Sudah enam bulan sejak kamu pergi, Bandung. Tidak ada sebuah pesan pun yang masuk di ponselku dan tidak ada satupun surat yang mengisi kotak surat di depan rumah. Bahkan kotak surat di depan rumah sudah sangat usang, aku takut, Bandung. Aku takut, kalau kisah kita juga akan ikut usang sama halnya dengan kotak surat itu.
Enam bulan kepergianmu, aku sengaja untuk tidak mengganti nomor selulerku supaya kamu tidak susah payah untuk menghubungiku. Tapi kamu masih saja tidak menghubungi, selama ini aku berpikir kalau kamu sedang ada di tempat yang tidak ada jaringan, salah satu alasan paling kuat untuk membuat aku kembali bertahan dengan keadaan seperti ini.
Kemudian masalah surat, mungkin kamu tidak mengingat jelas nama jalan di rumahku. Kamu hanya menghapal arah jalannya bukan nama jalannya. Sehingga tukang pos tidak paham dengan penjelasanmu dan memilih untuk menolak semua surat yang hendak kamu kirim.
Aku masih disini Bandung, masih menjadikan kabar kepulanganmu sebagai kabar yang paling aku tunggu. Kabar baiknya, aku bukan lagi pengangguran. Seperti rencanaku, aku sudah diterima di Universitas Negeri Malang jurusan Bioteknologi. Bapak sangat senang mendengar kabar kelulusanku, Bapak sempat membuat acara kecil-kecilan. Semua datang disini, ramai sekali katanya, bising sekali katanya. Aneh Bandung, karena semua suasana itu hanya Bapak yang menjelaskan, sedangkan aku? Yang aku rasakan malah sebaliknya, disini sepi sekali Bandung, bahkan aku hampir menjerit saking sepinya. Dan disini sangat sunyi. Mengerikan karena kamu tidak ada disini.
“Aini, ada yang mencarimu.”
“Siapa?”
“Cowo. Pacarmu barangkali, soalnya dia bawa bunga.”
Itu kamu Bandung? Aku harap itu kamu. Kutinggalkan tugas kuliah yang minta diselesaikan di atas meja belajarku. Asri teman asramaku membawa berita yang lebih menarik perhatianku sekarang. Aku berlari sekuat tenaga untuk menemuinya.
Akhirnya aku bisa bertemu dengan Bandung lagi, janji kalau dia akan puang akhirnya dia tepati. Penantianku sudah aku cukupkan, aku tidak mau lagi menunggu saat Bandung sudah ada disini.
Aku sudah sampai di depan pintu, aku berhenti sejenak mengambil napas sebanyak-banyaknya untuk mempersiapkan kejutan yang semesta sudah berikan. Kemudian perlahan ku buka pintu itu.
“Adam.”
“Hei!!! Congratulation, maaf waktu itu aku gak bisa pulang untuk mengucapkan selamat atas kelulusan kamu disini.”
Adam beralih memelukku, lama sekali. Seperti dia sedang mengobati rindu yang teramat dalam. Aku sama sekali tidak membalas pelukannya, maaf membuat perasaanmu terluka, Adam. Hanya saja antara ekspektasi dan realita sangat mengecawakanku.
Adam melonggarkan pelukan, kemudian memberikan rangkaian bunga indah warna-warni untukku. Aku meraihnya sambil tidak lupa mengucap terima kasih karena bersusah payah datang kemari dengan bunga yang indah.
“Mau ku ajak jalan-jalan?”
Tidak ada jawaban lain yang bisa aku katakan selain “iya” aku menurutinya untuk membawaku keluar. Kami menggunakan mobil, aku masih menepati janjiku dengan Bandung untuk tidak duduk di jok belakang motor orang lain selain dia dan Bapak.
Aku seperti mayat hidup yang tenagh duduk di samping adam. Aku tahu Adam tidak nyaman dengan aku yang seperti ini, tapi aku lebih yakin lagi kalau Adam pasti memahami kondisi aku yang seperti ini. kalau kulihat lagi, Adam ada perubahan. Rambut yang dulunya bisa dia sisir ke belakang dengan sedikit pomade itu sudah tidak sepanjang dulu, sekarang nyaris saja menjadi botak, itu karena aturan sekolah kedinasannya. Tubuhnya juga jadi lebih atlestis, terbukti dengan otot tangan yang sangat kuat itu dan jangan lupa dengan baju seragam yang dia gunakan sekarang. Sudah sangat menjelaskan kalau dia baru saja pulang dari asramanya atau memang sekedar mau pamer.
