“Tumben kamu tidak ke toko Buku Kang Adi.”
Yah, hari ini adalah hari minggu yang biasanya aku habiskan untuk berdiam diri lama di toko buku milik Kang Adi. Karena terlalu sering kesana baru-baru ini Kang Adi memperlihatkan ku perpustakaan kecilnya yang berada tidak jauh dari tokonya itu. Katanya aku bebas membaca disana karena Kang Adi tahu persis kegemaranku membaca buku.
“Lagi malas, Pak. Nanti, deh Aini ke toko Kang Adi. Ada juga yang mau Aini tanyakan.”
Bapak mengangguk kemudian fokus melanjutkan mengiris daun bawang itu. Kami hanya tinggal bertiga, aku, Bapak dan Abang. Ibu sudah lama tidak disini, sejak aku belum pandai berbicara malahan. Jadi hampir semua pekerjaan rumah termasuk memasak aku dan Bapak kerjakan karena Abang bekerja dan pulang malam. Kecuali dihari minggu, abang libur kerja.
“Sini, Pak. Aini saja yang kerjakan. Nanti kalau sudah matang, Aini panggil Bapak sama Abang untuk makan.”
Bapak setuju dengan itu, aku melanjutkan martabak telur yang ingin bapak buat. Tidak begitu susah sebenarnya karena kulit martabaknya instan bisa dibeli, tinggal isian yang harus kuadon. Karena tidak ada wanita lain di rumah dan Bapak tidak menyanggupi untuk menyewa pembantu untuk masak di rumah. Mau tidak mau aku harus memasak dan akhirnya pandai memasak. Tidak ada salah dari keputusan Bapak sebenarnya karen itu mengajarkanku untuk memasak.
Adonan nya sudah siap, tinggal ku goreng. Ku nyalakan api kompor dengan wajan yang berisikan minyak di atasnya. Sambil ku tunggu minyaknya panas, tiba-tiba Abang memanggilku.
“Aini, temanmu datang. Seorang lelaki.”
Dipikiranku langsung tertuju kepada Bandung. Oh, semesta terima kasih karena mengembalikan Bandung secepat ini. Aku tidak menyangka kalau akhirnya aku masih bisa bertemu dengan Bandung. Aku langsung berlari dari dapur ke ruang tamu dengan senyum yang tidak bisa ku sembunyikan. Tolong jangan ganggu momenku saat ini dengan Bandung, bahkan jika dia ingin menculikku untuk yang kedua kalinya, aku siap untuk menjadi sanderanya disisa hidupku.
Aku sampai di ruang tamu, tapi tidak kudapati Bandung disini. Kembali berlari ke depan rumah. Baru ku buka pintu dengan sangat semangat secara bersamaan harapan dan rasa sesak menyerangku tiada henti. Bukan Bandung yang kudapati di depan pintu ku, bukan Bandung yang tersenyum ke arahku sekarang.
“Hai, Aini.” Dia tersenyum dengan tangan yang ia lambaikan.
Aku terpaksa mengukir senyum tipis untuk menghargai nya.
“Iya, Kak.”
“Kakak ngapain ke rumah Aini?”
Mungkin dia berpikir aku tidak sopan, karena sampai saat ini aku belum menyilahkannya untuk masuk malah melontarkan pertanyaan yang menyinggung. Tapi aku tidak perduli, karena bukan kehadirannya yang ku harapkan sekarang.
“Merampungkan tugasku untuk menyapamu di hari minggu.” Jawabnya lembut.
Aku terlonjak kaget, dia benar-benar melakukannya. Untuk beberapa detik aku tidak bisa mengatakan apapun kepadanya dan dia pun tidak. Kami sama-sama terdiam. Kemudian dia menyadarkanku dengan mengusap rambutku lembut.
“Yasudah, aku pulang.”
“Eh, maaf Kak. Masuk dulu, Kakak mau minum apa?”
Aku merasa bersalah, mungkinkah dia tersinggung denganku? Ah, bodoh Aini! Sudah pasti dia tersinggung karena sikap tidak sopanmu.
“Tidak perlu, aku kesini hanya untuk merampungkan tugasku. Dahh Aini.”
Setelah pamitnya itu, tidak kulihat lagi punggung dari Adam lalu menutup pintu. Tidak seharusnya terjadi seperti ini, aku benar-benar menentang kehendak semesta untuk menghadirkan Adam di saat aku menunggu kehadiran Bandung untuk kembali.
Martabak yang rencananya mau aku masak beralih tangan malah Bapak yang mrngerjakan. Ah! Pikiranku berat sekali sekarang dan aku juga merasa bersalah karena Bapak mengerjakannya. Bapak dan Abang sudah duduk dan makan di meja makan, aku turut menyamakan diri saja dari mereka. Duduk dan makan dalam diam, aku sangat takut kalau saja Bapak menanyakan soal Bandung yang mana aku belum siap menjawab kalau Bandung pergi entah kemana. Hilang dilenyapkan bumi.
“Tadi siapa, Ai? Kok temannya gak disuruh masuk ikut makan disini?” Mampuslah aku, Bapak seperti pembaca pikiran yang tahu persis apa yang ku pikirkan hanya saja tidak menuruti apa kemauan pikiranku.
“Kakak kelas Aini, Pak. Tidak penting alasannya kemari.”
Abang ikut-ikutan berkomentar tapi yang dia komentari salah, “Hallah... Bilang aja pacarmu.”
