Sebelum Saya Bertemu dengan Aku

Aliensi
Chapter #3

Tiga

Menjadi putri terpandang di Karangandong tak lantas membuat Turah tinggi hati. Ia tetap menjadi perempuan menyenangkan, yang mau diajak ibunya ke pasar, yang mau diajak pergi ke pekarangan, yang masih mau ke sawah, tapi dia tak mau melanjutkan sekolah, jadilah tak tamat SD. Kedua orang tuanya tak begitu memusingkan, toh banyak anak perempuan bahkan tak bersekolah. Turah suka berbicara, ia bahkan digadang-gadang akan menjadi kepala dusun perempuan pertama. Turah hanya mengaminkan semua doa baik itu. Di depan umum kalimat Turah sangat politis, ia suka berkelit-kelit, persis seperti politikus. Dia menjadi sosok yang berbeda jika bersama teman sebayanya, dia hangat. Mungkin Turah adalah perwujudan orang yang bersikap sesuai pada tempatnya. Turah adalah jiwa yang bebas, namun ia masih dipagari aturan, dan ia manut.

Selain patuh pada aturan duniawi, ia juga percaya bahwa Maha Pencipta menciptakan perintah dan larangan bukan cuma-cuma. Bukan hanya membercandai manusia, bukan hanya untuk menguji. Turah yakin Ia menghadirkan dirinya di dunia supaya ia mengerti bahwa esensi hidup itu indah sekali, bukan hanya bangun pagi lalu menunggu sore, kemudian mati. Menurut Turah, mungkin Ia ingin manusia merasakan kehadiran-Nya, dengan bekal akal yang sempurna, Maha Esa mempercayakan manusia untuk menjalani kehidupan. Meskipun Ia memiliki kuasa untuk membuat manusia dipukul sama rata, menciptakan semua manusia dengan sifat baiknya, tak ada kejahatan, tentu itu adalah hal yang mudah untuk dilakukan-Nya, namun bagi Turah tak bisa disebut kehidupan jika tak ada hitam dan putih. Jika berdiskusi tentang keyakinan, biasanya Turah akan mendapat pertanyaan dari kawannya seperti, “lalu siapakah yang menciptakan kejahatan? Jika Ia Yang Maha Tinggi, tentu saja setan tak bisa menciptakan kejahatan selain karena kehendak-Nya.” Turah hanya mengangguk mendengar setiap orang yang meragukan keberadaan-Nya, ini adalah masalah keyakinan, semua orang bebas berkeyakinan.

Pada akhirnya Turah memang dipersunting oleh seorang priyayi dari Desa Pojok. Tak ada aturan yang melarang orang Karangandong menikah dengan orang dari Desa Pojok. Selama sehidup tak membawa kerbau masuk ke Karangandong maka semuanya aman-aman saja. Dari pernikahannya, Turah dikaruniai empat anak, dua pasang, putra dan putri. Jauh sebelum kehidupan rumah tangganya, ia sempat berharap akan menikah dengan Gatot, pemuda yang sudah berteman dengannya sejak ia masih 14 tahun.

Turah dan Gatot adalah dua sosok yang berbeda, tapi selalu bisa sejalan. Gatot cukup tertutup dan Turah sebaliknya. Turah punya banyak teman, sedangkan Gatot berteman seperlunya saja. Pernah ia mengenalkan Gatot pada dua teman wanitanya, Gatot memilih menghindar dan mengatakan ia harus bekerja, seorang kusir tak akan kenal waktu dan lelah katanya.

“Sebentar saja, To. Kita makan bareng di rumah Tikah dan Aminah, mereka berdua kakak adik.”

“Kemarin aku sudah menemuinya, tak perlu makan di rumahnya.”

“Mereka juga bidadari sama sepertiku, To. Tak akan bosan kamu mengobrol dengan mereka.”

“Tidak, Rah. Aku harus bekerja.”

Gatot selalu menghindari bertemu banyak orang baru, menghindari untuk berusaha beradaptasi dan menyesuaikan diri. Kini fokusnya hanya bekerja dan menjalani apa yang ada di depan mata. Ia kehilangan selera untuk hal-hal baru dalam hidupnya. Bapaknya berpikir mungkin Gatot sudah tersihir dengan pedati, setan yang seram selayaknya wajah kerbau itu sudah merasuk jiwa Gatot.

“Kalau kamu mau, kita bisa pindah rumah, To. Bapak kemarin ke Desa Pojok, ada rumah dijual dengan harga murah. Nanti di sana kamu bisa jadi kusir pedati sepuasnya.”

“Tidak perlu, Pak. Aku sudah tak tertarik lagi pada pedati.”

“To, bapak hanya ingin yang terbaik untukmu. Emakmu kemarin ke sini waktu kamu tak di rumah, dia ingin kamu tinggal sama dia.”

“Gimana sama bapak dan ibu?”

“Bapak dan ibu akan selalu bahagia buatmu. Emakmu punya hak merawat kamu juga, To.”

“Sejak bapak dan emak cerai, aku sudah putuskan tinggal sama bapak. Emak masih bisa melihatku, kita masih satu dusun.”

“Terserah kamu, To. Bapak tak akan memaksamu apa-apa. Kamu sudah dewasa.”

Gatot bukan seorang laki-laki yang terkungkung kebebasannya, lihatlah bagaimana bapaknya selalu mendukungnya, ia punya uang dan penghasilan, punya rutinitas, punya teman, tapi semua itu tak menghentikan niatnya untuk mengakhiri hidup. Dia sekali lagi bukan orang yang terbatas, dia bisa saja melakukan semuanya dengan totalitas, dan totalitas yang dipilihnya adalah bunuh diri.