Kami sudah sampai, tempat ini tidak asing. Aku snagat mengenalnya. Aku menatap Adam untuk tahu maksudnya apa membawaku kesini.
“Aku dengar milkshake coklat dan risoles disini sangat juara. Dan juga… kamu sudah lama tidak kesini, ke perpustakaanmu. Bahkan Kang Adi suka menanyakanmu.”
Setelah dipikir benar juga, sudah enam bulan aku tidak kesini. Untuk kesedar merapikan perpustakaanku, memcium aroma novel baru di took buku Kang Adi, atau menikmati risoles di kedai seberang toko. Ah, sudah lama sekali ternyata. Waktu benar-benar membuatku upa akan kenangan indah yang dulu aku punya.
“Kakak sering kesini berarti, kenapa gak ajak Aini juga?”
“Ingin sekali, ingin sekali aku ajak kamu jalan-jalan seperti ini. banyak kali aku mau mengirimi mu pesan, tapi sebanyak itu juga pesannya aku hapus dan tidak jadi kukirim.”
“Kenapa, Kak?”
“Karena aku belum siap melihat wajah ini kecewa karena bukan aku yang kamu harapkan.”
Dadaku menjadi sangat sesak, seperti pasokan oksigen disini terkuras. Dengan air mata yang siap mengalir kapan saja, kalimat Adam berhasil membuat pertahananku runtuh. Rasa rindu yang setiap harinya semakin membengkak kini memberontak ingin dibebaskan.
“Kupesankan dulu, yah.”
Mau sekali aku marah dengan diriku yang sampai sekarang belum bisa menerima perasaan Adam. Tapi aku juga tidak mau menerima Adam sebagai pelampiasan. Aku mau merasakan hal yang sama ke Adam, sama seperti yang kurasakan ke Bandung.
Anehnya, sampai sekarang belum ada yang bisa menggantikan Bandung. Entah dia yang terlalu istimewa atau aku yang memang tidak membuka hati. Aku takut sejujurnya, aku takut kalau pada akhirnya nama Bandung benar-benar aku hilangkan di bab selanjutnya. Seharusnya, buku ini untuk Bandung. Maka namanya harus ada sampai pada bab terakhir, aku belum siap untuk membuatnya benar-benar hilang.
“Kakak belum punya pacar?”
“Aku juga bingung kenapa bisa aku sebegitu suka dengan orang yang hatinya buat orang lain.”
Aku kembali terdiam, kalimat Adam masih selalu mengunciku, membuatku tidak dapat berkutik.
Kemudian dia melanjutkannya, kali ini sebuah pertanyaan.
“Bagaimana dengan Bandung? Sudah ada kabar?”
Wajahku jadi pucat pasi, nama yang sudah sekitar enam bulan tidak pernah ku dengar, nama yang tidak lagi ku ketahui kabarnya. Aku menyerah dengan pertanyaan adam, sesak hampir saja membunuhku disini dengan pertanyaan Adam.
“Belum. Kalimat terakhir yang dia ucapkan adalah kaimat yang sama dia ucapkan waktu di bandara. Setelah itu tidak ada, aku hanya akan menunggu sampai ada kalimat selanjutnya.”
“Sampai kapan kamu mau menunggu? Sampai seharusnya kau sudah bisa punya anak, tapi karena menunggu kamu jadi gak bisa?”
“Kak!”
Hanya itu yang langsung bisa ku katakan, tentu dengan nada tinggi. Sebelumnya aku sangat menghargai Adam karena lebih tua dariku dan dia juga orang baik. Tapi, kalau seperti sekarang. Aku tidak tahu apa yang membuat Adam berubah sampai seperti ini.
“Aku kira Kakak dukung aku.”
“Iya, enam bulan lalu aku dukung kamu. Enam bulan lalu Bandung punya janji sama aku untuk tidak membuat kamu sampai seperti ini. tapi apa yang Bandung lakukan? Dia melanggar janji.”
Basah sudah pipiku akibat air mata yang meluncur dengan deras tidak mau berhenti.
“Ini baru enam bulan, Kak. Jejak dia pergi dari bandara saja belum kering. Kita hanya masih harus menunggu.” Lirih sekali, aku tidak yakin kalau Adam bisa dengar apa yang aku katakan.