Sebelum Pagi

Yuli Harahap
Chapter #2

01

Senin dimulai dengan hangat sinar matahari pagi yang menembus kaca jendela. Februari telah tiba, membawa hembusan angin yang tak lagi mewakili musim. Meski masih menyisakan sisa-sisa hujan, gerimis dini hari, menghadirkan air embun yang perlahan hilang kala matahari hadir di ufuk timur.

Aku menyukainya, di pinggiran kota tempat aku tinggal tak ada yang lebih menyenangkan dari reaksi alam yang memberikan kita kehidupan. Warna hijau daun yang segar, bunga yang perlahan mekar, sisa-sisa air selepas hujan, mereka memberikan lebih banyak ketenangan daripada tempat tidur yang nyaman.

Pukul sepuluh pagi, mungkin lewat. Malina, rekan kerja sekaligus teman baikku membuka pintu toko. Wajahnya tidak bersemangat. Tidak seperti biasanya, meski Malina sering sekali mengeluh akibat kemacetan lalu lintas di kota. Ia datang dari rumah ibunya di pusat kota, menempuh beberapa kilometer untuk bekerja setiap hari. Malina selalu bersemangat urusan pekerjaan, tapi kali ini ia terlihat kehilangan semangat itu.

Aku dan Malina bukan dua perempuan ceria yang akan kalian temukan di tengah hiruk pikuk kota. Tak ada ucapan selamat pagi dengan seringai lebar, atau tawaran kopi khas anak muda zaman sekarang. Aku telah berhenti minum kopi, sedang Malina alergi kafein.

Maka seperti rutinitas yang membosankan, aku dan Malina hanya saling tatap dan melanjutkan kegiatan masing-masing. Aku tak terlatih bertanya suasana hati seseorang sedang Malina sudah terlatih bicara tanpa harus ditanya. Kami saling memahami perihal itu, hingga tak ada momen yang membuat suasana jadi tidak enak karena cara kami berkomunikasi saling melengkapi.

Aku melanjutkan pekerjaan setelah Malina duduk di meja kasir. Di tanganku sudah ada kain lap dan semprotan kaca, aku menemui cahaya yang menembus kaca toko. Tak ada yang perlu dibersihkan secara khusus, kami selalu rutin membersihkan tempat ini. Malina sangat rapi, ia teratur dan tak suka debu. Hal itu yang ia tularkan padaku selama kami berteman, hingga kami tak pernah absen setiap hari membersihkan toko ini hingga bersih dari debu. Lagipula tempat yang bersih selalu jauh lebih nyaman dan menenangkan, itu salah satu hal yang kami tawarkan kepada pengunjung.

Aku mulai membersihkan kusen jendela, dari tempatku berdiri, aku bisa melihat matahari yang mulai terik. Satu dua kendaraan melintas, seorang ibu jalan tergopoh-gopoh dengan sekantung plastik di tangannya, kedai kopi di seberang toko kami baru kedatangan karyawannya, ada seorang lelaki paruh baya memakai jaket ojek online sedang berdiri, mungkin menunggu pesanan masuk ke aplikasinya.

Semua kegiatan jam sepuluh pagi itu terekam baik dalam otakku, layaknya sedang membaca adegan dalam sebuah skenario film ketika sang tokoh utama sedang menikmati pagi.

“Aku melihat Fajar di warung Mak Ulek kemarin.”

Suara Malina nyaris tak menembus pendengaranku jika saja aku tak mendengar satu nama itu dalam kalimatnya. Namun demi nama itu pula, aku menghentikan kegiatan menikmati pagi itu, memutar tubuh dan memusatkan perhatian kepada Malina yang kini memainkan jemarinya, kebiasaan setiap kali gadis pemilik lesung pipi itu risau.

Lihat selengkapnya