Sebelum Titik

Kartini NRG
Chapter #4

She is haunted by the memories

Setelah lebih dari lima belas menit bolak-balik mengubah posisi tidur, akhirnya Ara menyerah juga. Matanya yang perih tidak seketika membuatnya mudah untuk terlelap. Malah hanya punggungnya yang sudah panas dan lehernya yang mulai tidak nyaman dengan bantal. Sebagai usaha untuk yang kesekian kalinya, Ara memaksa matanya untuk terpejam dan mulai membayangkan hal-hal menyenangkan yang mungkin bisa membuatnya tenang. Tapi yang muncul malah sosok Wiki yang serius menggambar di buku milik Ara. Ara ingat tentang dalih cowok itu untuk meninggalkan jejak, kala itu. Ara mengerutkan kening tidak terima, namun juga enggan untuk membuka mata dan membuat bayangan itu buyar.

Di antara semua kenangan yang tanpa sengaja Ara pelihara, memori Ara terlempar ke momen di mana ia dan Wiki sengaja beralasan untuk tidak pulang bareng teman-teman yang lain di kelas XI dulu. Saat yang tersisa hanya murid kelas XII yang menunggu waktu kelas tambahan persiapan UN tiba, mereka akan duduk bersama di gazebo dekat Student Center. Meski tempat itu tergolong masih ramai saat sudah jauh lewat jam pulang sekolah karena banyak pengurus ekskul yang masih mengerjakan proyek atau sekadar nongkrong, tapi tidak pernah ada yang secara spesifik mengenal Ara dan Wiki. Maklum, kelas Ara dan Wiki adalah kelas unggulan yang seluruh muridnya selalu mengedepankan prestasi akademis daripada ekstrakurikuler. Kecuali ada lomba atau perayaan, barulah beberapa teman kelasnya menginjakkan kaki di Student Center.

“Liat deh Ra, ini Aaron pakai panah terus ini Aaron pakai pistol. Kamu lebih suka yang mana?” di tangan Wiki ada dua lembar kertas A6 yang masing-masing sudah dipenuhi coretan tipis pensil membentuk tokoh laki-laki yang ada di novel yang sedang aku tulis. Aku sedang mengeluarkan laptop dari tas beserta charger dan mouse. Setelah menekan tombol power, aku menengok ke kertas yang disodorkan Wiki sambil menunggu booting laptopku selesai.

“Lebih bagus yang ini nggak, sih?” aku mengambil gambar Aaron dengan panah. Guratan wajah Aaron terlihat tegas dengan tatapan tajam saat membidik panah dan itu sukses membuatku seketika nge-fans.

“Aku juga lebih suka yang itu. Kalau yang ini kayak agen FBI banget ya?” Wiki menyodorkan gambar Aaron yang membidikkan pistol. Wiki terlihat berpikir sejenak sebelum melanjutkan, “cocok buat tokoh yang kamu bikin di cerpen kemarin, nih. Siapa lagi namanya?”

Otakku bekerja keras mengingat-ingat tokoh mana yang dimaksud Wiki—segitu banyaknya tokoh khayalan yang pernah kami bicarakan bahkan sebagian pun masih tanpa nama.

“Andreas?” tebakku ragu. Wiki sontak mengiyakan.

“Kok kamu lebih inget karakter tokoh ciptaan aku, sih?” aku jadi heran. Padahal baru sekali aku membicarakan ide cerpen itu ke Wiki.

“Ya iyalah, kan nanti aku juga yang bakal gambarin,” senyum percaya diri yang meluap-luap terpampang di wajah Wiki, satu hal yang selalu aku kagumi darinya.

“Nggak usah sok gabut, deh. Kamu kan mau ikut lomba comic strip bentar lagi.”

“Emang mau bahas itu kok nanti, bareng kamu. Sekarang kita kerjain naskah kamu dulu nih. Kemaren udah sampai mana, Ra?”

