Di mana ini?
Di mana aku?
Begitu kelopak mata Bagas terbuka, ia disambut oleh gelap pekat yang seolah menelan seluruh ruangan. Tidak ada cahaya, tidak ada arah. Hanya kegelapan dan hawa pengap yang menusuk hidung—bau kertas lembab bercampur debu yang sudah lama tidak tersentuh.
“Kenapa aku—”
Ia refleks hendak bangkit, tetapi tubuhnya langsung tertarik kembali. Kedua tangan dan kakinya tak bisa bergerak. Ada sesuatu—tali? kawat?—menjeratnya kuat-kuat pada kursi dingin tempat ia duduk.
Apa yang …
Ia mencoba mengumpulkan pikirannya, mengingat apa yang terjadi sebelum semuanya gelap. Satu-satunya yang muncul adalah wajah Arya … dan percakapan terakhir mereka.
“Sial” Bagas mendesis. Amarah bercampur ketidakpercayaan mengalir dalam suaranya. Kini ia sadar: kopi yang diberikan Arya … pasti sudah dicampur obat bius.
“Kenapa dia menangkapku? Apa maunya pria itu?!”
Bagas menarik napas panjang, lalu berusaha meronta. Namun setiap gerakan kecil membuat ikatan itu menggigit kulitnya, menimbulkan rasa perih seperti disayat halus.
“Bagas …”
Suara itu—lirih, lembut, dan familiar—muncul dari suatu titik kegelapan. Bagas tak bisa melihat apapun, tapi ia mengenali suara itu tanpa ragu.
“Mira?” bisiknya. Ia berhati-hati; takut ada seseorang selain Mira yang mengawasinya.
“Ya, ini aku,” jawab Mira pelan, menenangkan. “Tenang saja. Di sini enggak ada orang. Kamu bisa bicara dengan tenang.”
Bagas mengarahkan pandangannya ke sana kemari, mengikuti arah suara yang bergerak lembut di antara jeda.
“Kenapa aku di sini? Kenapa Arya melakukan ini?” tuntutnya, suara ditekan agar tetap rendah.
“Aku enggak tahu pasti,” jawab Mira pelan. “Tapi … aku punya dugaan.”
Langkah terdengar ringan—atau mungkin hanya perubahan tempat suaranya—sebelum Mira berbicara persis di dekat telinganya. Embusan udara dingin arwah itu membuat bulu kuduk Bagas berdiri.
“Dengarkan aku, Bagas. Teddy sudah menghubungi Maudy. Bantuan dalam perjalanan. Tapi Maudy butuh waktu untuk dapat surat perintah.”
Bagas mengangguk kecil. Meski tak yakin Mira bisa melihatnya, gerakan itu muncul otomatis. Ia mengenal situasi seperti ini: dalam beberapa kasus yang pernah ia bantu, Maudy beberapa kali terhalang oleh syarat administrasi sebelum bisa mengambil tindakan.
“Ada lagi?” tanya Bagas, mencoba tetap tenang meski hatinya berdebar.
“Aku sudah menemukan Bara,” lanjut Mira. “Kalau Bara bisa melihat wujud ini, aku akan menuntunnya keluar. Lalu, Teddy juga cerita soal senjata yang Mas Arya gunakan untuk membunuh. Aku harus mencarinya, lalu memberi tahu Teddy dan Maudy. Untuk sementara itu … bisakah nanti kamu menahan Mas Arya?”
Bagas menarik napas pendek. “A-akan aku usahakan.”
Keheningan sejenak. Lalu suara Mira terdengar lagi—lebih pelan, lebih dalam.