Ara tidak mengerti kenapa orang mengagung-agungkan pekerjaan tetap.
Meski baru dua tahun bekerja sebagai UX Writer di Wake Logistic Corporation, perusahaan yang cukup terpandang di bidang logistik, tapi Ara merasa sudah cukup merasakan betapa membosankannya pekerjaan tetap itu. Rutinitas yang terbentuk karena setiap hari melalui hari yang sama seolah mengikis pelan-pelan sisi kreativitas Ara yang tidak seberapa. Dikejar deadline setiap hari, tuntutan untuk menghindari kesalahan namun tidak menuai pujian jika melakukan dengan benar. Bahkan goal sederhana seperti rencana rutin nge-gym dan menjaga pola makan sehat setiap hari hanya bisa Ara wujudkan dalam khayalan saja.
Ara menatap wajahnya yang menatap balik dari cermin. Kerutan di matanya terlihat nyata. Bekas jerawat yang nyaris membentuk rasi bintang masih anteng di pipi dan dagunya. Satu-satunya yang masih menarik dari dirinya hanya rambut lurus yang tidak terlalu panjang dan tidak membutuhkan perawatan khusus untuk bisa tampil memuaskan.
Perhatian Ara teralihkan ke ponsel di tepi meja rias yang tiba-tiba bergetar. Ara melirik ponselnya dengan tatapan kosong. Nama yang terpampang di sana kontan membuat Ara cemberut. Dihubungi oleh salah satu teman kantor pada hari libur merupakan satu dari sekian banyak hal yang selalu sukses membuat mood Ara jadi jelek seketika.
“Ada apa lagi sih, Sabtu loh ini Sabtuuu!” gerutu Ara pada panggilan yang belum dijawabnya. Ara melirik jam yang menggantung di dinding kamarnya melalui pantulan cermin, masih pukul 7:13 pagi. Bermaksud melewatkan panggilan itu, Ara menekan hati-hati tombol power agar getarannya diam dan berhenti menghantui ara. Jangan sampai karena ceroboh ia malah menggerakkan tangannya di depan layar karena itu akan membuat panggilan tersebut terjawab secara otomatis. Tapi setelah ponselnya berhenti bergetar, tak lama kemudian orang yang sama menelepon lagi.
Ara yang geram kemudian merebahkan kembali badannya di atas tempat tidur, mengambil jarak sejauh mungkin dari ponselnya yang masih terus bergetar. Ara memejamkan mata sesaat. Begitu hening melanda di udara, getaran singkat menandakan ada chat yang masuk tiga kali berturut-turut. Ara bangkit sambil menggerutu. Tanpa membuka aplikasi chattingnya, Ara membaca pesan itu lewat notifikasi, belum siap jika centang biru membuatnya ketahuan telah melihat missed call itu sejak tadi.
Baim: Ra
Baim: Pas selesai workshop kemarin
Baim: Kamu yang bawa pulang laptop operator kan, ya?
Tas navy yang membungkus laptop tersebut langsung terbayang di kepala Ara. Ia meletakkannya di meja kerjanya, di luar kamar ini. Ara memijat kepalanya pelan saat mengetahui bagaimana ramalan nasibnya beberapa menit ke depan.
Baim: Kamu udah bangun kan, Ra?
Baim: Udah baca chatku juga?
Baim: Buruan ke kantor gih
Baim: Jangan kepikiran buat gosend ya, terlalu beresiko
Rentetan chat dari Baim itu membuat Ara ingin berteriak kencang. Ara men-off-kan layar ponselnya. Tak lama, chat baru masuk lagi,
Baim: Atau kalau nggak, aku yang nyamperin ke apartemen kamu
Baim: Gimana?
Ara memejamkan mata untuk meredam emosinya sambil mengembuskan napas dengan kasar. Sejurus kemudian ia membalas chat itu dengan sepotong persetujuan yang terpaksa.