Aku masih berharap kalau Erick ingin merebut bangku ku, tidak masalah kami berdebat sehebat apapun. Asalkan pada akhirnya Bandung datang untuk menyelesaikan masalah. Aku begitu terpesona dengan semua cara Bandung. Cara Bandung menyelesaikan masalah, cara Bandung membuat pipiku memerah, bahkan cara Bandung membuatku tidak henti-hentinya memikirkan dirinya.
Aku yakin tragedi beberapa bulan lalu bukanlah mimpi, Bandung benar-benar ada dan dia di sisiku. Terasa begitu nyata saat aku duduk di jok belakang motornya. Bandung, banyak yang ingin ku ceritakan padamu. Cerita yang bisa kuceritakan saat kamu ada di hadapanku karena aku tidak mau kita salah paham lagi. Sama saat kesalahan yang aku buat saat terkahir kali kita bertemu.
Bandung,
Entah ini ulahmu atau bukan. Tapi keberadaan Adam seakan-akan jadi pengganti disaat kamu tidak ada di sini. Tapi percayalah demi apapun, dia sama sekali tidak bisa menggantikan posisi yang sudah kamu renggut.
Bandung,
Aku sudah menepati janjiku untuk tidak duduk di jok belakang motor siapapun selain Bapak. Aku pernah menolak Adam membawaku dengan motornya, alhasil kami naik angkot. Itu bisa dimaafkan, Bandung? Aku tidak pernah memikirkan sedikitpun bahwa Adam bisa menggantikan mu, karena kamu spesial. Phobe menyenangkan yang dengan lancang mengajakku berbincang.
Bandung,
Sekali lagi. Kapan kamu rencana pulang? Kamu pergi tapi tidak dengan kenangan dan jejak yang pernah kita lalui. Semuanya tinggal mengendap menimbulkan rindu yang membengkak setiap harinya. Aku janji, siap menjadi sanderamu selamanya. Asalkan kamu pulang. Aku merindukan mu.
Surat itu berakhir di halaman buku ku, tidak pada seseorang yang harus menerimanya. Aku sudah bertekad bahwa aku sendirilah yang akan mengatakan ke Bandung secara langsung bahwa aku merindukannya. Hari demi hari bahkan sudah memakan bulan, tidak ada sedikitpun waktu aku tidak merindukan orang itu.
Hari ini Mai nginap di rumahku, yah kami berbagi kamar sekarang. Dia tidak henti-hentinya mengoceh hal-hal yang aneh membuatku makin pening. Kebiasaannya yang terlalu mau tahu segala hal menuntut agar aku juga menjelaskan semua keingintahuan nya prihal hubunganku dengan Adam. Padahal sudah kujelaskan berkali-kali kalau aku dan Adam hanyalah sebatas teman. Tapi berkali-kali juga dia menolak untuk percaya, yasudah kalau tidak percaya. Yang penting aku sudah menjelaskannya.
“Jadi kamu besok berangkat nya sama aku?” Tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Iya, kan malam ini aku nginap di rumahmu. Sudah pasti perginya bareng.”
“Kenapa malah pindah sekolah? Kan sekolahmu yang sebelumnya bagus. Mana sekarang udah mau ujian semester.”
Mai nampak berpikir sejenak, kemudian mengehela napas. Sepertinya alasannya cukup serius, aku fokus pada Mai sekarang. Oh, iya. Mungkin kalian perlahan sudah paham kalau aku orangnya serius, suka menjadi pendengar untuk teman-teman ku termasuk sepupuku saat ini.
“Aku sebenarnya oke aja sekolah disana. But,you know my father is overprotective to me. And friends at my school who were not suited to his style.”
Aku tertawa, memang Bapak Mai bisa dibilang sedikit kuno, bahkan Bapakku tidak sampai segitunya. Antara kasihan dan lucu juga mendangar alasan Mai pindah sekolah ini. Tapi tidak masalah, berarti temanku di sekolah bertambah satu lagi. Aku akan memperkenalkan Mai ke tiga orang kesukaanku, ditambah Adam.
Aku pikir saat bangun pagi, Mai akan bangun lebih dulu untuk mempersiapkan sekolahnya. Secara hari ini, hari pertama dia bersekolah di sekolah yang baru. Biasanya orang lain akan bersemangat dan bangun lebih pagi, tapi mungkin Mai masuk di pengecualian. Terbukti bahkan sekarang dia belum bangun, sedangkan aku sudah mandi sebentar lagi mau sarapan.
Jadilah aku yang bertugas membangunkannya untuk segera menyiapkan diri, awalnya dia masih enggan untuk beranjak bangun. Tapi, saat ku ceritakan bahwa guru BK sekolah kami sangat tidak tolerir dengan murid yang terlambat. Maka, dia langsung bangun dan menuju ke kamar mandi dengan handuk di bahunya. Berhasil juga! Harus ku syukuri karena sudah berpengalaman terlambat di sekolah, jadi bisa memberi pelajaran seperti ini.
