Sudah tiga bulan Bandung pergi dan sama sekali belum memberitahu ku ada dimana dia sekarang. Pesan singkat yang aku kirim waktu itu hanya dibaca olehnya tidak niat sekali untuk dibalas. Aku semakin hari semakin muak dengan keadaan. Novel genre thriller yang Bandung berikan sudah berkali-kali aku selesai baca, harapan awalku kukira Bandung akan kembali jika novel kesukaannya itu kubaca, ternyata aku salah. Tidak ada perubahan dari keputusannya untuk menghilang dari hadapanku tapi tidak hilang dari ingatanku. Begitu menyiksa rasanya, seakan-akan aku merasa tercekik dengan rindu yang terus melilitku.
“Nanti Mai mau datang kesini. Katanya mau diuruskan pindahnya. Abang juga gak tahu dia mau pindah apa.” Bang Fer berbicara denganku di meja makan.
Aku tidak mendengar itu, sungguh tidak mendengarnya. Sudah beberapa bulan ini rasanya sunyi sekali di telingaku. Tidak ada suara lebih nyaring dari pada suara tawa Bandung di telingaku.
“Ai, Abangmu ngomong itu sama kamu.” Bapak menyadarkan lamunanku. Ternyata dari tadi aku melamun.
“Eh, Bang Fer ngomong apa tadi. Aini, gak dengar suara bang Fer kekecilan.”
Bapak dan Bang Fer saling bertukar pandang kemudian beralih ke piringku yang nasinya bahkan belum aku sentuh sama sekali. Hanya ku aduk-aduk sampai sudah seperti makanan kucing.
“Kok nasinya gak dimakan? Makanannya tidak enak?” Tanya Bapak hati-hati.
“Eh, bukan begitu. Enak kok, Pak.”
“Tadi ada paket, buat kamu katanya. Dari tadi Abang panggilin tapi kamu gak dengar. Mungkin suara Abang masih kekecilan.” Bapak dan Bang Fer jadi tertawa mengejekku sekarang. Menyebalkan sekali.
“Tapi Aini tidak pesan apa-apa. Kok bisa ada paket?” Tanyaku heran.
Lagi-lagi, Bapak dan Bang Fer hanya mengangkat bahunya tidak tahu juga. Aku mendesah antara kesal dan pasrah dengan kelakuan mereka berdua yang seakan-akan kompak untuk mengejekku.
Benar paket itu ada dan sekarang di kamarku. Aneh karena aku tidak pernah memesan apapun tapi paket ini ada. Takutnya kalau paket ini salah kirim.
Yasudah, aku buka saja karena paket ini atas nama aku. Mau ku tanya ke kurir yang mengantarnya juga sudah tidak ada. Tidak ada salahnya menurutku kalau ku buka.
Isinya sebuah headphone berwarna hijau army yang kotaknya diikat pita lucu berwarna merah muda. Unik sekali paketnya seperti sengaja dikirim untuk orang yang berulang tahun. Saat aku melihat headphone itu, panggilan masuk di ponselku. Itu Mai, sepupuku.
“Halo, Mai.”
“Ai, besok temenin aku belanja buku yah.
Biasa di toko buku Kang Adi saja.”
“Iya, Mai. Nanti aku kabarin kamu kapan aku
pulang sekolahnya, yah.”
“Oke siap.”
“Eh, iya Mai. Kamu ada gak pesan headphone?”
“Ha? Enggak, Ai. Kenapa memangnya?”
“Enggak, kok Mai. Aku asal nanya aja.”
“Yasudah, kalau begitu sampai besok yah. Bay.”
“Iya, bay.”
Aku masih berpikir keras prihal siapa gerangan yang mengirimkan paket ini. Siapa pelaku sebenarnya? Tapi tiba-tiba satu nama yang membekas terpikirkan olehku, apa benar dia Bandung? Tanpa basa-basi lagi ku ambil ponsenku dan mengirimkannya pesan singkat.
Satu kalimat itu juga membuat senyumku menghilang, semangat dan angan yang aku bayangkan tiba-tiba saja lenyap seperti di telan bumi. Pesannya sudah tidak kubalas lagi, sangat menyesal menanyakan tentang hadiah ini ke Bandung. Ternyata jawabannya tidak sesuai dengan harapan.
Headphone itu tidak ku sanjung lagi, langsung saja ku simpan di meja belajarku. Tidak niat untuk ku buka. Karena tragedi paket itu aku jadi sangat malas untuk melakukan apa-apa. Bahkan Bapak yang masuk ke kamarku sampai mengira kalau aku sakit, semua gara-gara pengirim paket yang misterius itu.
