Malam itu.
Bagas sudah memantapkan rencananya: ia akan datang ke rumah Arya untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi—terutama pembunuhan Bela, wanita yang dulu pernah menjadi kekasih Arya ketika masih menjadi suami Mira.
Sementara, semalam, Mira telah membuat keputusan besar. Ia menyusup ke rumah lamanya sebagai arwah—tak terlihat, tak terdengar, kecuali oleh Bagas—dan di sana ia menemukan putranya, Bara, tertidur pulas di kamar masa kecilnya. Pemandangan yang menenangkan, tetapi sekaligus menenangkan.
Keyakinannya pada Arya sebagai pria yang dapat dipercaya tetap tidak goyah. Namun pertanyaan lain muncul: Kenapa Arya harus membunuh Bela? Baginya, Arya adalah sosok yang lembut, penuh kesabaran, bertanggung jawab, dan tidak pernah meninggikan suara. Bagaimana mungkin pria yang selama bertahun-tahun ia anggap baik itu berubah menjadi seseorang yang mampu menghabisi nyawa kekasihnya sendiri.
Itu adalah alasan mengapa rencana awal Bagas—masuk ke rumah sebagai pelayat dan mengamati keadaan—tidak dilakukan di hari yang sama dengan penemuan mayat Bela. Rumah itu terlalu sepi. Tidak ada tanda-tanda kedatangan jenazah, tidak ada bendera duka. Seolah kematian Mira belum diketahui siapapun. Dan benar saja, setelah Bagas menghubungi rekannya di rumah sakit, barulah ia mendapat kepastian: jenazah Mira masih dalam proses pengurusan. Ini mungkin tindakan Maudy untuk memastikan bahwa Mira benar-benar kehilangan nyawa karena kecelakaan bukan karena alasan lain.
Sambil menunggu kabar dari Mira yang menyusup ke rumah lamanya, Bagas menceritakan isi laporan Mira kepada Teddy. Soal rumah besar mewah yang seharusnya menjadi tempat tinggal Mira dan Bara—rumah warisan ibu Mira yang sepenuhnya jatuh ke tangan Arya.
Teddy spontan memprotes, wajahnya menegang. “Kenapa Mira yang harus pergi? Itu kan rumah dia! Warisan ibunya!”
Ia tahu cukup banyak tentang keluarga itu—tentang bagaimana Arya hanyalah anak asuh Rahayu, bukan darah dagingnya seperti Mira.
Penjelasan Bagas hanya membuat dahi Teddy semakin berkerut. Selama bertahun-tahun, Arya memang mengurus hampir semua urusan keluarga itu. Perusahaan milik Rahayu bahkan diserahkan padanya. Dan sebagai kakak, Arya adalah sosok yang selalu hadir, melindungi Mira, membantunya, dan menjadi orang paling ia percaya.
“Kalau gitu,” gerutu Teddy, “kenapa justru dia yang dinikahkan dengan anak kandungnya sendiri?”
Pertanyaan itu bahkan tak bisa dijawab Bagas.
Ia hanya tahu sedikit tentang rencana Rahayu—tentang bagaimana wanita itu selalu ingin Mira dan Arya bersatu. Tapi motifnya? Tidak ada yang benar-benar memahaminya. Satu-satunya motif yang bisa dipikirkannya, mungkin karena Rahayu berharap Arya akan benar-benar menjadi bagian dari keluarganya.
Arya hanya bisa mengangguk ketika Mira memutuskan untuk keluar dari rumah itu setelah bercerai. Perempuan itu ingin membeli rumah yang lebih kecil, lebih sunyi, lebih sesuai untuk hidup tanpa siapapun selain Bara. Sementara itu, Arya, meski telah berpisah, tetap menunaikan tanggung jawab yang ia warisi dari Rahayu, memastikan Mira dan Bara terurus meski mereka sudah tak lagi menjadi keluarga.
“Bara …”
Belum satu jam berlalu sejak Mira menyusup ke rumah lamanya. Ia kembali ke mobil, wajahnya tercampur antara lega dan kebingungan. Bagas segera menoleh, menunggu kelanjutan penjelasan yang belum selesai.
“Anakku ada di dalam rumah itu,” ucapnya, masih terdengar terkejut. “Seperti yang kamu katakan, Bagas.”
Bagas menghela napas panjang, lega. “Keadaannya gimana?”