Sebelum, saat dan setelah kamu pergi.

Aliyya Prayitno
Chapter #1

Satu

Entah siapa, yang ku tahu dia bekerja di sekolah ini dengan menggunakan pakaian dinas nya. Bisa jadi dia seorang guru atau mungkin kepala sekolah. Semua mata dan telinga terfokus padanya yang memegang beberapa carik kertas, saat ini pengumuman kelas. Aku yang sedari tadi memegang nomor peserta ku tak henti-hentinya merasa cemas. Apakah aku berada di kelas tertinggi? Bagaimana dengan teman sekelas ku? Apakah ada yang anehnya sama denganku? Oh ayolah! Aku harap setidaknya satu dari mereka bukan manusia melainkan alien yang nyasar ke bumi.

“087” ucapnya di depan mic.

Aku merasa tidak asing dengan angka itu, seperti urutan angka yang sedari tadi kuhapal.

“087” serunya kembali.

Orang-orang mulai memperhatikan kertas yang mereka pegang kemudian saling menatap dan berbisik siapakah yang nomornya disebut. Jika kalian melihat seorang gadis yang nampak bingung dengan selembar kertas di tangannya itu, maka jangan khawatir, tidak apa mengoloknya karena itu sudah biasa terdengar asalkan jangan sekali-kali ikut campur dengan urusannya. Oh, iya. Aku lupa, gadis tadi itu aku. Rambut sebahu bergelombang, bulu mata lentik, dan tatapan sinis.

Sepertinya tatapan mereka berubah seratus persen mengarah kepadaku. Aku sepertinya melamun entah apakah itu hingga mengalihkan titik fokus yang tadi sangat apik nampaknya. Aku tidak risih dengan semua tatapan menjengkelkan itu seakan ingin melahap ku hidup-hidup, itu sudah ku jalani hampir pada seluruh umurku. Aku malah memandangi mereka satu per satu hingga tatapan mereka menjauh dariku.

Tiba-tiba seseorang menepuk pelan bahuku. Siapa dia? Yang ku ingat bukan dia yang berdiri di sampingku mulai dari acara ini berlangsung, tidak mungkinkan, seorang siswi dengan rambut lurus berponi berganti menjadi seorang siswa berkulit sawo matang, mengenakan topi dan tingginya menjuntai melebihiku. Tapi kalau diperhatikan dari caranya berpakaian yang sangat rapi berbeda dengan kakak osis yang terkesan seperti anak gang motor itu. Kusimpulkan dia sama sepertiku, siswa baru.

Secara tidak disangka dia bersuara, “Itu kamu.”

Aku kembali melihat selembar kertas kusut yang ku pegang dan benar itu nomorku. Tanpa menunggu lagi aku langsung menuju kelasku dan ternyata MIPA 3, cukup bagus menurutku bukan kelas teratas bukan juga kelas terbawah, maka tidak akan terlalu mencolok. Satu persatu siswa berdatangan memasuki kelas, bisa kudengar riuh keributan yang mereka hasilkan walaupun keadaanku sekarang sedang menidurkan diri di atas meja. Sangat bising disini, rasanya bahkan seperti telingaku ikut berteriak ingin pecah saat itu juga. Ini lah yang aku tidak sukai dari manusia pada umumnya, kenapa setiap ada perkumpulan menjadi ribut seperti ini? Tidak bisakah cukup berdiam diri atau tidur sepertiku? Dasar manusia aneh!

