Aku mampir ke toko buku yang sama waktu itu, tidak tahu kenapa bisa sampai kesini. Tujuan awalku cuma mau membolos karena malas sekali kalau bertemu Bandung di sekolah. Orang-orang disekitar toko buku melihatku tidak ramah, aku memutuskan untuk masuk ke toko buku saja menghindari tatapan mereka, kutelusuri semua rak buku itu. Aku masih kepengen punya novel karya Wira dan melengkapi koleksi novel karya Bung Fiersa di rak khusus di kamarku, tapi aku masih harus menabung untuk itu. Sepasang remaja tengah memegang novel dan memperdebatkannya entah karena apa. Sampai,
“Kamu harus baca yang kayak gini sesekali, biar tidak yang romantis melulu.” Tegas pria itu.
Yang perempuan juga tidak mau kalah, “Ini untuk apa? Bikin takut tahu, gak?”
Aku sengaja menjatuhkan buku ke lantai, sontak pasangan itu terdiam dan beralih menatapku heran.
“Maaf, tanganku keram.”
“Heh, kau masih anak sekolah. Kenapa belum berangkat? Wah, orangtuamu harus tahu kalau anaknya membolos seperti ini.” Kritik pria itu.
Aku maju selangkah lebih dekat dengan mereka, tidak tahu saja mereka kalau aku ini tidak takut dengan siapapun. Pandanganku tidak ramah lagi, lagipula saat ini suasana hatiku sedang tidak baik dan pemuda ini berhasil memancing emosiku.
“Terus? Hakmu apa untuk melaporkanku seperti itu?”
“Kau, kan hanya orang asing yang beberapa menit lalu bertengkar dengan pasanganmu hanya karena genre bacaan yang berbeda. Tahu, tidak kalau itu kekanakan? Hah?”
“Jangan ikut campur dengan urusanku, urus saja yang memang menjadi urusanmu, seperti orang yang kau kirimi pesan saat pasanganmu tidak memperhatikan.”
Dia hampir menamparku, kalau saja aku tidak cepat membantahnya.
“Hei! Kau yang lebih dulu mengkritikku dan aku hanya mengungkapkan fakta. Apa sebanding dengan kritikanmu itu? Ha?!”
Perempuannya menunduk, sepertinya dia gemetar ketakutan.
“Heh, lihat ponsel pacarmu. Kalau aku berbohong aku siap ke kantor polisi sekarang atas tuduhan pencemaran nama baik.”
Perempuan itu memeriksa ponsel pacarnya, ekspresi nya sudah menggambarkan semua. Kemudian pria itu ditampar, aku terkejut tapi itu sebanding dengan yang dia lakukan.
“Saranku putuskan dia. Lelaki kasar, pengkhianat pula.”
Aku keluar dari toko buku itu. Muak sekali mendapati lelaki seperti itu. Tapi tiba-tiba sifat sinis ku kembali lagi, aku tidak bisa berkomunikasi dengan baik dan emosi yang seperti bom waktu yang kapan saja bisa meledak. Yang harus kulampiaskan tidak pada tepatnya. Aku menyerah, aku menuju ke sekolah dengan sisa waktu yang ada. Walaupun sudah jelas aku terlambat.
Benar, guru sudah ada di kelas. Menerangkan rumus trigonometri pada papan putih yang sekarang bermotif. Murni menyilangkan tangannya tanda supaya aku tidak mengetuk pintu kelas, untuk apa? Supaya aku tidak dihukum? Bukannya sudah sewajarnya aku dapat hukuman? Tidak masalah untukku, selagi namaku tidak langsung dicoret dalam sekolah ini. Aku menghiraukan isyarat Murni, aku mengetuk pintu.
“Terlambat.”
Aku pasrah saja, “Keluar, jangan masuk pelajaran saya!” Dapat kulihat ketiga temanku merasa sangat cemas dengan keadaanku.
