Sebelum Pagi

Yuli Harahap
Chapter #4

03

“Kamu, apa kabar?”

Apa kabar?

Aku tertawa dalam hati saat mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Fajar. Namun yang terjadi aku hanya menatapnya tanpa mencoba memberikan sedikit pun respon baik atau pun buruk.

Aku baik. Bisakah dikatakan begitu setelah bagaimana ia dulu merobohkan diriku? Tapi iya, aku baik setidaknya setelah bagaimana Malina mencuri balik mimpiku darinya, mendirikan toko buku ini dan dengan baik hati menerimaku menjadi temannya. Aku baik sekarang, seandainya ia tak pernah kembali aku akan tetap baik-baik saja.

Lalu kamu apa kabar?

Tentu saja itu tanya yang tak pernah keluar dari mulutku. Hanya saja aku tetap menyuarakannya dalam kepala.

Kamu apa kabar? Kemana saja selama ini? Kenapa terlihat berantakan sekarang? Kamu makan dengan baik kan? Siapa yang mengurusmu sekarang? Apa kamu masih minum kopi? Buku puisi siapa yang sekarang kamu baca? Apa lagu kesukaanmu masih...

Aku memejamkan mata sejenak, menunduk. Bagaimana pun Fajar tak boleh tahu, bahkan ia tak boleh melihat bagaimana pikiran itu berputar dalam kepalaku.

“Aku baru tahu kamu bisu sekarang,” aku mengangkat wajah. Fajar tersenyum kecil, aku menahan diri untuk bereaksi. Ia menghentikan senyumannya, melangkah lebih dekat, mengunci tatapanku, menawarkan kelam matanya yang tak pernah gagal membuatku ingin tenggelam disana.

Malina benar, Fajar berantakan. Tak hanya penampilannya yang kusut, rambutnya yang panjang sebahu menjuntai acak-acakan. Kulitanya gelap, habis terpanggang sinar surya. Raut wajahnya sekarat namun sebias harapan tumbuh di sana.

“Apa kabar?”

Suara itu nyaris berbisik, aku bisa membaca dengan jelas dari bibirnya. Hatiku bereaksi, maka aku mencoba tersenyum, meski aku tak yakin apakah bentuknya seperti senyuman atau seringaian.

“Baik.”

Ia kembali tersenyum, tulus.

Dream come true, kamu hebat Ratri.” Ia menatap sekeliling toko.

Sejujurnya toko buku ini tak begitu besar. Aku dan Malina hanya merenovasinya, tidak memperluasnya. Koleksi buku kami juga tak begitu banyak. Apalagi sekarang tak begitu banyak orang yang menjual buku bekas, meski peminatnya sekarang masih banyak. Jadi dari pada menjualnya aku lebih sering kesusahan mencari buku-bukunya.

Saat dulu aku menceritakan keinginan itu pertama kali kepada Fajar, aku berkutat dengan keraguan bahwa itu mimpi yang terlalu jauh. Aku tak memiliki modal apapun, tak memiliki banyak relasi yang berhubungan dengan buku. Apalagi calon pasar yang akan jadi pelanggan. Tapi laki-laki itu dulu menyakinkanku, bahwa suatu hari kelak aku akan membuka toko bukuku sendiri, dan di sana ia akan ada menemaniku. Toko buku itu benar berdiri, sedang Fajar, ya setidaknya ia berdiri di hadapanku sekarang. Memaksa seluruh diriku untuk mengilas balik banyak hal tentangnya.

“Kamu yang bilang, mimpi itu ada untuk diwujudkan.”

Lihat selengkapnya