Sebelum Melihat Langit Prancis

Adiba
Chapter #1

STEPNEY

Jangan lupa menutup jendela karena sinar yang mengintip itu sangat kejam. Jika matamu lemah, bola matamu akan meleleh. Untung Aku bukan alien seperti Kal El atau monster seperti venom. Namaku Stepney dan aku manusia biasa. Satu kata syukur di pagi hari ini, walaupun Bunda membuka gorden berwarna abu-abu itu, ketika mata ini terpaksa terbuka, masih sehat saja.

"Ayo bangun, Ney. Terus mandi, sarapan udah Bunda siapkan."

"Bunda, ini kan Hari Minggu. Libur. Biasanya juga gak dibangunin, kok," tubuh ini masih terlentang di kasur yang warnanya senada dengan gorden kamarku.

"Kan kemarin Ayah sudah bilang, mau ajak kamu ke panti asuhan," Bunda masih menjawab ucapanku sebelum keluar dari pintu dengan tulisan 'Stepney' terlukis disana.

"Kan kemarin Ney bilang tidak mau," rengekanku tidak digubris Bunda lagi, "Ney masih ngantuk, Bunda!" Berkebalikan dengan yang barusan keluar dari mulutku, posisi badan ini sudah duduk tegap dengan kaki bersila.

Padahal tadi malam begadang bersama Ayah. Kami berdua menonton pertandingan Manchester United, club sepak bola kesukaan di kaluarga ini. Aku punya kakak laki-laki yang sampai belajar mati-matian agar bisa kuliah di Manchester. Yang pastinya, aku juga akan menyusulnya nanti. Walaupun usiaku baru 10 tahun, namun rencana hidup bocah ini sudah termasuk luar biasa bukan.

Aku menuju ruang makan masih mengenakan jersey warna merah dengan nama punggung Stepney, menghiraukan perintah Bunda agar mandi terlebih dahulu.

"Wah, wah! Semangat sekali anak Ayah."

Aku duduk di kursi meja makan dan hanya tersenyum dipaksakan untuk menanggapi sapaan Ayah.

"Saking semangatnya sampai gak sadar bajunya sama kaya kemarin," Bunda menyusul duduk setelah menyiapkan lauk pauk.

"Gak lupa kan, kita akan ke panti asuhan bukan ke Old trafford," Ayahku menyindir namun masih dalam taraf candaan.

"Iyaaaa," inginku berteriak menolak ikut, namun malas ini terlalu parah.

"Mas Rio nanti malam sampai di rumah lho-"

"Beneran, Bun?!" Ini gairah hidupku baru muncul.

"Iya, 10 menit yang lalu Mas Rio telfon Ayah kalo mau ke bandara."

"Asyik! Ayo ayah cepetan naik mobil-"

"Naik mobil mau kemana?!" Nada tanya Bunda lumayan tinggi.

"Ya ke panti asuhan."

"Oh, Bunda kira kamu mau ke bandara buat nunggu Mas Rio," Bunda lega mengelus dada dua kali.

"Tadi perasaan mukanya lesu deh pas-"

"Tadi perasaan Ayah bilang sendiri kalo Ney semangat sekali," aku mengambil dua buah apel dan berdiri di samping Ayah, "Ayo Ayah. Ayoooo sekarang berangkatnyaaa."

"Iya, iyaaaa," ayah menghabiskan roti berisi selai coklat yang ada di piringnya, "memang kenapa buru-buru?"

"Karena menunggu sesuatu dengan pergi jalan jalan itu buat waktu cepat berlalu."

"Aduh, putra Bunda yang satu ini kata-katanya sudah seperti penyair saja. Ini minum susu dulu," Bunda ikut bangkit dari duduknya walaupun rotinya masih tersisa sebagian di piring. 

Aku meneguk segelas susu dari Bunda. Terpaksa duduk lagi di kursi tadi sebentar. Kalau aku minum sambil berdiri, bisa bisa hari senin besok aku tidak diberi uang saku. Padahal aku sedang menabung untuk membeli sepatu bola. Kata Ayah, akan lebih berharga suatu barang yang kita beli dengan uang sendiri. Walaupun tidak secara langsung aku bersusah payah mendapatkan uang dari bekerja, namun tetap saja uang saku yang diberikan Ayah dan Bunda padaku itu hak milikku, kan.

"Ayo ayaaah," aku merengek agar aksi salam sampai jumpa dari dua orang tuaku ini berakhir. 

Setiap pagi aku menyaksikan keromantisan Ayah dan Bunda ku. Itu hal yang bagus. Kasih sayang mereka menular kepadaku agar menjadi anak yang lembut juga. Tahukah kamu, aku sampai hafal ada 5 ciuman Ayah untuk Bunda di salam sampai jumpa yang selalu dilakukannya. 

Lihat selengkapnya