Alhasil aku tidak bisa tidur lagi, suasana kelas ini sangat tidak bersahabat dengan tidurku. Aku mengikat rambutku sederhana, sekedar membuat angin menyejukkan ku saja karena aku merasa sangat gerah disini. Bukannya menurut tata surya bumi memiliki urutan ketiga dari matahari, kenapa masih bisa sepanas ini? Pikirku tengah berkelahi dengan situasi ini, sangat tidak nyaman, asal kalian tahu itu! Dan guru juga belum datang sama sekali. Iseng saja aku ingin menghapalkan janji siswa yang spanduknya digantung berhadapan dengan jendela kelasku, membuatku bisa membacanya secara langsung. Baru saja menengok, yang kudapati malahan orang yang tiba-tiba saja muncul waktu upacara di mulai. Matanya fokus mengarah kepadaku dengan tangan sebagai tumpuan pipinya. Kemudian aku memerhatikan sekeliling, mungkin saja dia sedang melihat orang lain, tapi semuanya sibuk membentuk pembicaraan dengan siswa lain, selain siswa yang masih asik memandangku ini. Sekilas sudut bibirnya terangkat, singkat sekali membuatku ingin melihatnya sekali lagi. Manis sekali.

Dengan sedikit keberanian yang aku kumpulkan sedari tadi, aku menyikut halus lengan teman bangku untuk bertanya, 

“Kamu kenal dengan dia? Sudah dari tadi dia melihat kesini.” Tanyaku sambil menunjuk siswa itu dengan ekor mataku.

Suci teman bangku ku yang bisa dibilang eksis itu mulai mengedarkan pandangannya menuju siswa yang ku tanyakan, setelah itu dia langsung menepuk bahu.

“Oh dia---“ Belum selesai menjelaskan aku memberi isyarat untuk berhenti. Asal kalian tahu ternyata suaranya nyaring sekali sangat memungkinkan kalau orang yang dibicarakan bisa mengetahuinya.

“Suaramu pelankan.” Dia mengangguk kemudian menjelaskan dengan suara yang lebih kecil.

“Dia dulu teman organisasi pramuka ku, kami beda sekolah cuma kami pernah ketemu waktu perkemahan dekat sekolahnya. Mungkin disitulah kami bisa saling mengenal.”

Sial. Kenapa aku terlalu cepat kegeeran kalau yang dia perhatian itu aku? Aku merutuki hari ini karena dengan lancangnya membuatku merasa malu. Dan karena itu, aku sudah tidak menoleh ke arahnya, biarkan saja aku tidak menghapalkan janji siswa itu. Toh, tidak diperintahkan juga.

Kelas menjadi sedikit renggang sebab istirahat telah tiba, aku tidak ingin melakukan apa-apa hari ini. Sungguh, jadi aku tidur saja di meja seperti yang tadi aku lakukan, sudah hampir aku tenggelam dalam mimpi kudengar kursi tempat Suci bergeser. Mungkin Suci sudah kembali.

“Kamu terlalu sibuk memikirkan situasi dan keadaan saat ini sampai-sampai tidurmu kurang semalam.” Tutur seseorang yang jelasnya bukan Suci.

Aku menegakkan badan dan menjumpai orang yang sudah membuatku kegeeran setengah mati.

“Sok tahu!”

“Kamu pasti tidak senang dengan situasi riuh seperti ini.” Lagi, dia berbicara lagi. Anehnya kali ini aku tertarik dengan yang dia katakan.

“Kamu bukan manusia ya?” Entah seberapa bodoh aku di matanya, yang jelas aku benar-benar penasaran dengan orang ini.

“Ya, bisa dibilang begitu. Aku mungkin sejenis Phoebe yang tahu segalanya.”

“Kenapa gak jadi Lapetus saja? Kan bagus, bisa abadi selama-lamanya tanpa takut meninggal.” Dia tertawa geli, sial sekali kali ini aku tidak dapat melihat senyumnya. Tapi yang kudapatkan mungkin lebih, aku bisa mendengar suaranya tertawa.

“Tidak ada bagusnya jadi abadi Aini. Bagaimana kalau kamu saja yang jadi selamanya, tapi sudah kuputuskan kamu khusus aku.”

“Kenapa tahu namaku?”

“Aku juga tahu kalau kamu menanyakanku ke Suci tadi.” Aku canggung, kenapa dia bisa tahu semuanya. Apa benar dia Phoebe?

Lihat selengkapnya