Kemarin malam, saat menyusup, Mira menemukan Bara berada di kamar lamanya—kamar yang menyimpan sebagian besar masa kecilnya. Namun ketika ia kembali ke ruangan itu sekarang, kamar tersebut kosong. Sunyi. Bahkan jejak keberadaan putranya pun tak terasa.
“Bara! Di mana kamu?” serunya, meski tahu suaranya tak pernah mencapai telinga anak itu.
Panik mulai merayap ke seluruh tubuhnya. Waktunya tak banyak—kurang dari satu jam sebelum Teddy menelpon Maudy dan keadaan berubah kacau. Ia tak bisa gagal sekarang.
Jangan menyerah, Mira, ujarnya dalam hati. Ini rumahmu. Kamu tahu setiap sudutnya. Kamu pasti bisa menemukan Bara.
Berbekal keyakinan itu, ia mulai menyisir seluruh rumah. Kamar tahu yang berjumlah sepuluh ia periksa satu persatu. Kemudian ruang keluarga, ruang baca, ruang pertemuan, gudang penyimpanan, dapur, bahkan kamar pelayan. Dua puluh menit berlalu, Mira telah menyusuri tiap inci tanpa melewatkan apapun.
Hasilnya tetap sama: kosong. Tak ada Bara.
Coba lagi ….
Ia memaksa dirinya untuk tetap tenang, mengulang pencarian di tempat-tempat yang sama. Namun setelah putaran kedua, ketiga, keempat—tak ada perubahan. Jejak Bara benar-benar hilang.
Di mana? Di mana Mas Arya akan menyembunyikan Bara?
Empat tempat muncul di benaknya—kamar ibunya, kamar Arya, serta ruang kerja keduanya. Dua ruangan milik ibunya seharusnya tertutup rapat sejak kepergian Rahayu. Arya bahkan tidak pernah mengizinkan siapapun mengubah tatanannya. Pakaian ibunya masih tergantung di lemari seolah pemiliknya hanya sedang pergi sebentar.
Mira langsung meluncur ke lantai satu. Kamar ibunya berada cukup jauh dari kamar-kamar lain, karena Rahayu selalu mengutamakan ketenangan. Ruang kerjanya berada tepat di samping kamar itu—tempat ia menghabiskan malam-malam panjang membawa pulang pekerjaan dari perusahaan.
Kamar itu masih sama seperti dulu. Rapi, bersih, tak tersentuh waktu. Make up ibunya masih tersusun rapi, pigura foto keluarga tetap berada di meja kecil di sudut ruangan. Tapi tak ada Bara.
Mira menuju ruang kerja ibunya—dan langkahnya terhenti.
Bagas dan Arya sedang duduk bersama di dalam ruangan itu.
“Bagas!” serunya spontan.
Bagas menoleh—sekilas lirikan kecil, satu-satunya jawaban yang bisa ia berikan di depan Arya.