Penderitaan Rahayu tidak berhenti sampai di sana. Ia berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan pernikahannya—demi masa depannya, demi bayi yang sedang tumbuh dalam kandungannya. Namun suami yang selama ini ia cintai justru menghancurkan semuanya, bukan sekali, melainkan berulang-ulang. Pengkhianatan itu saja sudah cukup membuat hatinya hancur, tetapi yang lebih menyakitkan adalah ketika ia diceraikan dalam keadaan perut yang makin membesar. Dan lebih mengenaskan lagi: ia diusir dari rumah, hanya membawa sebuah tas kecil berisi pakaian seadanya.
“Ibu … maafkan Rahayu …”
Begitu tiba di depan rumah orang tuanya, Rahayu tak bisa lagi menahan tangis. Penyesalan yang selama ini ia pendam pecah begitu saja. Ia teringat bagaimana ia dulu mengabaikan peringatan orang tuanya, memilih percaya pada perasaan cinta yang ternyata justru menyeretnya pada jurang luka yang dalam.
Nasi sudah menjadi bubur.
Keadaannya kini tak bisa diubah. Pernikahan itu tak mungkin lagi dipertahankan, dan perceraian adalah satu-satunya jalan yang tepat. Jika tetap memaksa bertahan, mungkin ia akan semakin hancur, baik sebagai seorang istri, wanita, maupun sebagai seorang ibu.
Orang tua Rahayu sendiri tak sanggup menyalahkannya. Putri mereka pulang dalam keadaan perut membesar, membawa beban yang tak terlihat namun jelas terasa. Menyalahkan hanya akan menambah luka, bahkan bisa membahayakan cucu mereka yang masih dalam kandungan.
Dua bulan kemudian, Rahayu melahirkan. Prosesnya panjang, menyakitkan, dan ia menjalani semuanya tanpa ditemani seorang suami. Namun di akhirnya perjuangan itu, seorang bayi perempuan lahir—cantik, mungil, seolah menjadi pelangi yang muncul setelah badai gelap yang hampir memusnahkan seluruh cahaya dalam hidup Rahayu.
“Mau kamu kasih nama siapa, Nak?” tanya ibunya lembut.
Sejak pertama kali mengetahui dirinya mengandung, Rahayu sudah menyiapkan nama—dua nama, untuk laki-laki atau perempuan. Ia memandang bayi kecil itu, bibirnya bergetar menahan haru.
“Mira. Mira Anastasia,” jawabnya dengan senyum yang akhirnya kembali muncul setelah sekian lama.
Pada detik itu, Rahayu membuat sebuah janji. Janji yang kelak akan menentukan takdir banyak orang. Janji yang akan menyeret banyak orang dalam prosesnya.
Kelak, kamu tidak boleh hidup seperti Ibu, Mira.
Ibu akan carikan suami terbaik untukmu.
Ibu akan pastikan hidupmu bahagia, tidak seperti hidup Ibu.
***
Bagas menelan ludah ketika menyaksikan kisah kelam Rahayu—ibu Mira—terungkap di hadapannya. Ada sesuatu yang menghantam dadanya, membuat ia ikut merasakan pedih yang selama ini dipikul Rahayu seorang diri. Dalam cerita singkat itu, ia bisa merasakan betapa dalamnya luka yang ditinggalkan ayah MIra—perbuatan yang tak hanya keliru, tapi juga kejam.
Ia menoleh ke arah Arya, pria yang dibesarkan Rahayu dan kini ditunjuk sebagai calon suami Mira. Arya, dengan ketampanan, kecerdasan, dan tanggung jawabnya, tampak seperti pilihan sempurna. Tapi Bagas tahu, alasan terbesar bukanlah itu. Arya tumbuh di bawah asuhan Rahayu—dan mungkin karena itulah, Rahayu percaya bahwa pria itulah yang paling layak mendampingi putrinya.
Itulah kesimpulan yang Bagas tangkap dari cerita tersebut.
“Ibu melihat Mira sebagai cerminan dirinya,” ujar Arya dengan wajah yang turut muram. “Ibu enggak ingin Mira mengalami nasib yang sama. Rasa sakit dan penyesalan itu … terlalu besar untuk diulang.”