Sore ini, di teras rumah ditemani ubi goreng dan risoles kesukaan ku, aku, Mai, dan Bapak menikmatinya. Ubi gorengnya sudah mau habis sedangkan Mai belum berhenti mengoceh, aku terima-terima saja sedangkan Bapak sudah gagal fokus membaca berita politik.
“Sudah, Mai. Om, jadi gak bisa baca berita ini dengar kamu ngomel terus.”
“Om, Aini itu ninggalin Mai pas lagi nunggu angkot sama orang asing pula.”
“Tapi kamu suka, kan?” Pertanyaan menggodaku sukses membuat Mai tersipu malu.
“Siapa? Nak Bandung?”
“Bandung?” Tanya Mai heran mendengar nama itu.
“Emang ada orang namanya Bandung?”
“Ada, gak usah kamu pikirkan. Ayo, kutemani jalan-jalan sebagai penawar karena tadi aku ninggalin kamu sama orang asing.” Kata-kata terakhir sengaja aku buat nada sindiran karena aku tahu sebenarnya Mai tidak benar-benar kesal karena tragedi itu. Sedikit banyaknya dia senang.
“Gak, ah.Kamu aja, aku nitip dibelikan cat air yang ada di toko buku Kang Adi saja.”
Langsung kusanggupi, lagipula ini bisa disebut balasan karena aku meninggalkannya waktu itu. Tinggal memakai jaket, selesai. Aku berpamitan ke Bapak untuk pergi ke toko buku Kang Adi.
Jalan sore kali ini damai sekali, tidak banyak pengendara motor yang didominasi oleh pekerja yang memenuhi jalanan. Tidak tahu kenapa, tapi yang jelas sangat damai disini, aku jadi bisa menikmati langit di bakar senja bersama angin yang sejuk.
Begitu aku sudah sampai di toko buku Kang Adi, Kang Adi langsung menyapaku hangat dan ku balas lebih hangat pula.
“Nyari buku apa, Ai? Di perpustakaan mu kekurangan buku?” Tanya Kang Adi.
“Bukan, Kang. Sepupu, Aini minta dibelikan cat air. Ada?”
“Cat air? Tunggu ku carikan.”
Aku mengangguk dengan Kang Adi yang mulai mencari stok cat cair yang ada di dalam. Ku telusuri lagi rak buku baru yang senantiasa membuat suasana hatiku membaik, aroma buku baru yang memabukkan, decitan plastik yang masih membungkus buku dengan rapi benar-benar membuat candu. Ah, aku tidak pernah kecewa dengan benda yang satu ini. Tahu betul membuatku senang.
Tapi tunggu, punggung itu cukup familiar di kepalaku dan gelang itu. Kebetulan atau memang sudah dirancang, namun yang pasti bukan dia yang mengutitku sebab dia yang lebih dulu sampai disini. Dia yang mulai bangkit lantas berbalik langsung menemukanku beberapa meter di belakangnya. Aku sudah terlanjur tertangkap basah dan tidak sempat mengalihkan pandangan karena pergerakan dia terlalu cepat.
“Eh, ada Aini. Selamat sore, Aini.” Sapanya berlanjut.
Tidak ada cara lain selain tersenyum sebagai balasan dari sapaannya itu, jadi sekarang siapa yang salah? Aku atau dia? Tapi dia jelas-jelas tidak menguntitku, tapi kenapa yang dia kunjungi toko Kang Adi, aku yakin ada puluhan toko bertebaran seperti toko milik Kang Adi.
“Ai, ini cat airnya.” Panggil Kang Adi.
Syukurlah, Kang Adi menyelamatkan ku kali ini. Langsung saja kuhampiri Kang Adi untuk menerima cat air darinya. Tidak disangka dia mengikut.
“Mau melukis? Katanya gak pernah dapat nilai bagus di pelajaran seni atau mungkin baru mau belajar?” Tanyanya bertubi-tubi. Entah yang mana harus ku jawab lebih dulu.
“Bukan, Kak. Ini sepupuku minta dibelikan cat air, mungkin dia mau melukis.”
Dia mengangguk tanda puas dengan jawabanku. Bolehkah aku pergi sekarang? Aku tidak suka terjebak di situasi seperti ini.
“Eh, tunggu. Kita jalan bareng aja, cuaca sore ini bagus soalnya.” Cegatnya begitu sudah kulayangkan kaki ku mendekat di pintu.
Aku mengumpat begitu banyak, mengutuk cuaca sore ini yang sangat membuatnya senang. Tapi apa hubungannya jalan bersama dengan cuaca yang bagus? Dia hanya mengarang alasan saja, dia hanya ingin menjebakku karena dia tahu aku tidak nyaman di dekatnya.
“Ini, Pak uangnya.”
Kulihat yang dia beli seperangkat alat dan bahan untuk melukis. Ada canvas, cat air, kuas, dan yang lainnya. Bukannya dia pernah bilang tidak pandai melukis? Lalu mengapa sampai beli seperangkat alat dan bahan untuk melukis? Membingungkan saja.
Dia sudah selesai membayar, kami keluar dari toko buku Kang Adi jalan bersama. Awalnya tidak ada yang membuka suara, Adam benar-benar menikmati suasana sore ini dengan sangat khidmat. Sedangkan aku, sibuk memikirkan banyak cara bagaimana supaya aku dan Adam cepat sampai dan kami berpisah.
“Aku senang, lekukan sabit itu akhirnya muncul lagi.”
Aku terkejut dengan dia yang tiba-tiba membuka suara.
“Terima kasih, Kak.” Balasku.
“Eh, iya Kak. Katanya Kakak gak pandai ngelukis, tapi kok beli seperangkat alat dan bahan untuk melukis?”
“Gak pandai belum tentu gak bisa, kan? Makanya karena aku gak pandai, aku mau belajar supaya bisa pandai.” Jawabnya membuatku paham.
Yang dikatakannya benar juga, tidak ada salahnya bahkan bagus kalau mau belajar untuk bisa pandai melukis, semuanya juga berawal dari ketidaktahuan menjadi tahu karena ada usaha dan belajar di dalamnya.
“Aini paham sekarang.”
“Hm? Kamu paham? Apa kamu juga paham kalau aku menyibukkan diri itu karena beralih untuk tidak terlalu sering mengganggumu?”
Aku membatu, tidak ada kata-kata yang bisa diproses untuk saat ini. Adam mengunci jalannya pikiranku untuk bekerja sebagaimana mestinya. Dia terlalu sering menanyakan hal-hal yang membuatku akhirnya hanya berujung tidak dapat menjawabnya.