Banyak yang berubah, terutama diriku. Sejak mendengar dan merasakan seberapa besar rasa suka Mai terhadap Bandung, aku makin tidak tega membuatnya sakit hati. Dengan rasa cintanya yang sebesar itu mampu membuat aku dua bulan ini merenung. Aku jadi suka melamun terlebih jika bersama Bandung. Aku yakin Bandung sudah sangat curiga dengan sikapku yang berubah seperti ini, tapi tidak sekalipun dia menanyakan hal tersebut. Dia masih sangat menjaga perasaanku, bagaimana aku tidak makin jatuh hati setiap harinya jika perlakukannya terhadapku bisa semanis ini, sedangkan di sisi lain aku memutar kepala menemukan jalan keluar dari cinta segitiga ini.
Satu-satunya kabar gembira dalam hidupku adalah mendapatkan berita bahwa Adam lulus di sekolah kedinasannya. Bahagia sekali aku waktu mendapat pesan bahwa Adam lulus. Sedikit banyaknya aku berterima kasih kepada semesta yang tidak hanya menghadirkan masalah tapi juga menghadirkan kabar gembira untuk menyeimbangkan emosionalku.
Oh, iya. Karena aku sudah tahu dengan jelas bahkan sangat jelas bagaimana rasa suka Mai ke Bandung, Mai meminta bantuan kecil untuk mendekatkannya dengan Bandung. Entah bagaimana caranya, tapi waktu itu aku menyanggupi semua keinginannya. Berhubung sekarang aku bersama Bandung mungkin waktu yang cocok untuk membicarakan masalah ini.
“Bandung.”
“Iya, Ai. Ada apa?”
Dia langsung menyimpan ponselnya dan fokus memerhatiaknku, mau menangis rasanya aku saat ini. Tapi aku tetap harus kuat.
“Kamu tahu Mai sepupuku?”
“Iya, aku tahu, Ai. Ada masalah apa?”
“Dia menyukaimu.”
Berat sekali mengatakan dua kata itu kepada Bandung, orang yang sudah aku sukai bertahun-tahun ini.
Aku tahu Bandung terkejut, tapi dia segera menormalkan ekspresinya. Menanti jawaban Bandung tentang ini saja sudah cukup membuat jantungku berdetak tidak karuan. Bagaimana kalau Bandung malah suka bisa disukai Mai? Nasibku bagaimana?
“Terus aku bisa apa kalau yang aku suka sudah ada di depan mataku.”
“Tapi dia menyukaimu Bandung!” Nada bicaraku naik sedikit. Entah kenapa aku jadi seperti ini, aku jadi tidak pandai mengekspresikan perasaanku.
“Aini, aku tidak butuh yang lain kalau yang aku dapatkan sudah kamu. Katakan saja kalau aku sudah memilih kamu.”
“Bandung kamu tahu, dengan jawaban seperti itu kami akan bertengkar.”
“Wajar kalau dalam pertemanan ada pertengkaran di dalamnya. Pertemanan tidak akan dikatakan pertemanan kalau diantaranya belum pernah bertengkar.”
“Tapi kami bukan teman, Bandung. Kami itu saudara.”
“Kalau begitu, lebih wajar lagi kalau bertengkar. Kamu tidak usah khawatir, Aini.”
Mau gila rasanya aku dibuat Bandung, kenapa dia bisa setenang itu sedangkan aku sudah mati-matian memikirkan segala macam cara untuk menyelesaikan masalah ini.
“Bukan begitu mauku, Bandung.”
“Iya, kalau kamu tidak tega ngomong gitu ke Mai, nanti aku sendiri yang ngomong. Aini gak usah khawatir, yah.”
Dia tersenyum sambil mengusap puncak kepalaku.
“Kamu tahu bukan begitu mauku, Bandung”
“Dan kamu juga tahu, aku tidak akan pernah mengikuti maumu yang ini, Aini.”
Bandung tahu aku sangat kesal sekarang, tapi dia malah ingin membawaku ke suatu tempat. Kutanya mau dibawa kemana jawabannya masih sama seperti dulu membuatku makin kesal saja.
Entah kenapa angin dingin jadi sangat dingin, apa karena pengaruh tadi sudah hujan? Sangat menyebalkan saat aku sedang marah dengan Bandung kemudian cuaca jadi dingin begini.
“Kalau dingin, tanganmu masukkan ke hoodie saja, Ai. Takut tanganmu membeku nanti.”
“Tidak, aku tidak mau.” Jawabku ketus sekali.
Dia tidak mau dengar, bukan Bandung namanya kalau dia tidak melakukan hal yang bertolak belakang dengan kemauanku. Dia sendiri yang meraih tanganku menuntunnya masuk ke saku hoodienya. Aku tidak sanggup untuk menolak, semua ini membuat aku makin rapuh dan bingung.
Aku menangis di punggung Bandung, ini untuk yang kedua kalinya aku menangis di punggung Bandung. Pertaman kali, waktu aku tahu Danu masuk rehabilitas dan sekarang karena dilema akan keputusan aku untuk bertahan atau merelakannya.
Kami berhenti di depan rumah dengan gaya yang minimalist bercat warna putih, aku bingung ini rumah siapa. Sedangkan Bandung, membuka helmnya dan mengulurkan tangannya untuk membantuku turun. Uluran tangannya tidak ku balas, dia harus tahu kalau aku benar-benar kesal dengannya.
“Rumah siapa ini?”
“Kalau mau tahu, harus masuk berarti.”
“Memangnya boleh?”
Dia tidak menjawabku malah menarikku pelan memasuki rumah itu. Aku sempat memberontak tapi percuma saja kekuatanku mana setara dengan kekuatan Bandung yang pada dasarnya seorang lelaki.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Terdengar suara seorang wanita dari dalam. Aku tidak tahu ini rumah siapa dan Bandung sangat lancang untuk masuk ke rumah orang lain tanpa izin.
Aku menari lengan hoodie Bandung gemas.
“bandung ini rumah siapa?”
“Kamu ingat waktu kita pernah bertengkar di tukang martabak soal wanita kesukaanku? Ini rumahnya.”
Mau sekali aku menangis rasanya, maksud Bandung sebenarnya apa membahas ini lagi? Sudah berlalu satu tahun dan dia masih ada tenaga untuk membahasnya. Tidak lupa juga, beberapa menit lalu dia mengatakan kalau aku lah perempuan yang dia pilih, tapi lihatlah sekarang? Dia bahkan membawaku ke rumah wanita kesayangannya.
Ya ampun semesta, kenapa Bandung bisa mempermainkan perasaanku smapai seperti ini? Bagaimana mungkin dia bisa setega itu melakukan hal yang seperti ini? astaga, semesta maafkan kalau aku bisa sampai menangis seperti ini. tapi aku benar-benar merasa sangat sakit, semesta.