Murni, Lisa, dan Nurul sudah sampai duluan di kedai kopi yang Murni rekomendasikan. Seperti biasa, Murni tahu lebih banyak tentang tempat yang lagi diperbincangkan kalangan muda sekarang. Entah kenapa dan atas dorongan apa aku menyetujui tempat macam ini, yang isinya di dominasi dengan aroma biji kopi. Minuman yang paling membuatku kesal sejak Bandung juga ikut-ikutan mengonsumsinya.
Aku rindu sekali dengan mereka, sekarang adalah libur semester yang membuat kami jarang bertemu. Inipun sebenarnya adalah usulan Murni untuk kita semua berkupul ke tempat yang katanya lagi viral itu, aku hampir saja menolak dengan alasan tempat yang akan kami kunjungi sangat tidak cocok denganku. Namun, aku sangat rindu dengan tiga orang kesukaanku. Jadilah aku mengiyakan ajakan tersebut.
“Style mu sangat cocok dengan tempat ini, Ai. Kamu sering, ya, datang kesini?”
Sering? Datang kesinipun aku baru sekarang, bagaimana bisa disebut sering? Lagipula, style ku hari ini biasa saja, sama seperti kalau aku mau bepergian. Kaos lengan pendek berwarna putih yang bertuliskan Polo di bagian dada, dipadukan dengan jeans dan sepatu. Apanya yang hebat dengan itu?
“Enggak, aku lebih suka ke warung wedang.”
Aku tidak tahu seberapa aneh jawabanku, tapi yang jelas setelah aku mengatakan itu teman-temanku serentak menjadi diam.
“Sejak kapan Aini menjadi seperti nenek-nenek?”
Murni meledek, kemudian mengundang tawa dari mereka, menurutku tidak ada salahnya kalau anak muda mencicipi wedang. Apalagi wedang baik untuk kesehatan dan yang paling tidak cocok dengan pikiranku, wedang tidak selamanya dilekatkan dengan nenek-nenek. Buktinya aku suka.
“What ever.”
Seorang waiters datang menghampiri kami dengan buku menu bersamanya, teman-temanku dengan seksama meneliti menu-menu apa saja yang ada disini. Aku tidak begitu tertarik, mungkin jika aku menyebutkan apa saja, tetap akan dibuatkan secara kami sudah berada disini sebagai pelanggan.
“Aku mau latte satu, yah.” Lisa memutuskan pesanannya duluan.
“Saya exspresso.” Nurul juga menyusul.
Tinggal Murni dan aku yang belum memesan, aku sebenarnya tidak tertarik dengan kopi-kopi yang ada disini, ralat. Bukan hanya yang ada disini, aku bahkan tidak menyukai kopi yang berada dimanapun.
“Saya latte juga, deh, biar manisan dikit.”
Sekarang benar-benar tersisa aku, semuanya menunggu. Aku yang bahkan belum melihat buku menu sedikitpun memberanikan diri untuk memesan.
“Milkshake coklat satu, Mbak.”
Semua kembali hening, belakangan ini mereka lebih banyak diam diabanding membuat heboh seperti biasanya.
Nurul memegang bahuku. “Are you okey?”
”Aku baik-baik saja, tentu.”
Lisa memperjelas maksud dari pertanyaan Nurul dan kebingungan semuanya.
“Kamu gak salah mesan milkshake di warung kopi? Namanya saja kopi, Ai, bukan milkshake dan sejak kapan lidah kamu bisa menolerir minuman yang kebanyakan gula itu?”
Aku baru sadar, pesananku tidak cocok dengan tempat seperti ini. Tapi aku memang sangat ingin meminum milkshake, entah perasaan itu datang dari mana. Seperti Ibu hamil yang sedang ngidam, aku sangat ingin minum milkshake saat ini.
“Tidak masalah, kami juga menyediakan pesanan seperti itu. Sudah tidak ada lagi?”
Waiters itu menyelamatkanku, beruntung disini masih menyediakannya kalau tidak, mau tidak mau aku harus memesan secangkir kopi. Aku tidak tahu nasib lidah dan perutku saat cairan hitam itu masuk ke dalam tubuhku. Mungkin langsung kumuntahkan? Ah, entahlah yang jelas sekarang aku selamat.
