempat berpikir Arya akan segera menikahi Bela setelah perceraian. Tapi hingga hari itu—hingga kematiannya tiba—Mira tak pernah mendengar kabar pernikahan itu terjadi.
Dan sekarang, ketika ia menemukan kemungkinan besar Bela-lah yang menculik Bara, semuanya seperti menemukan titik simpul.
“Mungkin Bela pikir kalau dia menculik, aku akan minta bantuan Arya,” gumam Mira lirih. “Dia mungkin berharap memakai kesempatan itu untuk maksa Arya menikahinya. Tapi … setelah cerai, aku enggak pernah punya niat merepotkan Arya lagi.”
“Itu … masuk akal,” ujar Bagas, mencerna setiap detail. “Tapi satu hal yang aku penasaran … kenapa Arya enggak nikahi Bela setelah cerai dari kamu?? Bukannya dia jelas sudah jatuh hati pada Bela?”
Mira menggeleng, tatapannya kosong. “Aku juga bertanya-tanya. Tapi setelah setengah tahun berlalu, dan aku enggak dengar apapun … aku yakin akan satu hal: Arya sama sekali enggak pernah punya niat nikahin Bela.”
Jawaban itu justru menambah pertanyaan lain. Namun setidaknya sekarang Bagas sudah memahami gambarannya. Setelah mendengarnya, ia meminta ijin untuk menceritakan segalanya kepada Teddy.
“Boleh aku ceritakan masalah ini pada Teddy?” tanyanya lembut. Ia tahu ini masalah keluarga, bukan hal yang enak untuk diumbar sembarangan.
Mira menghela napas, lalu mengangguk. Ia memahami situasinya. Di titik ini, ia tak peduli lagi tentang aib pernikahan, perselingkuhan, atau masa lalunya yang berantakan. Semua itu tak ada artinya dibandingkan Bara. Yang terpenting sekarang hanyalah menemukan putranya—apapun caranya.
“Ceritakan saja, “ ucapnya lemah tapi tegas. “Lagipula Teddy juga bantu aku. Mau enggak mau … dia pasti penasaran.”
Begitu dapat ijin, Bagas menceritakan semuanya pada Teddy. Dan seperti dugaannya, ekspresi yang muncul sangat khas Teddy—alis terangkat, rahang mengeras.
“Pria itu, apa maunya, hah?!” semburnya, wajahnya langsung memerah karena emosi. Seperti biasa, emosi bukan sesuatu yang bisa ia tahan terlalu lama.