Hari itu adalah sore yang terlalu biasa, tak ada senja yang indah di ujung waktu atau suara burung yang menenangkan di atap-atap rumah penduduk, tak pula dengan gerimis kecil syahdu memandikan bumi yang sedang panas-panasnya. Enam tahun lalu, aku tak akan melupa, adalah pertemuan pertamaku dengan Fajar.
Semester akhir di masa perkuliahan, saat semua teman-teman seangkatan mulai mengantri untuk sidang kelulusan, bolak-balik perpustakaan untuk keperluan skripsi, rambut rontok menghadapi tekanan dosen, penelitian yang tak sampai pada metode terakhir, euforia yudisium yang melegakan, kegalauan menghadapi dunia kerja, dan sederet permasalahan masiswa akhir yang sedang berjuag menuju dunia yang lebih nyata.
Aku masih menikmati memilah-milah buku di loakan kala itu, mencari buku yang sekiranya akan membuat tenggelam dalam aksaranya. Atau menikmati petualangan, kisah-kisah, pelajaran hidup dan segala hal yang menyenangkan dari membaca buku. Itulah caraku menikmati sisa-sisa semester dengan riuh yang ditenangkan.
Hari itu tak ada yang menarik sepanjang hari. Kemarau hanya menghadirkan cuaca panas, bising kendaraan menambah hiruk pikuk suasana, debu polusi belum lagi mengganggu pernapasan.
Aku menatap sekitar, tempat aku memilah buku adalah pasar loak khusus barang bekas yang mendirikan stan sepanjang jalan. Terletak di salah satu stadion di kota ini. Di sini selain buku bekas banyak juga yang menjual perkakas rumah tangga, baju, pernak-pernik, sepatu dan berbagai macam hal yang tentu saja bekas.
Sudah tidak terhitung berapa kali aku ke sini, selain untuk berburu buku aku juga berburu kebutuhanku yang lain di sini. Harganya terjangkau sedangkan barangnya, asalkan pandai memilih pasti dapat yang berkualitas. Dan sepertinya salah satu kemampuanku adalah memilih barang bekas yang berkualitas.
Di stan yang terdiri dari empat meja berukuran satu kali satu ini, bertumpuk buku dari berbagai macam genre. Ada yang sudah lusuh dan terkelupas sampulnya, ada yang masih utuh dan hanya kehilangan plastik sampulnya dan ada pula yang masih utuh keseluruhan. Sekilas aku bisa melihat ada buku-buku dongeng yang aku baca sewaktu kecil, di sampingnya ada koleksi komik dan aku sempat membuka beberapa seri conan. Di samping tumpukan komik ada beberapa buku seri tokoh dunia, di depannya ke arah tengah ada beberapa koleksi chicken soup, lalu kemudian beberapa buku yang sepertinya terjemahan dan ke tengah sedikit aku bisa melihat novel lama, terlihat dari sampulnya yang bernuansa erotis.
Pengunjung tak terlalu banyak, meski tak terlalu sedikit mengingat ini adalah hari biasa, bukan akhir minggu yang kadang digunakan banyak orang untuk berbelanja ke sini. Ada dua orang pelajar yang memakai seragam pramuka di sampingku sedang membuka serial naruto. Aku berputar melewati mereka, menuju tumpukan karya sastra.
Aku meraih novel Bumi Manusia, aku belum membacanya sama sekali meski sudah banyak yang merekomendasikan dan mengulasnya. Aku meletakkan sejenak karena sepertinya aku butuh bacaan yang lebih ringan dan menyenagkan, seperti puisi mungkin. Saat itulah aku dikejutkan dengan dengan satu judul novel karya Mira W. berjudul Kuning Kemilau Senja yang disodorkan padaku. Aku menoleh lalu tersenyum tipis menyambutnya dan membolak-balik lembar demi lembar sebagai bentuk apresiasi. Jujur saja, aku tak seberminat itu dengan novel lawas.
“Barangkali ini,”
Berganti ia menyodorkan buku puisi Chairil Anwar berjudul Derai-Derai Cemara. Aku meletakkan buku pertama dan menerima sodorannya dengan seulas senyum. Sekali lagi demi menghargai.
“Ratri, benar?” Aku mengangkat wajah, menatap ragu karena tak yakin mengenalinya. “Pemilik blog suara kedalaman?”
Aku mengangguk pelan, “kamu?” tanyaku ragu, seyakin itu belum pernah melihatnya.
“Beberapa teman di jurusanku sering menbicarakanmu, beberapa menganggap seleramu terhadap buku terlalu komersil dan umum, hanya membaca buku-buku best seller dan terkenal. Ya beberapa lain menganggap kamu pembaca yang baik.”
Aku hanya tersenyum tipis menanggapinya, terlalu biasa mendengar komentar semisal dari beberapa temanku sesama pembaca buku. Aku meletakkan buku yang ia rekomendasikan, memutar tubuh kembali memperhatikan tumpukan buku. Sekali lagi ia menyodorkan buku, kali ini karya N.H Dhini, Pada Sebuah Kapal.
“Yang ini aku yakin seleramu.” Aku menatapnya tak percaya.
Sok tahu.