“Bang, jangan asal ngomong, deh! Mana ada Aini pacaran sama dia.” Rengutku. Nada bicaraku tinggi dan menunjukkan ketidaksukaan, tidak suka sekali memang.
Bapak menengahi, katanya tidak baik bertengkar dihadapan makanan. Dapat mengurangi rezeki nantinya, aku memilih mengalah saja dari pada rumahku nanti didatangi rezeki. Aku melanjutkan makanku yang setelah itu aku mau ke toko buku Kang Adi.
Setelah makan aku bersiap-siap ke toko buku Kang Adi, tidak terlalu bergaya. Hanya menggunakan celana jeans sedikit gombrang di atas mata kaki, dengan kaos warna putih bertuliskan Paris. Aku memang sengaja menggunakan pakaian yang warna nya tidak terlalu mencolok, selain karena ini masih siang juga karena dalam membaca aku butuh fokus dan konsentrasi penuh hanya pada bacaanku bukan untuk yang lain. Pakaianku sudah rapi, rambutku aku kuncir kuda saja biar tidak terlalu gerah.
Aku sudah berdiri di depan rak yang bersusun buku karya Risa Saraswati, entah kenapa aku ingin membaca yang seram-seram saja. Tidak berminat untuk membaca kisah romantis remaja apalagi yang pada akhirnya sang perempuan ditinggal oleh pasangannya. Terdengar sangat klise memang hanya saja aku seperti tersinggung jika membaca kisah percintaan seperti itu.
“Kamu suka baca cerita horror?”
Awalnya aku pikir itu Kang Adi, tapi waktu aku berbalik ternyata orang asing. Mungkin pelanggan baru atau sekedar melihat-lihat saja soalnya orang itu baru kutemui di toko Kang Adi.
“Pengen saja.” Jawabku singkat.
“Aku punya sederet buku karya Risa dan penulis genre horror lainnya. Seperti, Arumi, Bram Stoker,Stephen King dan masih banyak lagi.”
Aku tidak peduli, sumpah demi apapun bahkan jika dia memiliki rumah yang isinya setumpukan buku lebih dari toko buku Kang Adi, aku masih tetap tidak peduli. Bagiku dia hanyalah orang asing yang berusaha akrab tapi tidak akan aku tanggapi.
“Danu.” Tangannya terulur di depanku. Hendak dijabat rupanya.
“Maaf, saya tidak sembarangan menjabat tangan orang.”
Kutinggal saja dia yang masih berdiri di rak, tidak nyaman sekali dengan sikapnya yang sok akrab seperti itu. Kemudian dia datang lagi.
“Kalau begitu makan es krim denganku, mau?”
“Maaf, ya. Kalau tanganmu saja tidak mau ku jabat apa kamu pikir saya akan meng-iyakan ajakan makan es krim mu?”
“Tapi seseorang akan marah kalau aku tidak berhasil membujukmu.”
Kami sudah sampai di kedai es krim sebrang jalan. Tidak terlalu jauh dari toko buku Kang Adi, berjalan kaki saja sudah cukup untuk bisa sampai kesana.
Orang yang kuketahui namanya ialah Danu menyantap es krim rasa coklat dengan sangat lahap, haus mungkin karena berjalan. Yah, aku menolak masuk ke mobilnya dan memilih untuk jalan kaki saja. Sampai saat ini dia belum mau buka bicara prihal siapa orang yang dimaksudnya itu.
“Tadi kamu bilang seseorang akan marah. Siapa seseorang itu?”
“Es krim rasa coklatmu dimakan dulu. Katanya harus kamu makan dulu baru bisa aku jelaskan.”
Oh, baiklah! Danu juga termasuk orang yang sangat menyebalkan, kenapa harus takut sekali dengan orang yang menyuruhnya dan kenapa pula itu harus berhubungan denganku? Sampai sekarang akupun heran kenapa aku bisa dengan mudah ikut dengan Danu ke kedai es krim ini. Bahkan sekarang aku mulai menikmati es krim yang masih saja rasanya kemanisan.
Hampir setengah dari es krim itu ku makan, pusing rasanya kalau makan makanan manis terlalu banyak, setelah itu ku tanyakan lagi.
“Es krim ku sudah hampir habis. Jelaskan saja sekarang.”
Danu menurunkan sendok es krim nya, aku fokus ingin mengetahui siapa yang akan Danu bahas. Tanganku kulipat di depan dengan pandangan dan telinga yang tertuju pada Danu.
“Iya, orang yang sama yang memberimu hadiah perpustakaan kecil di dekat toko buku itu.” Jawabnya langsung tepat pada sasaran.
Aku bingung dan mencoba menerka-nerka kalau saja ada orang lain, tapi tidak. Hanya orang itu yang memberiku perpustakaan kecil di dekat toko.
Ku jawab masih dengan nada yang menerka-nerka, “Kang Adi?”
Danu melotot hampir tersedak rupanya. Dia jadi terbatuk-batuk, jadi makin penasaran saja anak ini. Setelah itu dia tertawa, aku pikir mungkin dia salah makan obat atau mengidap alergi dengan bahan apapun yang ada di es krim ini. Danu terlihat sangat aneh dan mengerikan. Baru aku hendak berdiri meninggalkan Danu yang mengerikan itu, dia menyuruhku untuk kembali duduk kemudian menetralkan tawanya.
Aku sedikit lega tahu kalau Danu masih sadar walaupun tidak pasti apakah dia sudah sepenuhnya sadar atau tidak.