Kuda yang konon katanya adalah kuda bule atau lebih benar disebut kuda blasteran itu milik Man Kartono, seorang juragan ulung, dia punya pekarangan yang luas, meluap-luap, punya anak buah untuk bekerja sebagai kusir kuda. Di sinilah, di sebuah dusun, Karangandong, Tegal. Semua rakyat patut dibilang ningrat kalau ia mempunyai andong, kendaraan paling mewah pada masanya. Para pemilik andong adalah penduduk strata sosial tertinggi di dusun ini dan disusul dengan pemilik pekarangan luas, tak salah maka jika para petani yang memiliki sawah seluas samudra pun dianggap sebelah mata, karena di dusun ini kuda dan pekarangan adalah primadona. Sedangkan pedati adalah kendaraan yang dihela kuda, lembu ataupun kerbau. Tapi pada masa itu, pedati adalah khusus penyebutan untuk yang kendaraan yang dikendalikan kerbau. Masyarakat Karangandong menyebut pedati adalah kendaraan setan, yang memiliki kesetanan, yang mengendarai sinting, edan. Maka jadilah kerbau semacam hewan yang diharamkan di dusun ini.
Disebutkan selalu dalam sejarah dusun ini, bahwa kehadiran kerbau di dalam dusun adalah malapetaka, seram, hitam legam, persis seperti muka kerbau yang seram, siap menyeruduk. Cobalah bandingkan dengan kuda bule Man Kartono, tingkahnya elegan, yang mengendarai andong juga tak kalah tampan, bernama Gatot. Dialah mahakarya-Nya yang dilahirkan sebagai tak lain tak bukan anak semata wayang Kartono. Gatot yang kemudian berakhir bunuh diri, dan tercatat dalam sejarah, sebagai kasus bunuh diri pertama di Karangandong.
Mestinya semua orang tak pernah menyangka akhir hidup Gatot. Ia putra terpandang, memiliki banyak alasan untuk mendapatkan keinginan, disebut-sebut calon pewaris nomor wahid kekayaan, pernak-pernik, serta antek-antek sah milik Kartono. Sebagai orang yang kaya harta, Gatot tak pernah kekurangan, pun tak kelebihan. Hampir tujuh puluh persen warga Karangandong memang hidup di atas upah minimum regional, sejahtera. Barangkali kenyataan inilah yang membuat Kartono dan keluarganya tak dapat predikat orang terkaya, sebab semuanya punya andong, punya pekarangan, kalau ada yang tak punya maka setidaknya punya andong tanpa kuda, punya pekarangan tanpa ditumbuhi apa-apa.
Kembali pada Gatot, menyenangkan sekali Gatot kecil yang selalu diceritakan tentang tujuh sesepuhnya yang memiliki tugas menjaga kesejahteraan Karangandong. Gatot ingin sepertinya, seperti para leluhurnya yang dulu. Sewaktu Gatot lulus sekolah dasar, bapaknya dengan bangga serta merta mengajaknya keliling dusun, di atas andong, pak kusir itu yang bapaknya sendiri tersenyum luwes. “Apa aku akan lanjut sekolah, Pak?” Begitulah Gatot bertanya di sela-sela kuda bule itu berjalan menapaki jalan berlumpur.
Bapaknya hanya diam sebentar lalu tertawa, kadang ia bahkan terbahak-bahak sampai lama sekali setiap Gatot mempertanyakan kelanjutan pendidikannya. Kalau dirasa sudah puas tertawa ia kemudian melirik putranya, dan berujar, “kapan bapakmu ini gulung tikar dan tak kuat membiayaimu?”
“Ah, tidak akan, Pak.”
“Mau tanya lagi?”
“Apa aku boleh sekolah di Desa Pojok?”
“Untuk apa jauh-jauh? Di dusun seberang juga sudah ada SMP.”
“Aku ingin coba naik pedati.”
Setiap sudah menyinggung soal pedati, bapaknya selalu diam dan mengalihkan topik pembicaraan. Hingga Gatot benar-benar melanjutkan pendidikan di Desa Pojok, maka yang mengantar dan menjemputnya adalah Man Semu, laki-laki yang waktu muda suka tidur di mana-mana, namun nantinya kebiasaan itu akan berubah saat ia bertemu anak lain--selain Gatot--yang dianggap sebagai putranya. Sisa hidup laki-laki paruh baya itu dihabiskan bekerja pada Kartono, karena ia belum menikah, ia senang rasanya menganggap Gatot sebagai putranya. Memiliki dua sosok ayah, Gatot juga memiliki dua sosok ibu, Kartono menikah lagi, setelah bercerai dari ibu biologis putranya. Tak ada celah bagi Gatot untuk merasa menjadi korban perceraian orang tua atau istilah kerennya anak broken home. Kartono bercerai dengan istrinya atas alasan istrinya terlalu perfeksionis katanya. Maka terguncanglah jiwa kejantanan Kartono, ia merasa tak dapat menyanggupi apapun untuk istrinya, karena istrinya terlampau mandiri. Dalam konteks inilah Man Semu suka sedih, sebab dengan mudah Kartono sekurangnya dua bulan dapat menikahi seorang gadis lagi setelah bercerai. Bukan bermaksud iri hati pada majikannya, Man Semu hanya mempertanyakan takdir jodohnya yang tak kunjung datang selama lebih dari tiga kali gerhana bulan.
