Sebelum, saat dan setelah kamu pergi.

Aliyya Prayitno
Chapter #9

Sembilan

Tadi pagi aku mendapatkan pesan singkat dari Bandung, isinya tidak jelas dan tidak bisa aku terima begitu saja. Isinya bertuliskan kalau Danu terjerat narkoba. Gila, Danu bukan tipikal orang yang senang bermain-main dengan benda haram itu, dia lebih suka makan es krim yang gulanya satu pabrik, bukan malah obat yang terasa pahit itu. 

Aku semakin menggila saat tahu Bandung tidak masuk sekolah hari ini, aku mohon kebar yang Bandung berikan itu hanyalahtuduhan bukannya kenyataan. Hal yang paling menyrbalkan karena Bandung sama sekali tidak membalas pesanku, apakah aku harus mendengar kabar terakhir kalau Danu harus direhabilitasi? 

“Ai, hari ini jadikan ke rumahku untuk perutmu?”

“Untuk hari ini kayaknya aku gak bisa, Nurul. Ada urusan penting yang mau aku perjelas.”

Nurul mencekat tanganku segera, jadilah aku menunggunya sebentar untuk mengutarakan apa yang ingin dia katakan.

“Apa masalah yang lebih penting dari perutmu yang selalu sakit?”

“Temanku terjerat kasus narkoba.”

Nurul melepaskan tangannya di tanganku untuk menutup mulutnya terkejut. Aku tidak heran dengan reaksinya karena aku pun tadi berlaku sama. 

“Siapa, Ai?”

“Namanya Danu. Mungkin kasusnya masih diproses, aku harap semua itu hanya tuduhan dan tidak terbukti.”

“Tapi siapa dia, kenapa kamu gak pernah cerita punya teman namanya Danu?”

“Ceritanya panjang, sekarang aku harus segera pergi.”

Aku berlari keluar menunggu ojek online yang sudah aku pesan. Aku benar-benar harus memastikan hal ini, setidaknya Danu harus cerita kalau dia ada masalah bukannya malah menjatuhkan dirinya ke lubang yang salah. Itu tidak akan menyelesaikan masalah, malah menambah masalah. Begitu ojek onlinenya sudah sampai, langsung ku suruh mengebut untuk sampai di tempat rehabilitasi yang sebelumnya Bandung katakan. 

Masih berharap cemas kalau saja ini bukannya kebenaran, setelah lima belas menit menempuh perjalanan. Aku berlari memasuki tempat itu, tidak ada keluarga besar yang mendampingi Danu. Hanya ada seorang wanita yang menangis tersedu tak bisa tertahan dan ada Bandung di sebelahnya. Aku yakin wanita itu adalah Ibu Danu, langsung kuhampiri Bandung yang ada disana. Nampak dia terkejut dengan kehadiran ku tapi aku sudah ada disini tidak ada gunanya jika dia ingin berdebat sekarang.

“Danu bagaimana? Kenapa tidak dibawa pulang saja? Aku yakin dia tidak mengonsumsi hal seperti itu. Ayo, bawa Danu pulang.” 

Ucapku kepada Bandung membuat Ibu Danu semakin meraung menangis. Jalan pikiranku mati sekarang, aku tidak dapat berpikir kenapa bisa Ibu Danu semakin menangis. Sedangkan Bandung tidak meresponku, dia hanya menatapku sayu dan tidak bertindak. Baiklah, kalau Bandung tidak ingin membawa Danu pulang, biar aku saja yang membawanya. Tempat ini menyeramkan, tidak cocok dengan Danu yang ceria. Aku tidak akan tega jika Danu berakhir di tempat ini.

Baru saja aku hendak mencari keberadaan Danu, Bandung cepat mencekal tanganku. Ada apa dengan dia? Aku hanya ingin menyelamatkan Danu dari tempat menyeramkan seperti ini. 

“Kamu gak mau bawa pulang Danu, biar aku yang bawa dia pulang.” Ucapku dengan suara yang tertahan. Begitu tersiksa mendengar tangis Ibu Danu yang terasa sangat teriris hati dan perasaannya. 

“Biar Danu sementara waktu disini, yah. Nanti kita sama-sama jemput kalau Danu sudah diperbolehkan pulang.”

Ini bukan keputusan yang benar, Danu tidak boleh tinggal disini sampai waktu yang bahkan tidak ada yang tahu. Atas dasar apa Danu harus tinggal disini kalau yang dituduhkan itu bukanlah sebuah kebenaran. 

“Bandung kamu salah. Danu tidak boleh disini, ini tidak pantas. Atas dasar apa Danu harus tinggal disini kalau yang dituduhkan itu bukanlah kebenaran.”

Bandung beralih memelukku bukannya pergi bersamaku, perasaanku makin kacau dengan yang Bandung lakukan. Seakan perlakuannya hanya untuk berusaha membuat aku menjadi tegar dengan keadaan yang ada. Tidak bisa kubendung lagi, tangis ku pecah begitu saja di dalam dekapan Bandung. Setiap sentuhan yang Bandung berikan tidak mempan untuk menenagkanku, malah aku merasa semakin memburuk. Aku bukanlah teman yang baik, tidak pernah tahu kalau Danu punya masalah sebesar ini hingga terjerat ke dalam masalah narkotika.

