“Ketuk pintu mobil itu, sayang.”
Suara Mira lirih, tapi tegas. Setelah perjalanan panjang dan melelahkan, akhirnya ia berhasil menuntun Bara keluar dari rumah Arya. Hampir satu jam mereka bergerak diam-diam: kadang berjalan cepat, kadang berlari kecil, dan lebih sering menahan napas bersembunyi di balik tembok atau pot tanaman setiap kali ada pelayan yang lewat. Syukurlah, pintu kecil di dinding samping rumah—pintu yang dulu ia buat demi kucing-kucing liar yang sering ia beri makan—masih dibiarkan ada dan tak terkunci. Arya menuruti permintaannya waktu itu, dan hari ini, hal kecil itu menyelamatkan Bara.
Tuk, tuk!
Bara mengetuk pintu mobil Teddy. Suara itu membuat pria yang sedang duduk di dalamnya tersentak seolah petir menyambar tepat di sebelah telinganya.
Mira segera menembus pintu mobil, berdiri di kursi depan, dan menuliskan pesan singkat di kaca yang mengembun oleh hawa dinginnya.
Teddy.
Teddy mendongak, wajahnya pucat. “Mira??” Suaranya melengking gugup. “Sial … aku enggak akan pernah terbiasa dengan cara munculmu ini. Ada apa?”
Mira buru-buru menulis lagi, huruf-hurufnya muncul seperti goresan es.
Buka pintu samping. Hati-hati. Ada anakku.
“Apa??” Teddy membelalak. “Kamu—kamu berhasil bawa keluar Bara tanpa Bagas? Bagaimana caranya??”
Buka dulu pintunya. Nanti aku jelaskan.
Tanpa menunda, Teddy bergegas ke kursi belakang dan membuka pintu samping menghadap ke tembok rumah—tempat yang aman dari pandangan orang.
Begitu pintu terbuka, ia melihat Bara di luar, tubuhnya dipenuhi noda tanah dan debu—tanda betapa keras ia berusaha keluar dari rumah itu.
“Halo, Bara,” sapa Teddy lembut. Dengan hati-hati ia menarik anak itu masuk tanpa turun dari mobil, lalu segera mengambil tisu basah. Gerakannya cekatan tapi penuh perhatian; ia membersihkan tangan, kaki, dan wajah Bara seperti seseorang yang sudah terbiasa menghadapi anak kecil.
Setelah itu, ia mengambil botol air mineral dan menyodorkannya. Bara meminumnya dengan tegukan cepat, napasnya masih terengah. Nyata sekali betapa lelahnya ia.
“Mama, Om ini siapa?” tanya Bara polos, matanya yang hitam bulat melirik ke kursi depan—kursi yang dulu sering diisi Bagas.
Teddy juga melakukan hal yang sama. Ia terkejut dan langsung melihat ke kursi yang sama untuk meminta penjelasan Mira.
“Anak ini, dia bisa—” ucapnya terbata.
Mira buru-buru menuliskan jawaban untuk Teddy di kaca: Seperti yang kamu lihat, Ted. Bara bisa melihat dan bicara denganku. Ucapan Bagas soal sensitivitas, ternyata juga terjadi pada dia.
Setelah menuliskan jawabannya. Ia buru-buru menjawab pertanyaan putranya. “Ini teman Mama. Namanya Om, Teddy.”
“Pantas saja kamu bisa membawanya keluar,” gumam Teddy lirih. Ia memang tidak bisa mendengar apapun dari Mira, tapi spontan langsung memperkenalkan diri pada Bara. “Om ini teman Mamamu. Kamu bisa panggil Om Teddy.”