Sore itu, sesuai rencana yang telah mereka susun semalam, Bagas dan Mira bersiap menyusup ke rumah Arya untuk membawa Bara keluar dari sana segera. Di luar, Teddy menunggu di dalam mobil, gelisah namun siaga—menjadi penjaga sekaligus penghubung yang akan memberi tanda saat Maudy datang bersama timnya. Malam ini mereka berharap segalanya berakhir: Maudy sedang mengejar bukti kuat yang bisa menjerat Arya atas pembunuhan Bela.
Seharian penuh tadi, Mira berlatih keras. Ia belajar menggerakkan benda-benda kecil—menjatuhkan pulpen, menggeser kertas, bahkan mencoba menulis singkat—semua demi satu tujuan: membantu Bagas untuk menyelamatkan Bara. Ia ingin membantu pria itu dengan membuat perhatian Bara tertarik padanya dan menyadari jika ia ada di dekatnya. Bagas bilang, anak-anak biasanya lebih peka terhadap hal-hal gaib. Mereka dapat merasakan apa yang luput dari pancaindra orang dewasa. Tapi sensivitas itu tak selalu sama: ada anak yang tak bisa merasakan apapun, ada anak yang bisa melihat, dan bahkan bisa bicara dengan makhluk gaib. Karena itu, Bagas mengajarinya cara-cara lain untuk menandai keberadaannya.
“Itu ternyata enggak mudah,” keluh Mira sambil terengah, seolah energi halusnya ikut terkuras. “Kupikir hantu di film-film bisa dengan mudah menyentuh atau mengganggu manusia.”
Bagas terkekeh menggoda. “Kamu percaya semua yang kamu lihat di film?”
Mira mengangguk polos, hampir lugu. Ia memang bukan seseorang yang percaya dengan hal-hal gaib. Tapi ia meyakini film-film horor dibuat karena memang ada beberapa orang yang bisa melihat hantu. “Bukannya film begitu karena ada yang bertemu dan pernah ngalamin?” tanyanya.
Bagas tak menyangkal. Dari apa yang ia lihat selama hidup—dan setelah kematian Mira—ia tahu dunia arwah jauh lebih rumit. Tidak semua arwah mengganggu. Tidak semua bisa bicara. Tidak semua tertahan lama di dunia manusia. Beberapa justru bertahan untuk melindungi.
“Itu enggak salah,” ujar Bagas lembut. “Tapi enggak semua arwah buruk rupa atau jahat. Lihat dirimu sendiri. Kamu enggak mirip hantu di film horor, kan?”
Mira sempat tersentak, lalu menunduk melihat tubuhnya sendiri sebelum tertawa kecil. “Iya juga. Aku enggak seseram itu.”
“Untuk menyentuh atau berinteraksi dengan manusia, arwah butuh tenaga yang besar,” jelas Bagas sambil menatap Mira dengan serius. “Kalau salah gunakan, tenaga bisa habis dan kamu akan menghilang seperti butiran debu. Atau yang lebih buruk, kamu bisa berubah jadi arwah jahat. Jadi jangan paksa diri. Gunakan itu cuma kalau terpaksa.”
Mira mengangguk, tapi kemudian mata beningnya berbinar nakal. “Kalau begini gimana?”
Ia berdiri, mendekati salah satu cermin besar di ruang keluarga. Perlahan ia menggerakkan jarinya di udara. Kabut tipis muncul ketika ia meniupkan udara, dan sebuah kata tertulis di permukaan kaca. Kali ini bukan hanya Bagas yang bisa melihatnya—Teddy pun bisa.
“Gas! Itu apa—” Teddy menjerit di sofa, tubuhnya spontan melonjak mundur sebelum ia memeluk bantal seperti tameng. Bulu kuduknya berdiri.
Bagas tak bisa menahan tawa melihat wajah panik sahabatnya. “Bukannya kamu selalu penasaran dengan arwah gentayangan? Kok sekarang kamu takut begitu?”
“Sialan kamu, Bagas!” Teddy melempar bantal ke wajahnya, masih pucat. “Aku penasaran karena aku enggak bisa lihat! Kalau aku kayak kamu—yang bisa lihat hantu tiap hari—aku enggak bakal penasaran sama sekali!”
***
“Tidak lebih dari satu jam,” Teddy mengingatkan sambil menatap tajam pada Bagas sebagai peringatan. “Kalau kamu belum keluar dari rumah setelah itu, aku langsung hubung Maudy.”
Bagas hanya mengangguk. Setelah serba hitam yang ia kenakan membuat wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya. Di tangannya, amplop putih tergenggam erat—simbol duka cita yang menurut tradisi harus diserahkan. Teddy yang duduk di belakang kemudian juga berpakaian hitam lengkap, bahkan kacamata hitam menutupi separuh wajahnya. Ia ingin bersiap kalau sewaktu-waktu harus ikut masuk ke rumah keluarga Mira.