Terjeratlah kini Man Semu di antara dua pilihan, sebab dia dicomblangkan dengan Suidah. Bimbang dia, antara mau menerima atau tetap sendiri saja. Selain merasa sudah sangat tidak keren, dia juga mudah gemetar, takut nanti kalau saat prosesi akad tak bisa mengikrarkannya dengan gagah. Meskipun ingin menikah, tapi hidupnya yang sudah lama itu mengajarinya untuk banyak bersyukur, tak masalah jika tak menikah. Namun, jika kenyataan dijungkirbalikkan, esok ia akhirnya memilih mempersunting Suidah yang beranak lima itu, betapa bahagianya pasti, sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui, sekali merengkuh Suidah, anak-anaknya dimiliki. Alhasil untuk memberi jawaban atas perjodohan itu dia bilang pikir-pikir dulu. Suidah yang tak pernah sekolah pun bilang, “tak usah dipikirkan, aku tak apa, masih bisa bekerja.”
Dan rupanya frasa pikir-pikir dulu milik Man Semu seorang tak memiliki masa tenggang. Setahun dua tahun dapat, ia belum juga memiliki keputusan. Namun seribu namun, Man Semu makin dekat saja dengan anak Suidah yang sudah di bangku SD itu. Mereka berdua kompak pergi ke pekarangan untuk menanam semua yang dapat tumbuh berkembang di Tanah Jawa. Terlihat jelas Man Semu lebih semangat beribadah jika dengan anak Suidah, sebab katanya aura positif menguar dalam tubuh anak itu.
“Anak siapa kamu, Tong? Sudah besar sekarang.”
“Emak Suidah, Man.”
“Seperti apa rupanya emakmu itu?”
“Dia yang pernah dijodohkan dengan Man Semu.”
Seketika Man Semu tertawa dan kembali ingat soalan itu. Ia ingin memutuskan, besok akan membangun rumah tangga.
■■■
Lihan terbangun dari mimpinya, sangat jelas tadi bahwa Gatot kembali menemuinya, ia bersama seseorang yang terlihat sudah paruh baya dan dalam mimpi itu ia dikejar-kejar seekor tikus. Maka setelah mengibaskan selimut dari tubuhnya, Lihan bergegas menatap kucing kampung yang ada di kamarnya itu, ia kedinginan, terkulai lemas di bawah ranjang. Adakah hubungannya dengan mimpi Lihan, duhai Kucing Kampung? Apa malam ini tak dia dapatkan seekor tikus untuk membuatnya kenyang? Lihan tak tahu rupanya bahwa kucing yang ditemuinya tak akan makan tikus apapun keadaannya. Ia menatapnya gelisah, adakah hubungan kucing dengan tikus? Ada, tentu ada. Tapi kenapa tikus-tikus itu mengejar Gatot dan pria asing di mimpinya?
Kucing kampung itu kini berada di pangkuan Lihan, dibawanya ia ke dapur. Lihan membuka tudung saji, tak ada ikan, membuka rak makanan, juga tak ada ikan. Saat itulah ayahnya datang.
“Nyari apa, Nok?”
“Ikan untuk gembel.”
“Gembel mana?”
“Ini, Ayah.” Lihan menunjukkan kucing kampung yang sudah dinamainya Gembel itu. Ayah memberi ekspersi datar saja melihat kucing itu.
“Mau kamu pelihara dia?” Kini ayah bertanya sembari tersenyum.
“Iya.”
“Belilah makanan untuk kucing, biar dia gemuk.”
“Siap, Ayah. Aku akan mandi dulu, aku juga mau ke Mbah Turah lagi.”
“Nggih, Nok, nggih.”
Bukan buatan bertambah semangatlah Lihan, kini ia tidak hanya mendapat dukungan ayahnya, ia juga mendapat dukungan dari makhluk lain, Gembel.
Dengan segera ia menuju kamar mandi, mengusir segala bentuk kotor yang bandel bersinggah di tubuhnya. Bersama dengan mengalirnya air, pikirannya melayang mengingat obat-obatan yang diselundupkannya di bawah kasur. Lihan sudah meminta ayahnya untuk mengingatkan Bi Timah—yang biasa bekerja membersihkan rumah mereka—untuk tidak menyentuh kamarnya. Dia sedikit tidak nyaman kalau ada yang memasuki ruangan pribadinya, apalagi ada yang disembunyikan di dalamnya.
Lihan keluar dari kamar mandi dan melihat pintu kamarnya terbuka. Was-was tiba-tiba menguasainya, ayahnya berdiri di situ, dekat ranjangnya. Buru-buru Lihan menuju kamarnya.
“Ayah mau apa?”
“Ini, Nok, lilin aromaterapi kesukaanmu. Mau diletakkan di mana? Dekat ranjang atau…”
“Ah, tidak usah, Yah. Aku sudah tidak suka.”
