Sebelum Saya Bertemu dengan Aku

Aliensi
Chapter #2

Dua

Dua wanita duduk di teras rumah, satu di antaranya terlihat serius menatap layar ponsel, satu yang lain sibuk menenangkan bayi di pangkuannya. Rista, masih 20 tahun saat dinikahi pemuda pemilik rumah sekaligus teras rumah yang di tempatinya saat ini. Ibu muda ini adalah pencinta drama, ia tak bisa sehari saja lepas dari tontonan drama, tapi jika sudah berusuan dengan bayinya dan tugasnya sebagai istri, ia tetap menjadi ibu yang baik, yang manis. Suaminya dulu satu sekolah dengannya sejak sekolah dasar sampai SMA, wajar jika keduanya menjadi belahan jiwa, saling mengasihi. Akhir-akhir ini pasangan itu terkejut bahwa salah satu temannya--Lihan--pulang dari rantaunya. Maka sore inilah mereka akan bertemu sekadar bincang-bincang ringan, tiga tahun tak bertemu pasti banyak cerita yang bisa dibagikan, karena selama tiga tahun Lihan benar-benar tak pernah pulang.

“Gimana, Lusih? Lihan jadi ke sini?”

Rista menatap Lusih mantap membuat Lusih jadi gelagapan. Lusih dan Lihan dulu seperti anak kembar, nomor absennya berurutan, duduknya berdampingan, rumahnya bersebelahan. Banyak yang bilang juga Lihan kena guna-guna, sebab Lusih tak pernah ingin jadi temannya, tapi mengincar sepupu Lihan, Antor. Sampai sekarang berita itu masih saja terdengar dan diceritakan dari satu kepala keluarga ke kepala keluarga lain. Kabar bahwa Lusih sudah mau melamar Antor, tapi ditolak sebab laki-laki yang harusnya melamar, kabar bahwa nomor ponsel Lusih diblokir Antor pekan lalu juga didengar banyak orang. Lusih juga tak mengerti bisa-bisanya kabar burung tak benar seperti itu menjadi santapan ibu-ibu setiap berkunjung ke rumah tetangga, juga bapak-bapak yang suka duduk-duduk di warteg membicarakan dirinya. Desa ini tak suka bahas politik, asmara artis, atau membicarakan berita viral di luar sana. Bisa jadi juga pasangan Rista dan Ahan suka bergunjing tentang dirinya.

“Dia belum balas pesanku, Ris.”

“Dia lagi libur kuliahnya atau gimana?”

“Dia drop out, dia bilang dia bakal di sini sekitar satu minggu lebih--mungkin--terus pergi lagi.”

“Kenapa pergi lagi? Dia sudah ada kerja?”

“Aku tak tahu, Ris.”

Ahan datang membawa sebuah koran, dahulu dia adalah duta baca untuk sekolahnya. Rista dan Lusih ingat benar saat Ahan mendapat gelar itu, saat itu namanya dipanggil saat upacara bendera, disebutkan nyaring-nyaring bahwa murid yang setiap harinya datang ke perpustakaan akan dapat penghargaan. Tentu saja Rista ikut bangga pada temannya itu, ia sampai-sampai menghadiahkan buku tulis kotak-kotak, ia menamainya buku berpetak yang biasanya untuk pelajaran Matematika. Sebab kata Rista, supaya Ahan tak perlu membuat kotak-kotak manual di buku tulis mapel Matematikanya. 

“Aku punya berita buruk tentang Lihan,” seru Ahan setelah benar-benar duduk di teras.

Rista terkejut, yang benar saja. Ia mempertanyakan berita apa yang dibawa suaminya itu.

Ahan melirik Lusih lalu bertanya, “Sih, kamu tahu Lihan kuliah di mana?”

“Di ibu kota.”

“Bukan, universitasnya.”

“Tak tahu, An.”

“Nah, aku tahu. Ini tempat kuliah Lihan.” Ahan membuka lembaran koran di atas meja, Rista dan Lusih melihat baik-baik. Yang Rista lihat hanya sebuah gambar gedung.

“Tahu dari mana, Mas?”

“Ini baca judulnya. Kabur! Tiga Mahasiswi Tegal Lompat di Lantai 11, Diduga Ada yang Gangguan Jiwa.”

“Belum tentu ini Lihan Mas, mana buktinya ini Lihan?”

“Benar kata Rista, jangan suka menyebarkan berita bohong seperti bapak-bapak warteg itu, An.”

Sah-sah saja dugaan Rista dan Lusih, yang dibicarakan dalam berita itu belum tentu Lihan, meskipun tidak menutup kemungkinan, jika benar, maka itu kebetulan sekali koran bekas itu sampai ke tangan Ahan. Ahan berpikir keras, ia menyesali hanya mendapat potongan berita itu tak lengkap, itu wajar, sangat wajar. Ahan mendapat lembaran koran itu dari bungkus tempe. Namanya juga duta baca, semua tulisan yang ditemuinya pasti kena libas bacanya.

“Tapi berita ini berasal dari ibu kota. Lihan dari sana, kurang valid apa!?! Disebutkan juga insialnya DL, L itu Lihan, coba bacalah!”

Lusih mengambil koran itu, Ahan memang sudah candu tulisan. Baik kalau itu menambah wawasan, dia juga sering keblinger

“Lihan Dara, itu nama lengkapnya, kalau disingkat LD.”

“Bisa saja dibalik, Sih. Untuk melindungi dari sisi hukum, atau mungkin undang-undang kebebasan rumah sakit jiwa.”

“Aku tak paham ucapanmu, An.”

“Begini, nih, kalau waktu sekolah tak suka membaca, sampai sekarang juga tetap tak suka baca. Aku pernah baca sebuah buku terjemahan, dikatakan bahwa siapapun yang ada di rumah sakit jiwa itu adalah orang-orang yang bebas.”

Mendengar perkataan suaminya, Rista geleng-geleng kepala. Tak salah ia memberi hadiah pada saat suaminya dinobatkan sebagai duta baca. Suaminya semakin mengagumkan saja, pengetahuannya seluas lapangan berumput dekat MI Negeri yang biasa ditempati remaja tanggung atau anak-anak SD.

“Terserah kamu, An.”

Lihat selengkapnya