Hari ini kelas berpindah dan wali kelas akan diperkenalkan. Sial sekali aku terlambat bangun, bahkan alarm yang kupasang ternyata sudah kumatikan sebanyak tiga kali saking nyenyaknya aku tertidur. Pengaruh lampu lilin hadiah Bandung memang sangat efektif, sampai-sampai aku lupa untuk harus bangun ke sekolah. Lain waktu kalau aku sudah tidak terlambat dan kesusahan seperti ini aku akan menceramahi Bandung karena hadiah nya itu. Sekarang yang terpenting aku harus sesegera mungkin ke sekolah. Kali ini aku minta supaya Bapak mengantarku ke sekolah, sangat terlambat kalau aku harus naik angkot lagi, jalan lagi sekarang pun sudah cukup terlambat untuk aku. Sekitar sepuluh menit, pacuan tercepat yang bisa motor Bapak lajukan, akhirnya aku sudah sampai ke sekolah. Kusalimi tangan Bapak dan menuju ke kumpulan barisan yang aku yakin acaranya sudah hampir selesai. Ku atur napasku agar tetap teratur, keringat sudah ada di kening walaupun pagi ini belum nampak terik matahari.
“Kelas kita dimana?” Tanya ku ke Suci yang sudah pasti mengetahuinya.
“Di lantai dua, belok kanan setelah tangga, pintu kedua.” Aku mengangguk sambil berucap terima kasih ke Suci.
Kelasku barisannya paling pojok, karena kemarin aku tidak sempat berkeliling sekolah untuk tahu lebih banyak bangunan-bangunan apa saja yang ada di sekolah ini karena aku memilih tidur dan terlibat urusan dengan manusia aneh tapi menyenangkan seperti Bandung. Alhasil, aku tidak tahu kalau di samping barisanku itu adalah ruangan BK. Baru ku tahu saat guru dengan gaya moneter itu mendekat ke arahku dengan tatapan yang tidak ramah.
“Kamu terlambat!” Satu hentakan kalimatnya membuatku pasrah kalau nantinya aku akan dapat hukuman.
Setelah upacara selesai, aku melangkah berlawanan dengan siswa yang lain, yang mana Cuma aku masih mengenakan tas saat upacara sudah dimulai, sangat kontras dan mencolok kali ini.Ternyata aku diceramahi, bibirnya yang tipis itu sudah sangat membuktikan kalau guru ini sangat lihai berbicara. Seperti sekarang ini, telingaku sudah sangat panas rasanya sampai-sampai kepalaku mulai pusing juga tapi dia belum mau berhenti. Tak ada satupun kata yang terlontar dari mulutnya kutangkap dengan jelas, mungkin terpantul dari telingaku sebelum masuk. Aku tidak peduli, yang aku pikirkan bagaiamana persoalan teman bangku di kelas baru.
“Sudah, kembali ke kelas.”
Titahnya langsung ku berdiri dan mencium punggung tangannya, tidak ada waktu untuk berjalan apalagi kelas baru ku ada di lantai dua. Masih sangat kuingat letak kelas yang Suci beritahu saat upacara. Namun di kelas tidak sama dengan yang aku pikirkan sebelumnya, masih banyak yang belum mengambil tempat duduk dan memilih untuk mampir ke kantin. Aku dengan leluasa memilih tempat duduk. Setelah mendapatkan tempat yang sempurna, bangku urutan ketiga dari depan, aku menarik kursi untuk ku duduki.
“Kursiku.” Ucapnya dengan kaki yang gunakan untuk menarik kursi.
Waktu aku masuk, aku belum pernah melihat orang ini ada di kelas, bagaimana mungkin kursi ini bisa menjadi miliknya? Tidak boleh, aku sudah mempertimbangkan semuanya dan keputusanku duduk di bangku ketiga ini.
“Aku lebih dulu, berarti punyaku. Singkirkan kaki mu.”
Mungkin dia marah atau malas berdebat denganku, dia menarik kasar bangku itu. Alhasil tanganku tergores, cukup perih tapi aku tidak mau kalah dengan orang tengil ini. Aku kembali menarik bangku itu. Oh, good! Sekarang kami sukses menjadi pusat perhatian. Sudah terlanjur, kalau berhenti sekarang tidak akan ada hasil yang memuaskan, aku hanya akan dikira menyerah dan mungkin saja dijuluki pengecut. Peganganku pada bangku itu semakin kueratkan, tidak mau menyerah hanya dengan bangku ini.
“Diujung masih ada bangku kosong.”
“Tapi aku mau disini.”
“Coba lihat, lawanmu itu perempuan bahkan semua murid memperhatikan kalian.”
Dia menarik bangku itu di posisinya semula, kemudian memegang bahu ku dan mendudukkan ku di bangku yang sama. Ini benar-benar mencekik, rasanya tenggorokanku kering seperti sedang di padang pasir. Bagaimana harus kujelaskan kalau dia orang pertama yang memegang bahu ku? Kenapa dia terus membuatku tidak berkutik seperti ini?
