“Stop, Ted!”
Teriakan Bagas memecah keheningan di dalam mobil. Teddy, yang sejak awal mengira pencarian Bara—putra Mira—akan memakan waktu panjang, sontak tersentak. Wilayah yang dikirimkan Maudy tadi luas, terlalu luas untuk menemukan persembunyian Bela dengan mudah. Namun di tengah kebuntuan itu, Bagas tiba-tiba berseru seolah ada sesuatu yang hanya ia yang melihat.
“Apa? Apa lagi?” Teddy menurunkan laju mobil dengan tergesa. Ia melirik spion, menyalakan sein kiri, lalu menepi. Tatapannya kepada Bagas jelas mengirim pesan, Bagas, yang bener saja. Ini jalan umum, bukan jalan warisan nenek moyangmu.
Tapi Bagas tidak menanggapi. Pandangannya terpaku ke belakang, tajam dan gelisah. Ia menurunkan kaca jendela, seolah butuh memastikan apapun yang sedang menarik perhatiannya.
“Kamu lihat, kan, Mira?” bisiknya, masih menatap ke luar.
Mira mengikuti arah pandangan Bagas. Di detik berikutnya, napasnya tercekat. “Ya … aku lihat. Itu tadi—”
“Apa? Kalian lihat apa sih??” Teddy, satu-satunya yang buat terhadap hal-hal semacam itu, hanya bisa menggerutu sambil mencoba mencari tahu. “Bagas, ngomong dong!”
“Mundurkan mobilnya, Ted. Ke gang kecil di sana.” Suara Bagas tegas, tak memberi ruang untuk pertanyaan.
Dan seperti biasa, Teddy hanya bisa menurut. Jika sesuatu menarik perhatian Bagas begitu rupa, berarti hal itu bukan hal yang bisa dilihat mata biasa—hanya mata Bagas.
Mobil melaju mundur perlahan hingga mencapai titik yang Bagas tunjuk.
Klik.
Bagas membuka sabuk pengamannya dan turun. Ia berdiri di sisi mobil, tubuhnya kaku. Matanya kosong, tangannya terangkat sedikit—dan kemudian ia membeku. Teddy mengenali tanda-tanda itu: Bagas sedang “membaca”. Membiarkan sesuatu masuk ke dalam dirinya. Sesuatu yang bukan manusia.
Teddy buru-buru mengunci rem tangan dan keluar dari mobil. “Bagas!” Ia menepuk bahu sahabatnya pelan, takut mengganggu tapi juga takut terlalu diam. “Apa yang kamu lihat?”
Bagas tersentak, seperti ditarik kembali dari kedalaman yang tak terlihat. Pandangannya kosong sesaat, lalu fokus kembali.
“Apa yang kamu lihat?” ulang Teddy, kali ini lebih lembut.
Bagas mengangkat tangannya, menunjuk lurus ke arah sebuah gang sempit di samping mereka. “Kita ke sana. Jawabannya ada di dalam.”
Tanpa banyak bicara, Teddy membantu Bagas kembali masuk ke mobil. Ia memastikan sabuk sahabatnya terpasang sebelum duduk di kursi kemudi lagi.
“Ke dalam sana, kan?” Teddy memastikan, tangannya sudah siap menarik rem tangan dan memutar setir.
“Ya,” Bagas hanya menjawab pendek, tapi tegas.
Mobil masuk ke gang kecil yang lebarnya hanya setara satu mobil dan sedikit sisa. Aspal di sana penuh lubang, beberapa cukup besar untuk membuat mobil berguncang. Setelah hampir satu kilometer, sebuah bangunan muncul dari balik pepohonan dan pagar seng.
Gudang tua.
Bagas mengangkat tangannya, menunjuk bangunan itu.
Meski disebut “gudang tua”, bangunan itu justru tampak lebih terawat dibanding lingkungan sekitar. Cat abu-abunya masih melekat, nyaris tidak ada bagian yang berkarat. Di sekelilingnya hanya ada peternakan ayam model panggung, membuat gudang itu tampak levbih mencolok dari yang seharusnya.
Gembok di pintunya tergantung dalam keadaan terbuka.
Bagas maju lebih dulu. Ia menyalakan senter ponselnya, Teddy mengikuti di belakang. Langit di luar telah berubah kelabu—siang menjelang sore, tapi terasa lebih gelap dari seharusnya.
Kreeeitt …
Pintu gudang berderit ketika mereka membukanya. Seketika bau anyir menyergap, menusuk hidung, membuat Teddy tersentak menutup hidung dengan telapak tangan.
“Gas … bau ini—”
Bagas tidak menjawab. Ia hanya mengangkat senternya dan mengarahkannya ke segala arah—mencari sesuatu.