Sekarang kami ada di cafe dekat dari tempat rehabilitasi tadi. Di depanku disuguhkan es krim rasa coklat dan ada risoles juga. Tidak kusentuh sama sekali, mataku sampai sekarang masih mengeluarkan air mata, hidungku bahkan sudah tersumbat akibat terlalu banyak menangis. Tapi memang tidak bisa berhenti, rasanya syok sekali dan sakit sekali tahu teman tertimpa masalah sebesar ini.

“Dimakan, Ai. Biar kamu baikan.”

“Aku gak mau makan es krim sekarang! Danu pernah memaksaku makan es krim waktu kamu tidak ada disini.” Hentakku ke Bandung.

Sebenarnya ini bukan salah Bandung, bukan juga salah es krim tidak berdosa ini. Hanya saja aku terlalu marah dengan diriku sendiri hingga meluapkannya ke orang lain juga. 

“Jadi mau ku ganti dengan apa? Biar Aini senyum.”

Bukannya terseyum tangisku malah kembali pecah saat Bandung mengatakan hal itu. Aku bingung dengan Bandung yang begitu tegar dengan kejadian ini, sekarang aku takut dengan orang yang terlalu tegar dan menyembunyikan lukanya dengan senyuman mirip Danu dan Bandung. Aku tidak ingin ada kejadian yang sama menimpa orang-orang disekitarku, satu saja sudah cukup menyiksa. Tidak perlu dua atau tiga kasus lagi.

Bandung memeluk ku sebagai balasannya, entah sudah basah seperti apa baju Bandung dengan air mataku. Tapi dia sama sekali tidak protes akan hal itu. 

“Aku janji, nanti kita akan sering mengunjungi Danu disini. Jadi kamu jangan khawatir.”

Aku sudah sampai di rumah, Bandung tadi mengantarku. Dia juga sempat singgah berbincang dengan Bapak, aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Kepalaku sangat sakit akibat banyak menangis tadi, aku hanya ingin istirahat sekarang.

Aku membersihkan diri dulu di kamar mandi, penat sekali rasanya hari ini seperti banyak beban yang menimpaku, setelah bersih-bersih. Bapak memanggilku untuk makan, serasa enggan untuk makan. Jujur, saat ini aku tidak ada selera makan sedikitpun, tapi aku tidak ingin menimbulkan keributan dan masalah baru. Kuputuskan untuk bergabung di meja makan bersama Bapak dan Bang Fer.

Awalnya kukira setidaknya satu dari mereka menanyakan prihal mataku yang sembab ini. Tapi tidak ada yang sangka semuanya hanya fokus pada makanan masing-masing, aku bersyukur karena mereka mengerti untuk tidak membahasnya sekarang.

Setelah makan tadi, aku langsung bergegas ke kamar. Ingin sendiri dulu untuk bisa paham kalau tidak semua kejadian baik-baik saja, ada kalanya kita juga harus menerima kejadian yang tidak baik bukan hanya menerima yang baiknya.

Ponselku berdering, menunjukkan sebuah pesan singkat yang Bandung kirimkan kepadaku. Langsung ku buka pesan itu,

Aku heran dengan Bandung yang tiba-tiba saja menanyakan masalah lampu. Padahal yang kami bahas sebelumnya masalah aku yang susah tidur.

Ya, ya, dia ada benarnya juga. Asal dia tahu saja karena gara-gara lampu itu tidurku jadi sangat nyenyak sampai terlambat ke sekolah. Sampai kesal sekali rasanya mengingat hal itu, tidak ada gunanya juga menceritakan hal ini ke Bandung. Aku yakin setelah dia mendengar cerita ku dia pasti menertawakan ku. Biarlah tetap jadi rahasia saja.

Tidak ku balas lagi, aku kesal dengan Bandung yang selalu menjawab dengan jawaban seperti itu. Setidaknya sekali saja dia memberi tahu kemana dia akan membawaku jalan-jalan. Tapi lihatlah, dia sama sekali tidak berniat sedikitpun.

Lampu yang Bandung berikan benar-benar membuat tidurku nyaman, terbukti hanya dalam beberapa menit saja aku sudah terlelap. 

Tadinya aku pikir kami mau ke tempat yang sangat jauh sama saat Bandung membawaku ke Kota Bandung waktu itu, tapi ternyata Bandung membawaku ke tempat rehabilitas Danu. Aku senang sekali bisa datang berkunjung kesana, tapi yang membuatku kesal, Bandung tidak bilang dari awal kalau kami akan mengunjungi Danu, tahu begitu akan ku bawakan makanan yang enak untuk Danu disini.

Danu sedikit berubah ternyata, dia jadi makin kurus, tulang pipinya sampai terlihat seperti itu dengan lingkar hitam yang mengelilingi matanya. Sekarang aku mulai meneguhkan hati dan perasaan bahwa benar Danu sudah ada disini. Bukti juga sudah akurat dan sekarang aku menjadi lebih yakin setelah melihat kondisi terbaru dari Danu. Aku mau sekali menangis sekarang, tapi tidak kulakukan. Itu hanya akan membuat Danu memikul lebih banyak beban dengan kondisinya yang seperti ini. Terpaksa senyum ini yang nampak, walaupun aku tidak begitu yakin ini nampak natural atau tidak, yang penting aku sudah berusaha.

“Tahu gitu mau kesini, aku pasti bawa oleh-oleh buat Danu.”

Lihat selengkapnya