Mendung menghiasi kota, rintik satu persatu membasahi bumi. Menyapa tanah yang tak kunjung bosan dengan genangan kecil yang tercipta dari hari ke hari. Februari kali ini penuh dengan perubahan. Baru saja rasanya hari begitu menyenangkan dengan aroma sisa hujan pagi, tanpa harus menyediakan payung atau jas hujan. Kini harus kembali berkutat dengan gerimis yang terus turun sepanjang hari. Mengahadirkan sedikit genangan, memercik setiap kali kendaraan melintas.
Tak cuaca tak juga hatiku mengalami pasaang surut, seolah semesta baru saja merayakan perubahan dalam setiap gejolak perasaan dalam diriku. Perasaan yang entah bagaimana jelasnya, namun yang pasti pagi ini ada ragu bertengger di sana, keraguan untuk memulai pembicaraan perihal kata-kata Malina terakhir kali perihal Fajar.
Aku masih tak yakin apakah Malina benar melihat Fajar, atau lebih tepatnya aku tak ingin percaya. Aku belum menemukan sebuah jalan yang aku inginkan jika lelaki itu benar-benar telah kembali. Tak mungkin ia tak bersinggungan lagi dengan Malina, bersinggungan dengan Malina artinya bersinggungan denganku juga.
Air mengalir yang kukatakan mendadak berhenti tak miliki arah. Sungai tempat aku mengalir berubah diam tanpa sedikitpun aliran yang membawanya. Ketenangan yang telah kuciptakan seolah tak membantu, riak dalam kepalaku, sesak dalam hatiku meronta ingin dikeluarkan. Kesekian kali, aku menghirup napas, menenangkan segala gejolak.
Dari tempat aku berdiri kulihat Malina yang sedang berkutat dengan pendataan buku yang baru masuk. Wajahnya serius, tekun, mengisyaratkan sebuah kefokusan yang tak boleh diganggu gugat. Terkadang aku iri dengan caranya memisahkan urusan pribadi dan pekerjaan, ia selalu profesional. Sedang aku lihat lah sekarang, penuh dengan riuh hanya untuk memulai satu pertanyaan kepada Malina.
Aku kembali pada rutinitasku, membuang setiap tanya yang mencuat. Kembali fokus, setidaknya mencoba kembali berkonsentrasi menyusun buku-buku yang baru masuk lagi semalam sore.
Aku dan Malina bekerja di sebuah toko buku bekas yang berada di pinggiran kota, dan tepatnya toko buku ini adalah usaha kecil yang kami rintis berdua sejak dua tahun lalu. Mengabulkan mimpi seorang Ratri sejak dua belas tahun lalu dan harapan seorang Malina dalam menghidupkan kekasih dalam hatinya.
Kami tak memiliki sedikitpun keraguan saat mendirikannya. Aku dan Malina sedang duduk di kedai kopi seberang toko saat kami memutuskan memulainya.
“Rumah kosong itu, ada apa di sana Rat?” aku selalu ingat hari itu, selain karena hari itu adalah perjalanan yang melelahkan antara aku dan Malina, hari itu juga aku meminum kopi untuk terakhir kalinya.
Arabika toraja, menjadi aroma kopi terakhir yang diterima lidahku. Aku memesannya dengan sepotong roti yang entah mengapa aku lupa rasanya, karena pada akhirnya Malina yang tandas menghabiskannya. Sedang Malina hanya memesan lemon tea panas. Hari itu hujan juga turun, lebih deras dari gerimis pagi ini.
“Nggak ada, dulu itu toko kaset. Lumayan terkenal dan banyak pelanggan sebelum akhirnya tutup tiga-empat tahun lalu kurang lebih. Aku duga karena kalah saing dengan teknologi yang menyediakan film dan musik semudah itu sekarang.”
Toko itu tutup di 2013 akhir. Smartphone sedang naik daunnya, banyak merek mulai mengeluarkan versi mereka. Tanpa smartphone saja kaset sudah mulai dialihkan ke ponsel. Tentu saja bersamaan dengan smartphone yang booming, perusahaan teknologi juga berlomba-lomba dalam menciptakan aplikasi mereka. Meski tak pernah menghitungnya aku yakin pasti banyak platform dan aplikasi musik yang lahir hari itu. Belum lagi aplikasi streaming film, baik yang legal maupun yang bajakan. Lalu siapa lagi yang masih menggunakan kaset?
“Jadi kenapa kalian sering ke sini?”