“Sebelum pulang ke sini, kamu telepon ayah katanya rindu lilin ini.”
“Aku rindu aroma rumahnya, bukan lilinnya sepertinya.” Lihan menambahkan bahwa ia akan mengganti baju lalu meminta ayahnya keluar. Padahal, ia baru saja mengganti bajunya di kamar mandi, sekarang ia mengunci pintu. Masihkah tersimpan rapi di sana di balik kasurnya? Lihan meyibakkan kasur, obat-obatan itu masih lengkap, tak bergeser posisinya, tak tersentuh, dalam diam Lihan merasa lega.
Setelah memastikan Gembel kenyang, Lihan membanting setir menuju rumah Turah. Kali ini tak boleh ada kata menyerah. Ia harus tahu apa motivasi Gatot melakukan hal keji itu, membakar diri sendiri bukanlah cara elit mengakhiri hidup. Tadi, di toko makanan hewan, penjaga toko bilang kalau Lihan mirip sekali dengan Gatot. Memang ia terinspirasi banyak dari Gatot, tapi dia lihat dari mana kemiripan itu? Terserah dialah, Lihan langsung membayar yang dibelinya, lalu berlalu dengan siul riang.
Kembali melewati rumah itu, di jalan itu, laki-laki yang tersenyum lebar tadi malam tak ada di sana. Mungkin dia di dalam rumah atau di lapangan rumput dekat MI Negeri, atau juga dia di tempat lain yang apa urusannya untuk Lihan. Jelas, Lihan ingin tahu siapa namanya, apa tujuannya tersenyum selebar itu tadi malam. Selama ini Lihan tak suka mendekati orang baru, apalagi memulai suatu relasi dengan orang asing. Biarlah hidup memberinya orang dan melepaskan orang tanpa ia meminta dan mencari. Namun, barangkali benar, sejak tiga bulan lalulah saat ia diberitahu tentang dirinya yang bipolar, dalam fase depresifnya saat itu, ia ingin hilang saja, tak terlihat, berakhir, lenyap saja. Akan tetapi, sebelum itu semua terjadi, ia akan berkenalan dengan banyak orang, memberi kesan baik dan buruk. Dia tak akan menyesal, dan yang paling utama ia akan membuat buku sebelum ia hilang bentuk dulu.
Mendekati rumah tua, Lihan menatap Gembel. Lucu sekali rasanya, kemarin-kemarin dia masih suka menganggap binatang itu sebelah mata. Sekarang, seakan seluruh penjuru kekuatan dan semangat Lihan tertuju pada kucingnya. Mungkin Lihan tak tahu dirinya sendiri, dia bukan butuh penyemangat dari manusia ataupun primata dan segala makhluk lain di dunia, dia hanya butuh kemantapan diri sendiri, itu yang tak pernah dia sadari.
Di depan pintu, tiba-tiba terputar di otaknya sebuah adegan film kartun; di situ seorang adik dari ratu es hendak menemui ratu di istana esnya, dia berdiri di depan pintu dan seorang manusia es bertanya, “apa kau tidak tahu caranya mengetuk pintu?” Apa Lihan juga tidak tahu caranya mengetuk pintu? Kembali lagi Lihan menengok ke bawah, di gendongnya Gembel dengan mesra, lalu dia tersenyum dan ketika tersenyum dia teringat senyum lebar laki-laki itu. Pikirannya bekerja acak sekali. Pintu itu terbuka, belum juga ia mengetuk. Lihan tersentak.
“Mau apa lagi, Nok?” tanya Bi Kawah.
“Tujuan saya masih sama, Bi.” Dilihatnya Turah berada di kursi roda itu didorong oleh Bi Kawah di pintu yang terbuka lebar itu. Mau ke mana mereka?
“Hari ini tidak bisa, Mbah ada kontrol di RS.”
“Biar saya yang antar, Bi.”
Bi Kawah menatap Lihan, bisa dibayangkan bagaimana tatapan sinis itu. Katanya ia tak bisa mempercayakan orang lain untuk mengurus Turah. Memangnya Lihan siapa? Namun, Lihan justru berkilah, “memangnya harus siapa-siapa kalau mau berbuat baik?”
“Ya, kamu harus kenal Mbah dulu. Kamu anak kemarin siang, mau jagoan dekati Mbah, ya?”
“Saya mau tahu sebuah cerita.”
Lihan tersenyum masam, di benaknya tak ada lagi senyum lebar laki-laki itu. Bi Kawah tertawa, dia dan Turah akan pulang ke rumah tua siang hari, kalau mau, Lihan harus menunggu.
“Saya akan ke sini lagi nanti siang.”
“Lho, Nok. Katanya tadi mau mengantar, tidak jadi?”
Senyum Lihan lebar kembali.
■■■