Tidak ada ruginya aku tidak masuk kelas untuk saat ini, buktinya aku hanya disuruh keluar kelas bukannya berdiri di depan tiang bendera sambil hormat seperti yang siswa itu lakukan. Aku tidak tahu dan tidak berminat untuk tahu apa yang siswa itu langgar sehingga dihukum seperti itu aku hanya ingin menenangkan diri ke kantin. Untuk ke kantin aku harus melewati siswa itu, tidak apa dia tidak menggigit, bukan?
Tapi dia menarik tasku.
“Mau kemana?”
Aku mengernyit tidak suka dengan siswa itu, sangat tidak sopan sifatnya.
“Bukan urusanmu.” Ucapku sambil menyentakkan tangannya dari tasku.
Dia malah menarik tanganku, “ Kamu ada masalah?”
Oh, lihatlah orang yang sok tahu ini. Tidak tahu siapa, tidak tahu muncul dari mana sudah sok tahu dengan masalahku. Dia pikir dia siapa yang punya hak selancang itu mau ikut campur dengan urusanku.
“Kenapa? Masalahmu kurang sampai-sampai mau tahu dengan masalahku?”
“Bukan begitu, mau es krim?” Tawarnya tiba-tiba.
“Aku tidak suka yang manis-manis.”
“Kalau suasana hatimu seperti ini memang sangat cocok untuk makan es krim. Ayo, aku traktir.”
Percuma saja, aku tidak bisa melawan karena tenaganya sangat kuat. Kami duduk saling berhadapan, tidak ada siswa lain. Hanya ada Ibu kantin yang menata jualannya, sepertinya baru dibuka. Aku cemberut karena dia berhasil menculikku kesini.
“Tunggu disini, kamu mau rasa apa?”
Aku tidak menggubrisnya, ku masukkan headset ke telingaku kemudian menatap kosong ke depan, sengaja supaya dia kesal. Dia malah tersenyum, lalu lanjut ke tempat es krim. Beberapa menit kemudian dia kembali dengan dua es krim di tangannya. Sudah pasti es krim yang satunya itu untuk ku, dia menyodorkan es krim itu tepat di depan hidungku. Bahkan es krim itu menyentuh hidungku, dingin sekali, menyebalkan sekali.
“Katanya coklat bisa membuat suasana hati menjadi bagus.”
Benarkah? Apa dia semacam ahli dalam hal mengetahui suasana hati atau hanya orang sok tahu dengan omongan yang tentu saja tidak masuk di akal. Tapi aku tetap memakannya, menyebalkan kalau es krimnya meleleh di tangan dan mengenai seragam sekolahku, kan. Makanya aku makan.
“Ihh, manis banget.” Wajahku mengernyit karena memang es krim ini sangat manis, bisa langsung diabetes kalau memakan es krim ini. Apa orang yang membuatnya menuangkan satu pabrik gula hanya untuk satu cup es krim? Anehnya lagi banyak yang menyukai es krim dengan rasa yang terlalu manis seperti ini.
Dia tertawa, tawanya berbeda dengan Bandung. Dia punya gigi gingsul yang kalau tertawa langsung terlihat jelas dan lesung pipit tipis di kedua pipinya. Jauh berbeda dengan punya Bandung, tapi menjengkelkan nya hampir sama.
“Memang begitu rasanya es krim, selalu manis.”
“Tidak ada yang rasa risoles?” Tanyaku dengan polos.
Dia tertawa lagi, kali ini sambil mengacak rambutku. Lancang sekali!
“Nanti aku buatin, deh. Tapi harus ada syaratnya.”
“Apa?” Aku langsung bertanya, bodohnya aku percaya kalau dia bisa memberikanku es krim rasa risoles kesukaanku.
“Namamu siapa?”
Aku bingung, aku bertanya dan dia malah balik bertanya dengan pertanyaan diluar topik pembahasan. Oh, iya. Kami sudah banyak bicara, kami kan belum kenal.
“Aku tanya apa syaratnya, malah nanya namaku.” Gerutuku kesal.
“Iya, syaratnya kamu harus beritahu namamu. Biar bisa ku sapa setiap hari.”
“Setiap hari? Bahkan hari minggu? Hari minggu, kan sekolah libur. Berarti tidak akan ketemu.”