Tiba-tiba sebuah nontifikasi masuk ke ponselku.
Itu datangnya dari Bandung, aku yang tadinya melamun bingung kenapa aku bisa menjatuhkan pilihanku ke milkshake itu hilang seketika seperti di telan bumi, berganti dengan rasa senang mendapat pesan darinya.
Sudah tidak ku balas lagi pesannya, aku jadi tidak sabar menunggu dia akan datang. Entah ada rencana apa lagi yang Bandung punya, yang jelas aku akan selalu siap dengan itu.
“Eh, kan udah gak lama lagi kita lulus, tinggal tunggu pengumuman aja, ujian aja udah selesai. Kalian mau lanjut dimana?” Kali ini Nurul yang membuka suara duluan.
“Aku rencana mau daftar di Universitas Negri Malang jurusan S1 bioteknologi.” Aku yang paling pertama menjawab, itu karena aku bahkan sudah memikirkannya dari jauh-jauh hari untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi bahkan aku sengaja meningkatkan nilai Bioogi dan Kimiaku supaya bisa lebih menunjang untuk kelulusanku.
“Kalau aku maunyunya ambil Farmasi, masalah universitasnya belum aku biacarakan dengan orangtuaku.”
Tidak heran jika Lisa ingin kuiah jurusan Farmasi dia sangat pintar, bahkan aku sudah bisa menebak kalau dia akan mudah lulus ke universitas dengan kepintaran yang dia punya.
“Aku tetap akan ajdi udztazah di hari esok.”
Walaupun diantara kami Murni terlihat yang paling heboh, centil soal lelaki tapi dibalik itu semua Murni punya cita-cita yang bahkan tidak ada yang bisa sangka, sangat mulia. Dia pernah membahas ini sebelumnya denganku, pertama kali aku terkejut. Keahliannya dalam menyelesaikan soal Matematika menurutku akan sangat disayangkan kalau tidak dikembangkan di bangku kuliah, namun alasannya malah menamparku lebih telak. Mau itu ilmu Matematika, Biologi, Kimia atau yang lainnya itu bersifat dunia. Yang aku ingin dalami dan amalkan adalah ilmu-Nya. Aku baru cerita sama kamu, mau minta pendapat sekaligus petunjuk, mungkin saja setelah cerita ini ke kamu, Allah akan membukakanku jalan untuk terus mengejar rhido-Nya.
Setelah itu, aku langsung setuju dengan keputusannya dan terus memberinya dorongan untuk semangat.
“Kayaknya aku mau ikut jejak Bapakku.” Nurul kemudian menimpali.
Kami semua syok mendengarnya. Benarkah Nurul akan mengambil jalan itu?
Dia kemudian melipat tangannya, sebuah kebiasaan kalau dia sedang serius. “Iya, aku ternyata tertarik dengan hal yang seperti itu. Tentu tidak lepas dari obsesi seragamnya.”
Kami kemudian tertawa setelah itu, yah, Bapak Nurul adalah seorang tentara. Tentara yang sangat mengabdi pada negaranya. Aku bahkan sempat terkejut saat melihat Bapak Nurul yang memiliki perawakan sangat tegas.
Tidak terasa, teman-temanku sudah mau pulang. Minuman yang kami pesan sudah tandas semua, mereka mengajakku pulang bersama tapi aku menolaknya dengan alasan bandung akan kemari. Semuanya malah menggodaku, ah, aku harus terbiasa dengan godaan mereka semenjak mereka tahu prihal hubunganku dengan Bandung.
Aku menunggunya datang, meja yang tadi masih sama hanya saja sekarang sudah bersih tidak ada gelas minuman di atas meja. Aku sudah sangat tidak sabar untuk bertualang bersama Bandung, kira-kira kami akan kemana lagi, yah? Mungkinkah ke Bandung lagi? Ah, sepertinya tidak mungkin, soalnya ini sudah hampir malam, sampainya aku yakin pasti sudah malam. Harus menginap dulu kalau memang mau jalan-jalan di Bandung. Yasudah, tempat lain saja kalau tidak bisa ke Bandung.
Aku menghubungi Bandung untuk tahu sudha dimana dia sekarang ini. “Halo, kamu sudah dimana?”
“Sudah ada di depan pintu.”