“Sini, makan bubur ayam.” Ajakku pada Mai yang baru saja keluar dari kamar mandi.
“Tumben makan bubur ayam, biasanya nasi sama telur dadar.” Ejeknya diselingi tawa jahilnya. Memang Mai ini tipikal orang yang lumayan jahil.
“Baguslah, nanti kalau nginap lagi aku kasi ubi rebus saja sama gula.” Balasku sarkas.
Mai cemberut dan langsung duduk untuk menikmati bubur ayam yang ada di atas meja.
“Emm, enak. Ini dibuat Bapakmu?”
“Bukan, tadi kebetulan ada penjual bubur ayam yang lewat. Jadi aku beli, itupun disuruh Bapak sebenarnya.”
Mai hampir saja mengetuk ku dengan sendoknya. Untung aku cepat mengelak dari sendok ajaib milik Mai.
“Kau memang sepupu yang tega, tidak punya hati! Untung Pamanku masih punya hati yang baik. Makasih Paman.” Teriak Mai berterimakasih ke Bapak yang ada di halaman belakang.
“Iya sama-sama, sekolah yang benar disana.” Balas Bapak juga dengan teriakannya.
Aku menutup telinga, apakah dalam waktu semalam rumahku berubah menjadi hutan? Kenapa isinya orang-orang yang berteriak seperti tarzan saja.
Setelah menghabiskan bubur ayam yang super lezat itu, aku dan Mai berpamitan untuk berangkat sekolah. Kami memang perlu berjalan beberapa meter untuk bisa sampai di tempat menunggu angkot. Tidak masalah, hitung-hitung olahraga.Begitu keluar dari gang rumahku hampir sampai di tempat menunggu angkot, Adam tiba-tiba muncul mengejutkan.
“Pagi.” Sapanya begitu ceria.
Aku memutar bola mataku jengah, dia lagi, dia lagi. Sedangkan Mai terlihat senyum-senyum malu membalas sapaan Adam.
“Kakak gak ke sekolah?” Tanyaku tepat sasaran.
Mai sudah menyikutku dari samping, bertanda tidak setuju dengan pertanyaan yang kulontarkan seakan tidak senang dengan keberadaaan Adam disini. Karena bukan seakan lagi, sudah nyata aku tidak begitu senang keberadaan Adam.
“Tidak masalah, aku sudah terbiasa dengan pertanyaan sengit dari Aini. Ini mau sekolah, barengan sama Aini dengan murid baru yang ramah ini.”
Mau muntah rasanya, sejak kapan Adam menekuni kiat jitu menjadi playboy? Sepertinya sudah cukup handal untuk membuat Mai memerah karena gombalannya. Aku tidak memerdulikan Adam, jengah rasanya kalau apa-apa ada dia, ada dimana saja juga ada dia yang mengikuti.
Saat aku jengah dengan kehadiran Adam tiba-tiba notifikasi ponselku berbunyi,
Satu pesan singkat membangkitkan lekukan sabit yang entah sejak kapan muram terbenam. Suatu pertanda bahagia yang teramat aku tunggu kalau dia akhirnya kembali. Menyingkirkan raut gelisah berganti dengan bahagia karena dia ada disini.
“Aku pergi sebentar, Kak aku titip sepupuku, yah. Dia sekelas dengan aku.” Pamitku lalu bergegas pergi.
Sepanjang jalan aku tidak hentinya tersenyum, aku rindu sekali melihat orang ini kembali. Dan akhirnya semesta mengabulkan permintaanku untuk bisa bertemu dengan orang menyebalkan ini.
Sudah di persimpangan jalan, aku mengatur napasku. Berusaha sadar bahwa ini bukanlah mimpi. Setelah semuanya normal kembali, aku melanjutkan langkahku dan ku temukan dia baru saja keluar dari toko buku Kang Adi. Dia memainkan ponselnya seperti hendak menelpon seseorang, dengan gemetar aku memastikan bahwa ponselku lah yang ingin ia hubungi. Tidak berlangsung lama panggilan masuk di ponselku atas nama Bandung. Aku bersyukur karena ini semakin membuktikan bahwa Bandung sudah kembali. Ku angkat panggilannya itu.
“Halo.”
“Kamu dimana, Ai? Nanti kita terlambat.”
Dia menggerutu tapi masih dengan nada bicaranya yang lembut. Apakah itu masih dikatakan menggerutu? Dia sangat lucu memang. Sambil mendengarnya menggerutu aku mendekatkan diri dengannya yang tengah membelakangi ku.
“Iya, aku baru mau cari angkot. Kamu tunggu sebentar.”
“Iya, aku tunggu jangan terburu-buru. Harus hati-hati, Aini.”