Semakin lama mengenal Turah, Gatot juga semakin mengenal Tikah dan Aminah. Tak pernah disengaja dirinya untuk mengenal dua saudara itu. Man Semu yang setiap pagi menyiram bunga kenanga selalu kagum pada Gatot, laki-laki yang baik. Dilihatnya setiap hari Tikah dan Aminah yang berkunjung datang ke rumah, tetapi Gatot tak pernah ada, dia sibuk bekerja. Kalau tidak bekerja maka dia akan pergi ke kali dekat rumahnya, itu saja kalau di sana tidak ada banyak orang sedang mencuci pakaian. Tak pernah ia lihat Gatot memberikan harapan-harapan gila pada dua saudara itu. Man Semu juga berpikir, dewasa nanti mungkin Gatot akan menikahi Turah, mereka berteman dekat, orang tua sudah saling mengenal.
Man Semu sudah bekerja untuk Kartono sebelum Kartono menikah dengan emak Gatot, usianya empat tahun di bawah Kartono. Di rumah besar itu, dihuni banyak orang, terbilang ada sembilan orang termasuk Man Semu. Kartono adalah orang yang berhati besar, banyak kerabatnya yang ikut hidup padanya. Sebenarnya di dalam sana, di hati Man Semu ada keinginan untuk menjalin rumah tangga. Tetapi untuk usianya yang sekarang ia tidak merasa gagah untuk ukuran laki-laki bujang.
Man Semu bekerja untuk membiayai hidup adik-adiknya. Begitulah seharusnya, meski belum ada keluarga kecil sendiri, ia selalu bersyukur sebab hidupnya masih bermanfaat bagi orang lain. Orang sini jika menyebut orang yang sudah paruh baya, biasanya dengan "paman", Man Semu tak bisa protes dengan panggilan itu, meski ia belum "paman-paman" menurutnya. Sebagai seseorang yang tulus tak lantas membuat jalan hidupnya mulus. Dihindarinya selalu cemoohan dari para kawan lamanya yang suka mengejeknya Bujang Lapuk. Man Semu tak pernah marah, ia diam-diam berdoa, jika ia meninggal sebelum mendapatkan cinta, dia ingin meninggalnya banyak dikenang, banyak didoakan.
“Lihat aku, Semu. Anakku sudah mau menikah.” Ini adalah Rawi yang ditemui Man Semu setiap ia pergi ke pekarangan untuk mencari kayu bakar.
“Tidak kasihan kamu, Wi? Umurnya masih belia sudah mau menikah.”
“Ah, seperti tidak biasa saja, Sem. Banyak juga yang menikah sebelum umur 10 tahun. Bapak ibumu mungkin seperti itu.”
“Orang tua kita beda generasi, Wi. Jangan disamakan!”
“Iya, Bujang Kawak. Terserah kamu saja, mungkin nanti generasi selanjutnya orang-orang akan menikah kalau sudah kepala empat.”
Man Semu hanya mengangguk lalu cepat-cepat menyiram kakinya dengan air, selanjutnya masuk ke dalam musala. Ia ingin berdoa lagi, Yang Di Atas tak akan bosan mendengar doanya bukan? Sungguh Man Semu ikhlas menerimanya, meski tak pernah diucapkannya, ia sudah menyerahkan hidupnya pada sang Khalik. Itu kuncinya hidup bahagia selama ini. Di dalam musala setelah selesai berdoa, seseorang menepuk pundaknya.
“Man Kartono istrinya baru saja lahiran?”
“Iya, Tong. Tahu dari mana Tong?”
“Dari Mas Gato, Man.”
Anak laki-laki berkopyah itu adalah anak dari Suidah, salah satu orang yang bekerja untuk Kartono.
“Kenapa kamu tak tinggal di rumah Mas Kartono saja, Tong? Bersama ibumu.”
“Aku bingung, Man. Aku tidak enak pada Man Kartono, di rumahnya sudah terlalu banyak orang.”
“Mas Kartono tak keberatan, Tong. Dia bilang juga ingin menyekolahkanmu. Berapa usiamu?”
“Aku 15 tahun, Man.”
“Tak apa kalau masuk SD, ada juga yang 16 tahun baru SD.”
“Tapi aku tidak ingin merepotkan Man Kartono.”
“Kamu tinggal dengan mbahmu yang sudah sepuh apa tidak merepotkan?”