Sebelum Titik

Kartini NRG
Chapter #3

She puts her dream aside

“Lo setuju kerja kantoran bukannya biar bisa libur sabtu-minggu ya? Kok malah ngantor mulu sih tiap weekend?” semprot Kaila begitu ia mendaratkan pantat di kursi kosong depan Ara. Ara yang sedang menyeruput squash leci nyaris tersedak. Bukan hanya karena kemuculan Kaila yang tiba-tiba—Ara mengira temannya itu masih sibuk di dapur, tapi juga karena kalimat Kaila yang langsung menusuknya hingga ke pori-pori.

“Tapi hari ini aku harusnya lolos, Kai. Gara-gara Kak Baim nih, emang licik tuh orang,” di kepala Ara berputar kembali wajah Baim yang hanya nyengir saat Ara melabrak mejanya tadi pagi. Ara harus mengepalkan tangan dan mengembuskan napasnya dengan kasar untuk meredam emosinya.

“Tuh anak kenapa sih? Dia naksir sama lo atau gimana dah, kok ngusilin mulu,” Kaila bersedekap sambil memiringkan kepalanya menatap Ara dengan kening berkerut.

“Kalau naksir harusnya nggak nyiksa gini lah. Dia ada dendam kali sama aku.”

“Lagian kalau beneran naksir nih ya, aku nggak bakal restuin. Cari yang normal aja lah cara nunjukin rasa sayangnya Ra, jangan yang kayak dia.”

Ara hanya mengangguk paham sambil meniti piza di hadapannya, memilih potongan paling besar.

Obrolan terhenti, digantikan dengan bunyi kunyahan piza yang dirobek gigi Ara. Melihat temannya yang masih murung, Kaila berusaha menghibur.

“Lo berhenti aja di sana. Pindah ke sini. Gue jamin nggak bakal ada yang nge-bully lo,” Kaila mengutarakan ide yang selalu terlintas di benaknya tiap Ara curhat soal kerjaannya.

“Kamu nggak bakal nyangka sudah berapa kali ide itu tercetus di kepala aku, Kai.”

“Ya udah take action dong!”

“Ya kali. Kamu kira mamaku bakal diem aja kalau tahu aku berhenti di sana dan pindah ke sini?”

Kaila ingin memprotes, tapi pandangannya berubah mengerti.

“Tapi kalau lo bertahan di sana cuma karena nyokap lo, pasti bakal beratlah.”

Ara tidak bisa menyangkal itu. Baru dua tahun ia bekerja dan setiap hari ia sudah mengutuk pagi dan sore. Padahal bukan salah keduanya. Hanya karena Ara terlalu pengecut untuk memperjuangkan mimpinya sendiri, yang ia kesampingkan selama sekolah dan saat tiba waktunya bekerja pun, ia masih tidak berani untuk menjadikan impiannya itu sebagai profesi full timenya. Ara jadi terjebak di pekerjaan ini.

“Judulnya doang ‘UX Writer’, nyatanya mah aku ngerjain hampir semuanya,” keluhan Ara masih berlanjut.

“Makanya lu kalo ngerjain sesuatu nggak usah bagus-bagus amat. Atasan lo jadi demen kan sama lo.”

“Kalau aku kerjain asal-asalan entar justru kena semprot.”

“Ya biarin. Kali aja lo jadi dimutasi ke mana gitu yang kerjaannya dikit. Malah bagus kan.”

Ara memiringkan kepala sambil meringis, pura-pura berpikir keras. “Iya, ya. Jadi aku sengajain aja nih ngejelek-jelekin kerjaan aku?”

Kaila hanya membalas perkataan Ara dengan dengusan dan tawa kecil. Ia tahu betul teman kuliahnya yang satu itu kalau sudah mengerjakan sesuatu, tanpa berniat sekalipun ia akan mengerahkan upaya terbaiknya dan tidak akan berhenti memperbaiki tugasnya sebelum ia mengecek berkali-kali dan memastikan tidak ada kesalahan lagi.

“Seenggaknya, lo ngomong lah ke atasan lo itu. Kalau dikasih tugas yang bukan wilayah lo, bilang aja nggak bisa ngerjain.”

“Mana ada yang kayak gitu. Kata-kata dia tuh bukan pilihan, Kai, tapi titah. You know titah? It’s a must.”

“Ya udah lewat kak Baim deh. Dia lumayan deket sama atasan lo kan. Atau minta dia bantuin gitu, kayak yang sering dia lakuin ke lo.”

Ara hanya menanggapi ide Kaila dengan desahan pasrah. Membayangkan dirinya bernegosiasi dengan Baim saja sudah membuatnya mumet duluan. Entah apa yang akan diminta Baim sebagai balasannya.

Lihat selengkapnya