“Aku tahu siapa yang membawa Bara. Masalahnya sekarang … di mana orang itu menyembunyikannya,” ujar Bagas, suaranya datar namun tegang.
Ucapan itu membuat tiga orang di sekitarnya—Mira, Maudy, dan Teddy—menatap dengan ekspresi sama: bingung, tercengang, dan menunggu penjelasan. Mira ingin bertanya seketika, tetapi ia sadar situasinya tidak memungkinkan. Banyak orang berkeliaran di sekitar Bagas; jika ia memaksa bertanya, Bagas akan terlihat seperti bicara sendiri. Bahkan untuk berbicara padanya, Bagas sampai memakai earset agar tidak menarik perhatian.
“Siapa pelakunya?” tanya Teddy dan Maudy hampir bersamaan.
Mira memperhatikan kedua sepupu itu. Selama menjalin hubungan dengan Bagas, ia hanya mengenal nama Teddy tanpa pernah bertemu langsung. Kini, melihat Teddy dan Maudy berdiri di sisi Bagas, ia menyadari sesuatu yang dulu luput dari matanya: kehidupan Bagas tidak lagi sepi seperti saat ia masih ada di dalamnya. Pria yang dulu ia kira sendirian, ternyata memiliki lingkaran kecil yang menjaganya, memahami sisi-sisi yang bahkan Mira tidak pernah ketahui.
Sadar akan hal itu membuat dadanya sedikit perih.
Bagas menghela napas. “Aku tahu pelakunya. Tapi aku belum punya bukti. Hanya berdasarkan ingatan terakhir Bela sebelum kematiannya.”
Ia lalu menjelaskan apa yang ia lihat: bagaimana Bela dan pelakunya adu mulut hebat, bagaimana situasinya berubah dalam sekejap, dan bagaimana kematian itu terjadi. Semua disampaikan dengan singkat dan jelas.
“Pria ini pelakunya …” Bagas mengeluarkan ponselnya, memperlihatkan foto Bara bersama seorang pria yang sebelumnya ia ambil untuk pencarian. Tak ada yang menyangka–wajah pelaku pembunuhan Bela juga ada dalam foto itu.
Teddy membelalakkan mata sampai hampir melompat keluar. “Ini kan … mantan suami Mira!” suaranya naik karena terkejut. “Kenapa dia yang—”
Bagas menggeleng. “Aku enggak tahu. Dalam ingatan Bela, mereka berdua bertengkar hebat. Arya sempat pergi sebentar, dan saat kembali … dia langsung menebas leher Bela dengan pisau.”
Penjelasan itu membuat bulu kuduk Teddy dan Maudy meremang. Teddy bahkan refleks memegang lehernya sendiri, seolah ingin memastikan ia masih utuh.
“Yang perlu aku lakukan sekarang hanya menemukan buktinya, kan?” ujar Maudy mantap.
“Seperti biasa,” jawab Bagas, mengangguk.
“Biar aku yang urus itu.” Maudy menunjuk dirinya sendiri dengan percaya diri. “Yang lebih penting … di mana anak Mira? Apa Arya membawanya?”
“Mungkin.” Bagas melirik arwah Mira yang berdiri di antara dirinya dan Teddy—diam, menunggu, dan jelas menahan banyak pertanyaan.
Teddy mendekat dan berbisik, “Arwah Bela enggak bilang apa-apa soal Bara?”
“Enggak,” jawab Bagas. Ia mengulurkan tangan meminta sesuatu. “Kunci mobil.”
Teddy mengernyit, tapi tetap menyerahkan kuncinya. “Buat apa?”