Saat semuanya terasa sunyi dan tenang, secara tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarku keras. Sangat keras bahkan aku tersentak, buru-buru ku buka pintu dan ternyata ketiga orang kesukaanku lah yang menjadi biang masalahnya. Anehnya lagi, mereka malah tersenyum puas bukannya minta maaf atas keributan yang mereka timbulkan. Bagaimana kalau misalnya tetangga tidak terima?
“Kalian kenapa, sih ngetuk pintu sampai segitunya?”
Murni merangkul tangan kananku dan Lisa merangkul tangan kiriku. Aku tidak tahu ada niat apa mereka. Yang jelas aku sangat malas dan tidak niat pergi kemanapun hari ini. Bisakah aku berharap mereka pergi saja saat ini? Aku benar-benar tidak suka diganggu saat ini.
“Katanya kamu punya tempat yang bagus buat kita.”
Sejak kapan aku merekomendasikan tempat bagus? Bukannya jalanku cuma di sekitaran toko buku Kang Adi dan warung Bu Siti? Mereka memang handal membuat aku pusing.
“Kapan aku bilang begitu? Perasaan gak pernah.”
Tidak peduli dengan perkataanku mereka malah membawaku menaiki sebuah mobil. Entah sejak kapan mobil itu ada di depan rumahku, aku menunjukkan wajah memelasku ke Abang tapi dia malah mengejekku. Benar-benar tidak bisa diandalkan.
Jadilah aku duduk di dalam mobil itu, mereka mengapitku di kiri dan kanan. Seperti aku berani kabur saja kalau sudah di dalam mobil seperti ini. Aku tidak henti-hentinya menggerutu di sepanjang jalan dan tidak henti-hentinya juga teman ku meminta supaya aku diam sebentar. Kemudian Nurul membuka suara,
“Sejak kapan kamu dekat dengan Kak Adam?”
Aku benar-benar syok mendengar pertanyaan itu, aku dekat dengan Adam? Tentu saja jawabannya tidak! Tapi bagaimana bisa dia tahu soal Adam, padahal aku tidak pernah membahasnya.
“Aku gak dekat dengan dia. Kamu dengar gosip dari mana coba. Ngawur.”
“Tapi, Kak Adam sendiri yang ngomong begitu.”
Dengan pandangan lurus ke depan, aku menjawab seadanya, “Ya, itu pikiran Kak Adam. Kalau aku, kan beda.”
Mereka mengangguk setuju, kemudian diam secara serentak sejenak. Aku pikir masalahku sudah berakhir. Kupejamkan mataku untuk istirahat sejenak, tebakku kami akan bepergian jauh yang berarti aku masih sempat istirahat.
“Jadi bener, Kak itu cuma pikiran Kak Adam? Kalian gak beneran dekat?”
Aku yang memejamkan mata secara tiba-tiba membuka mata saking terkejutnya. Murni bertanya dengan siapa? Apa Adam ada disini? Tapi dimana? Apa jangan-jangan. Astaga Aini bodoh! Kenapa sebelum naik ke mobil tidak melihat siapa yang mengemudi mobilnya dulu, sih. Kan jadinya panjang masalahnya kalau begini.
Aku mendesah pasrah, mau bagaimana lagi dia pasti sudah mendengar jawabanku prihal kedekatan kami. Membela hanya akan memperburuk keadaan dan makin menunjukkan kalau aku sebenarnya tidak suka dibilang dekat dengannya.
“Aku juga baru tahu kalau ini hanya pikiranku, aku pikir kami benar-benar dekat. Tapi tidak masalah, aku tidak akan menyerah.”
Ucap Adam dengan semangat mengundang sorak dan tepuk tangan dari teman-temanku. Aku membuang asal pandanganku keluar, merasa sangat kesal. Mereka teman-temanku atau temannya Adam? Mereka seakan tengah berpihak di Adam, pilih kasih!
Sudah, aku tidak ingin mengatakan apapun lagi. Kupastikan apapun yang akan ku katakan hanya akan berujung aku dipojokkan disini. Setelah sekiranya tiga puluh menit menempuh perjalanan, kami telah sampai. Lisa yang membangunkanku untuk segera turun, aku hanya mengangguk setuju. Belum jelas dan sadar betul dari tidurku.
“Kok kesini?” Tanyaku menuntut ke Adam.