“Itu karena Man Semu suka tidur, Man.” Dengan mudahnya kalimat ini meluncur dari mulut Gatot setiap Man Semu mulai membicarakan perihal jodoh.
“Tapi aku punya penghasilan, To,” kilahnya pada anak laki-laki yang dapat ia panggil dengan pilihan “Mas” atau “Tong” sebagai khas panggilan untuk putra Jawa. Mungkin yang dimaksud pilihan kedua, tapi dengan menghilangkan dua huruf di belakangnya karena di keseharian Gatot memanglah dipanggil Gato, bukan Gatot.
“Begini, Paman. Kalau ingin tahu tentang jodoh, lebih baik Man Semu cari tahu lewat Mbah saja.”
“Mbah siapa, To?”
“Mbah yang bisa menerawang tentunya.”
“Aku tidak percaya begituan, To.”
“Kalau begitu izinkan aku naik pedati, Man.”
“Tidak akan, To.”
“Kerbau itu seakan menertawaiku setiap aku naik andong, Man. Aku akan lulus SMP, tapi belum pernah naik pedati, sama saja pendidikanku percuma.”
“Tidak ada hubungannya, To.”
“Tentu saja ada, Man. Selaku orang yang terdidik aku harusnya tak percaya takhayul masyarakat, katanya pedati bawa malapetaka, itu sangat-sangat tidak bisa dilogika.”
“Bapakmu tak kasih izin.”
“Jangan bilang-bilang bapak kalau begitu, Man. Selagi aku masih sekolah di Desa Pojok ini, aku ingin merasakan naik pedati.”
“Sekali saja, ya, To.”
■■■
Mobil sedan keluaran tahun 90-an melebar ke samping rumah tua yang kalau orang melihatnya akan bilang, “rumah reyot, tak diurus.” Atau sebagian yang lain akan menyerapahi, “rumahnya para dukun, jampi-jampi.” Dengan segala bentuk buruk rupanya, rumah itu seakan menyerap energi setiap mata yang melihatnya. Lihatlah bagaimana bangunan itu merayu Lihan dengan bodohnya, dua tiang itu meliuk-liuk minta disentuh, dia rindu belaian tamu, rumah yang masih perawan dan tak tersentuh modernitas. Sekali melihat, orang akan tahu itu rumah Joglo, tapi untuk masyarakat daerah Tegalan ada ciri khas tersendiri, entah apa tokoh satu ini tidak tahu. Mungkin karena rumah itu sudah terlalu renta, dibangun pihak Hindia Belanda mungkin. Bukankah biasa bangunan dahulu dikenal lebih tahan lama? Contohnya jembatan di dekat kali yang tadi di lewati Lihan, orang sini menyebutnya brug yang katanya sudah ada sebelum adanya pemberontakan DI/TII.
Lihan mendengus kasar, bagus, pagi yang melelahkan. Sudah lebih dari lima kali ia melayangkan ketukan pada pintu rumah tua dengan hati-hati, takut-takut ambruk karena rapuh. Perlu kekerasankah? pikir Lihan, tentu saja tak dieksekusikan sebab kali ini pintu itu dibuka sedikit, lebih seperti yang di dalamnya sedang mengintip. Itu pasti Bi Kawah. Kata ayah Lihan, rumah tua ini hanya dihuni dua orang dan orang yang membuka pintu kalau Lihan berkunjung pastilah Bi Kawah.
“Assalamualaikum, Bi.”
Tak ada jawaban, baiklah. Lihan tahu lidahnya itu mungkin tak enak didengar untuk mengucapkan salam versi bahasa timur tengah itu.
“Sugeng enjing, Bi.”
“Nok ayu ini siapa ya?”
Kejutan! Wanita itu membuka pintu sedikit lebih lebar, hingga Lihan dapat melihat area ruang tamu yang luas. Kalau memungkinkan anak-anak yang tadi Lihan lihat sedang bermain bulu tangkis dekat MI Negeri itu bisa saja beralih ke sini, tapi mana mungkin, melihat rumah tua dari luar saja, anak-anak takut bukan main.