Subuh di pesisir Pangandaran masih diselimuti kabut, seakan langit ikut berkabung bersama mereka yang kehilangan. Angin laut membawa aroma asin, bercampur dengan dinginnya embun yang menggantung di udara. Ombak bergulung pelan, namun tak ada ketenangan dalam gelombang itu—hanya sisa-sisa amarah badai yang semalam mengguncang samudra Hindia.
Di sepanjang pantai, warga berkumpul dengan wajah pucat dan mata yang sembab. Mereka menanti kepastian yang tak kunjung datang—menunggu suami, ayah, dan saudara mereka yang belum kembali dari lautan. Harapan mulai terkikis bersama gerimis yang turun tanpa henti.
Di antara mereka, seorang wanita duduk di atas pasir yang basah. Sumiah. Ibu dari dua anak yang telah kehilangan suaminya dalam badai. Semalaman ia tak beranjak, meskipun sanak keluarga mencoba membujuknya pulang. Matanya merah, tangannya gemetar, tubuhnya menggigil, tetapi tidak ada yang lebih dingin daripada kehampaan yang mengisi dadanya.
Dua minggu berlalu.
Tak ada kabar, tak ada kepastian, hanya doa-doa yang mengambang di udara bersama sisa-sisa harapan. Tim SAR akhirnya menyerah. Pencarian dihentikan. Dan bagi mereka yang ditinggalkan, tak ada lagi yang bisa dilakukan selain berharap pada keajaiban—keajaiban yang semakin terasa mustahil.
Langit kembali muram, mencerminkan kesedihan yang tak kunjung surut dari hati Sumiah.
Amor baru saja pulang dari sekolah ketika melihat ibunya duduk diam di tepi pantai, seperti patung yang tak bernyawa. Rambutnya berantakan, wajahnya sayu, tubuhnya semakin kurus seolah telah dimakan duka. Hati Amor mencelos. Setiap hari, ibunya datang ke pantai, duduk selama berjam-jam, membiarkan ombak menerpa tubuhnya, menangis dalam diam.
Ia takut. Takut ibunya jatuh sakit. Takut kehilangan satu-satunya orang yang tersisa untuknya dan adiknya, Amran.
Tanpa ragu, Amor berjalan mendekat. Ia berjongkok di belakang Sumiah, lalu memeluknya erat. Kulit ibunya terasa dingin di bawah jemarinya—dingin seperti batu, seperti seseorang yang perlahan kehilangan kehidupan.
Sumiah tidak terkejut. Tatapannya kosong, pikirannya melayang jauh ke tengah lautan, ke tempat di mana suaminya mungkin masih berada. Dengan suara parau, ia berbisik, “Pulanglah, Abang. Biar Ambu di sini.”
Amor tak bergeming. Ia semakin mengeratkan pelukannya, seakan takut ibunya akan lebur bersama debur ombak. Hening menyelimuti mereka. Hanya ada suara laut, angin, dan sesekali isakan tertahan.
Amor menatap cakrawala yang suram, tempat ibunya selalu mengarahkan pandangan. Lalu, dengan suara bergetar, ia berbisik di telinga ibunya, “Bu... lautan itu hanya air. Sebesar apa pun, tetap hanya air. Abah perenang hebat, bukan? Ia bisa menahan napas lama. Abah tidak mungkin kalah dengan air ini. Kalau Ambu terus seperti ini... bagaimana kita menyambut Abah kalau nanti dia pulang? Apa Ambu tidak malu dengan penampilan Ambu yang seperti ini?”
Sumiah memejamkan mata, napasnya berat. Ia lelah. Dengan sisa tenaga, ia melepaskan pelukan Amor dan menatap anak sulungnya. “Jangan bicara yang tidak mungkin, Abang. Tidak ada manusia yang sanggup melawan badai dan ombak.”