Aku sudah mengenal banyak orang, bahkan sudah akrab dengan orang selain Suci, teman bangku ku. Yang sangat dekat denganku ada tiga orang, Lisa, orangnya sangat pendiam tapi dia bisa jadi asik kalau diajak berbincang dan dia sangat pintar matematika, oh jangan lupa. Kalau dia tertawa ada lesung pipit dikedua pipinya, kemudian ada Nurul, orangnya agak serius, primadona kelas juga rupanya. Siapa sangka aku bisa berkawan dengan salah satu primadona kelas, kan? Yang terakhir, ada Murni. Mungkin sifatnya yang paling berbeda dari kami bertiga, dia sangat aktif, suka melawak, mudah berteman, dan sangat pemberani. Teman lelaki saja takut kalau berurusan dengan Murni. Dan ya, hanya murni yang sudah memiliki mantan diantara kami, sangat membingungkan memang, dilihat dari sifatnya yang tomboi dan sangat aktif, tapi dia lah yang sekiranya sudah memiliki mantan dan pacar.
Di belakang sekolah ada cafe kecil yang baru buka, sangat instagramable penampilannya. Dan pemiliknya sudah sangat akrab dengan Lisa, jadi mudah untuk juga berkunjung kesana. Cafe nya kecil, tidak seperti cafe pinggir jalan di pusat kota, letaknya juga bukan di pinggir jalan. Sangat sehat untuk aku yang terlalu sensitif dengan asap. Tentang itu, aku tiba-tiba teringat dengan Bandung yang berjanji akan menyiapkan masker untukku nanti. Tapi entah kenapa, waktu pulang sekolah tadi dia tidak berkata sedikit pun denganku. Apalagi menawarkan ku untuk duduk di jok belakang motornya, dia hanya menatapku dan tersenyum kemudian pergi dengan kakak kelas, tidak tahu siapa namanya.
“Ai, mau pesan apa?” Tanya Murni.
“Ai!” Dia kembali berseru, haduhh bodoh sekali aku ini malah memikirkan orang yang tidak ada disini.
“Aku gorengan aja deh, risoles.”
Kami menikmati makanan dengan lelucon yang sesekali Murni lontarkan, dia memang sangat handal membuat suasana hati menjadi lebih baik. Terbukti sekarang aku sudah bisa tertawa dan sedikit melupakan orang menyebalkan itu yang sukses membuatku terus memikirkannya.
“Disini ada, loh, perpustakaan bacanya. Kalian bisa membaca disana, gratis kok.” Itu kak Nia, pemilik cafe yang kami singgahi ini.
Kami yang memang suka membaca buku, tidak pikir dua kali untuk langsung ke perpustakaannya. Sangat indah, ada poster dinding berbentuk pohon sakura dan menara Eiffel. Sedangkan bukunya ditata dengan rapi di rak, aku baru tahu ternyata ada tempat semenakjubkan seperti ini di bumi. Aku mengambil buku seperti biasa, antologi puisi. Senang bisa mengenal puisi baru walaupun nama pengarangnya jarang dipublikasikan. Murni memilih novel percintaan anak SMA, kemudian senyum-senyum sendiri dibuatnya, Lisa mengambil buku masakan. Mungkin habis ini dia ingin memasak di rumahnya. Sedangkan Nurul, dia memang agak berbeda, dia memilih buku genre thriller. Thriller? Oh, ayo lah! Aku hanya ingin dengan damai membaca, bukan malah memikirkannya terus menerus.
“Kamu suka baca genre thriller?”
Nurul mengangguk mantap, kemudian aku masih penasaran.
“Suka apanya dari genre itu?”
Dia memberi batas di halaman yang ia baca, mungkin dia akan menjelaskan ku lebih serius perihal pilihannya kenapa bisa jatuh ke genre thriller.
“Entah kenapa aku hanya tertarik, seru saja membaca sekaligus membayangkan orang saling membunuh, menusuk, dan mencabik satu sama lain. Kamu tahu, itu akan memberi sensasi yang lebih saat kamu membacanya di malam hari. Terkadang aku menjadi lapar kalau membacanya di malam hari.”
Aku mau muntah mendengar penjelasan Nurul prihal alasannya menyukai genre thriller, terbesit pertanyaan tidak punya tuan maupun tujuan. Apa alasan Bandung menyukai genre thriller seperti itu?
“Eh kalian, nanti abis pulang dari sini mampir dulu ke rumahku. Aku mau coba masak makanan ini.” Ajak Lisa sambil menunjukkan buku masakan yang dia baca. Disana ada resep membuat kangkung tumis dan perkedel kentang. Seharusnya enak, tapi aku tidak yakin kalau sudah dibuat Lisa akan sama enaknya.