■■■

Malam ini awan kusam menutupi bintang juga bulan, kucing kampung merana. Sudah dua hari ia tak makan ikan, haruskah malam ini dia juga kehujanan? Duh, ia sedih sekali, kemarin diusir orang dibilang kucing garong, padahal dia hanya butuh makan. Cepat-cepat dia bangkit dari kursi depan warteg yang sudah tutup, luntang-lantung ia. Mau ke mana lagi? Dia kebingungan, masih ada yang baik tidak, ya, malam ini? Atau perlukah ia jadi jahat pada mereka yang tidak mau baik? Alasan klasik sekali untuk sebuah kejahatan, lalu siapa yang mulai pertama kali untuk jahat? Kucing kampung tak tahu jawabannya, barangkali otaknya tak sampai untuk berpikir sejauh itu, ia hanya butuh makan. 

Di jalan, ia melihat seekor tikus, berlarian. Kucing kampung semakin sedih, dia golongan yang tak mengonsumsi tikus. Untuk ukuran seekor kucing, dia yang paling idealis, dia bilang tidak makan tikus, ya, tak makan, bilang tak mencuri, tapi dikatai mencuri. Akhir-akhir ini manusia kejam sekali, apa aku harus tampilannya oke dulu biar ada yang mau pelihara? Dielus-elus diajak curhat. Kucing itu kembali menengadah, apa hujan sebentar lagi turun?

Lihan menatap bukunya, dia sudah sangat siap untuk pertarungannya, mencari kebenaran. Kalau ayahnya tak dapat membeberkan semua tentang meninggalnya Gatot, ia masih punya orang lain. Dimasukkannya buku itu ke dalam sebuah tas, lalu berjalan menuju sedannya. Ia hampir kehabisan bensin, tapi tak masalah, ia tak akan pergi jauh-jauh. Tadi sore, ia tak sempat ke rumah Rista, niatnya malam ini dia mau menebus janjinya untuk bertemu. Kalau saja Lusih masih berdampingan rumahnya dengan Lihan, kalau saja Rista setelah menikah berpindah rumah lebih dekat dengannya, kalau saja yang menikahi Rista bukan Ahan, kalau saja ia tak pernah kuliah di ibu kota, ia tak akan merasa asing tiga tahun tak bertemu sahabat SMA-nya. Ada yang salah dengan hatinya atau jantungnya, ia tak tahu. Kalau saja ia tak masuk IPA dulu, pasti ia tak akan banyak disalahkan jika tak tahu tentang biologi khususnya pada manusia. Kalau saja tak ada kalau saja, ia tak perlu repot-repot mempertanyakannya. 

Sedan itu mengerem mendadak, di depan sana, ada kucing berdiri menatap, dia tak bergerak seakan menyerahkan nyawa pada pengemudi sedan. Apa sih yang dimau? Lihan tak paham bahasa kucing, apalagi kalau hanya diam begitu. Tiba-tiba dia ingat Lusih, perempuan itu adalah cat person. Dia tak akan menolak kalau menambah peliharaan. Lihan keluar dari sedannya, menuju kucing. 

“Kamu sok imut gitu, aku jadi malas mengambilmu.”

Kucing kampung itu diam saja.

“Tapi aku tak akan menyakiti binatang.”

Lihan mengangkat kucing itu, dielus puncak kepalanya. Kucing itu melayang, rindu kasih sayang. Di ujung sana, seorang laki-laki yang pagi tadi di lapangan dekat MI Negeri, tersenyum melihat Lihan, hanya di depan rumahnya, tak berani jalan ke mana-mana.

■■■

Ada tamu, maka dengan bergegas Ahan menarik sarung lalu mengenakannya dengan cekatan. Bayinya sudah tertidur sebelum pukul tujuh, Rista sedang melipat pakaian dan sebentar lagi fasenya menonton drama, entah drama dari negara mana, intinya itu jauh dari sini. Siapa ya kira-kira jam segini bertamu? Ah, sudah biasa, di sini bertamu di atas jam delapan malam sudah biasa yang terpenting tidak sampai larut malam, tapi sekarang mendung. Apa dia tahu kalau hanya akan ada mendung dan tak turun hujan? Siapa pun dia, pasti punya tujuan baik ke sini. Ahan membukakan pintu dan seketika terbelalak. Perempuan tinggi itu berdiri di sana, mengenakan kemeja polos putih dan celana tebal, yang Ahan tahu apa mereknya. Yang salah tak ada, tapi dia membawa seekor kucing.

“Masuklah, Lihan, masuk.”

“Terima kasih, An.”

“Biar kupanggil Rista dulu.”

Ahan pergi dari hadapan Lihan, dia lupa belum mempersilakan tamunya untuk duduk. Lalu ia muncul lagi dengan seorang wanita manis yang berkerudung panjang.

“Lihan, sudah lama tak bertemu.”

Rista menarik Lihan ke dalam pelukannya, di situ Lihan merasa kaku, dia rikuh.

“Duduk, Han.”

“Ah, ya, terima kasih.”

Lihan dan Rista menempati kursinya masing-masing, sedang Ahan izin ke belakang membuatkan minum, suami yang baik bukan main.

“Aku belum tahu tempat tinggal baru Lusih.”

“Memang lumayan jauh, Han. Tadi sore dia ke sini, kamu malah tidak datang.”

“Aku tidak sempat, maaf, ya.”

Lihat selengkapnya