“Nah, duduk yang manis disini. Jangan cemberut terus, Aini mau apa?”
Aku menggeleng masih canggung dengan kejadian tadi, sudah kupastikan kejadian ini lebih menarik perhatian murid seisi kelas. Ah, kenapa selalu mencolok padahal aku tidak suka, aku Cuma mau belajar dan pulang.
“Kalau begitu ikut aku ke kantin.”
Dia menggenggam tanganku, lagi. Dia benar-benar sangat lancang, menggenggam tanganku sebanyak dua kali, berbicara akrab denganku, memberiku hadiah indah, membuatku kegeeran, dan sekarang menjadi orang pertama yang memegang bahuku. Tapi aku harus bagaimana? Tanganku kaku tidak bisa kutarik untuk menjauh dari orang aneh ini. Untuk pertama kalinya sistem motorik ku tidak sejalan dengan yang ku perintahkan. Bahkan serasa tidak mau lepas darinya.
“Katanya mau ke kantin.”
“Tanganmu luka Aini, bahkan berdarah di tanganku juga.”
Benar, tanganku luka dan berdarah di tangannya. Sejak kapan yah tanganku luka? Kenapa tidak terasa sakit bahkan saat dia menggenggam nya, justru sekarang baru terasa perih. Andai dia tidak melepas genggaman tanganku mungkin tanganku tidak akan kenapa-kenapa.
“Sini, tanganmu ku bersihkan.”
“Sini, tanganmu ku obati. Tangan Aini sekarang lebih penting dari pada tanganku.”
Dia tidak pernah mengikuti apa mau ku, dia menarik tanganku lembut, membersihkan darah yang tersebar di telapak tanganku kemudian memberinya obat. Kalian tahu, tidak? Saat dia memberi obat untuk tanganku, dia juga meniupnya pelan. Seperti sangat takut kalau aku akan kesakitan. Untuk sekarang aku berharap tidak ada orang yang pingsan atau tangannya sekedar terluka untuk ke UKS, tidak boleh ada orang yang mengganggu Bandung mengobati tanganku.
“Sekarang tanganmu yang harus ku bersihkan.”
Bandung dengan senang hati memberikan tangannya, dia tersenyum lagi. Kenapa Tuhan bisa memberi senyum semanis ini untuk orang aneh seperti Bandung? Apalagi jika tersenyum matanya pasti seperti tertutup. Jantung sialan! Ini cuma membersihkan tangannya, kenapa harus memacu dengan sangat cepat. Bagaimana jika aku tiba-tiba serangan jantung hanya karena memegang tangan Bandung? Bandung juga, kenapa harus senyum sambil terus memerhatikan aku membersihkan tangannya, takut tangannya ku patahkan atau kucuri untuk setiap saat aku bisa genggam? Karena aku akui, genggaman tangan Bandung sangat nyaman.
“Nanti pulangnya sama aku yah?”
“Tapi aku naik angkot pulangnya.”
“Supir angkot gak bakal kesepian kalau kamu enggak ada di angkotnya.”
“Lalu?”
“Aku yang kesepian kalau kamu tidak ada di jok belakang motorku.”
Tidak henti-hentinya lekukan bulan sabit timbul di wajahku akibat ulah Bandung. Aku tidak bisa menolak dalam keadaan seperti ini, dengan jantung yang sangat tidak sehat dan pipiku yang mulai memanas aku benar-benar bisa gila dibuat Bandung. Manusia aneh yang mengaku sebagai Phoebe ini sangat menakjubkan! Jangan buat pertemuan ku dengan Bandung hanya sementara Semesta, baru dia yang berhasil menerbitkan pelangi yang bahkan sudah lupa akan warnanya.
Bandung menepuk pelan jok belakang motornya mengisyaratkan aku untuk segera naik, yah kami pulang bahkan sebelum bel pulang berbunyi. Bukan Bandung namanya kalau tidak bisa membuat alasan supaya dia bisa menculikku, katanya aku sakit kekurangan darah akibat tanganku tergores bangku. Aku yang dibawa ke BK hanya menunduk sambil mencengkram pakaian sekolah Bandung, sedangkan Bandung masih dengan perannya yang nampak sangat serius dan khawatir dengan keadaanku. Lihat saja kalau kita berdua dihukum, kamu harus tanggungjawab Bandung! Siapa yang kira kalau akting Bandung berhasil meyakinkan guru BK untuk mengizinkan kami pulang, bahkan guru BK itu menaruh simpati denganku istirahat yang cukup, katanya. Aku yang tidak menyangka hanya mengangguk pelan, menyelesaikan akting yang Bandung lakukan. Alhasil kita bisa pulang.
“Mau bengong aja atau naik motor denganku, Aini?” tanyanya menyadarkanku.
“Eh, anu. Aku naik angkot aja, yah, Bandung. Enggak enak ngerepotin kamu terus.”
Sial, kenapa harus gugup.
“Naik motorku saja, kamu kan tahu bagaimana usahaku tadi supaya kamu bisa duduk di jok belakang motorku.”
“Ha?”