Semuanya mengangguk, aku jadi tidak enak kalau harus menolak ajakan tulus dari Lisa. Akhirnya aku juga ikut mengangguk, Lisa sangat senang dengan senyum lebar di wajahnya. Kan sudah kubilang, kalau Lisa tersenyum lesung pipit di kedua pipinya akan kelihatan.
Ternyata masakan Lisa tidak begitu buruk, perkedel nya sangat enak menurut ku komposisinya pas sedangkan tumis kangkungnya, seperti tergenang dengan minyak. Terlalu banyak minyaknya untuk ukuran tumis kangkung buatan Lisa. Bagaimana pun ini sangat patut dipuji untuk pemula seperti Lisa ini.
Sekarang sudah hampir magrib, aku benar-benar harus pulang. Kalau tidak, harus menunggu selesai magrib baru bisa pulang dan aku yakin langit sudah menggelap saat itu, Bapak pasti akan marah.
“Pulang, yuk.” Ajakku ke teman-teman yang lain.
Mereka melihat jam mereka masing-masing, kemudian mengangguk tanda setuju dengan ajakanku. Aku bernapas lega akhirnya. Kami berpamitan dengan tante dan juga Lisa untuk pulang dan juga tidak lupa terima kasih untuk makanan yang tadi. Rumah kami bertiga searah, jadi kami menaiki angkot yang sama. Yang pertama turun itu Nurul, aku, Kemudian Murni. Yah, di angkot kami masih berbicara sisa di rumah Lisa. Kebiasaan kalau sudah berkumpul dengan teman memang seperti ini, susah untuk berhenti berbicara satu sama lain, tanpa memerhatikan tempat dimana mereka sekarang. Satu persatu dari kami sudah sampai di rumahnya, menyisakan Murni di angkot bersama Ibu-ibu dengan anaknya. Aku melambaikan tangan, salam perpisahan untuk hari ini. Berbicara itu, aku belum menyampaikan salam perpisahan untuk Bandung hari ini. Aku menjadi lesu dibuatnya. Aku memilih untuk masuk ke rumah, menyiapkan diri untuk dimarahi Bapak.
“Assalamu’alaikum.”
Benar, Bapak sudah berdiri di depan pintu rumah. Tamatlah riwatmu, Aini! Aku menyalimi tangannya.
“Kenapa baru pulang sekarang?”
“Tadi main ke rumah teman, Pak.”
Suara Bapak menjadi lembut kembali, “Lain kali bilang ke Bapak kalau mau ke rumah teman, sama Nak Bandung juga. Kasian dia dari tadi nunggu.”
Apa? Aku tidak salah dengar, kan? Kali ini bukan ilusi? Ah, sepertinya aku terlalu memikirkan nya sampai-sampai seperti ini.
“Kenapa harus izin ke Bandung dulu. Nanti yang ada dia kegeeran.”
“Bukan kegeeran, tapi dia dari tadi nunggu kamu di dalam, katanya mau jalan sama dia mau bilang sesuatu, penting sekali katanya. Sana liat dulu.”
Bukan main kali ini, jadi Bandung dari tadi nunggu? Sudah sekitar 5 jam dia menunggu disini. Aku langsung saja menghampiri orang aneh itu. Wajahnya tampak lelah bahkan pakaian sekolah masih melekat di tubuhnya itu. Benar, bahkan dia belum sempat pulang untuk berganti pakaian. Emosi dan kalimat-kalimat untuk memakinya sudah kubuang jauh-jauh setelah melihat wajah lelahnya. Hanya senyum yang kuukir, lalu aku menduduki tempat tepat di sampingnya sambil sedikit memiringkan badanku supaya bisa langsung berhadapan dengan Bandung.
“Maaf, aku lama banget pulang nya, yah.”
Dia tersenyum, menakjubkan sekali! Aku pikir dia akan marah padaku karena membuatnya menunggu berjam-jam seperti ini. Tapi dia masih saja bisa tersenyum dan membuatku merasa sangat tenang dan nyaman.
“Aini ganti baju dulu aja, Bandung mau ajak jalan. Mau?”
Aku hanya mengangguk pelan masih dengan senyuman, dia mengacak pelan puncak kepala ku. Semesta! Bisa tidak, kalau dia mau melakukan hal mengejutkan seperti ini bilang dulu? Biar aku tidak seperti orang gila yang kena serangan jantung.