Perhatian kami kini beralih ke laptop yang ternyata sudah menampilkan gambar desktop. Dengan lincah, jari-jariku bergerak dan membuka file draft novel yang sudah kukerjakan selama dua bulan belakangan.

“Udah empat puluh ribuan kata, nih. kurang sepuluh ribuan lagi.”

“Aku udah nggak sabar pengen liat cerita yang kamu tulis dan ilustrasi yang aku gambar berada dalam satu buku,” Wiki mendongak menatap langit-langit gazebo seolah guratan tokoh-tokoh dalam imajinya kini ia lukiskan dengan kuas di atap itu. Aku jadi ikut-ikutan menatap ke arah yang sama.

“Meskipun bukunya nggak laku, aku bakal beli 10 eksampler buat aku koleksi sendiri,” membayangkannya saja sudah membuatku kesulitan menahan senyum lebar.

“Siapa bilang nggak bakal laku? pasti laku lah ra. ceritanya bagus, beneran deh.”

“Karena pujian itu keluar dari mulut orang yang jarang baca fiksi, aku nggak bakal percaya.”

“Yee, kita liat aja nanti. Buruan makanya diselesaiin. aku udah nggak sabar mau milih scene yang bakal aku gambar, nih!”

Aku menoleh ke arah Wiki dan di saat bersamaan Wiki juga menoleh ke arahku. Mata kami bertemu. Aku tidak bisa menahan senyum, nampaknya Wiki pun demikian. Namun karena jarak kami yang ternyata tanpa terasa sudah terlalu dekat, wajahku seketika memanas dan aku mengalihkan pandangan kembali menghadap ke laptop. Kurasakan Wiki juga melakukan hal yang sama. Tapi kemudian sebuah tangan mendarat di pucuk kepalaku dan mengacak-acak rambutku pelan. Aku menggunakan rambut yang menjuntai untuk menutupi pipiku yang sudah pasti semakin bersemu merah.

Perhatian Wiki lalu teralihkan ke buku kecil bersampul putih yang kutaruh di samping laptop. Buku yang belakangan ini juga sering iseng ia baca sambil menemaniku mengetik. Wiki meraih buku itu.

“Aku ninggalin jejak lagi, ah,” tanpa menunggu izinku, dengan lincahnya ia merogoh tas dan mengeluarkan tempat pensil hitam kecil. Ia mengeluarkan pensil dari sana.

“Jangan kebanyakan dicoretin dong, ntar jadi nggak keliatan tulisannya.”

“Nggak kok, nggak kena tulisannya, nih,” Wiki menyodorkan dengan asal buku di tangannya, belum sempat aku melihat, ia sudah menariknya lagi. Aku tidak protes. Toh, sesampainya di rumah, aku malah sering mendapati diriku tersenyum-senyum kecil saat membolak-balik halaman demi halaman buku itu. Wiki sering kali menggambar kartun imut di sana, kadang ia juga menuliskan namanya dan namaku dengan font yang sepertinya ia ciptakan sendiri. Dan tanpa kusengaja, hal itu kadang menjadi pembangkit moodku dalam berimajinasi.

Dari sana, tokoh Aaron, Kaito, dan Kara akhirnya lahir ke muka bumi. Novel fantasi pertama yang bisa Ara selesaikan berkat bantuan imajinasi dan dorongan dari Wiki. Meskipun kenyataannya novel dengan ilustrasi komik itu tidak begitu laris dipasaran seperti yang dikatakan Wiki. Tapi tetap saja, Ara bersyukur pernah menyelesaikan karyanya itu.

Wiki ikut lumayan banyak lomba comic strip dan fanart di acara festival kampus dan selalu saja keluar sebagai pemenang. Sampai Ara kembali menemukan info lomba menulis komik konvensional di salah satu penerbit komik terkenal. Tanpa ragu Ara mengajak Wiki untuk ikutan.

“Karena leana tuh anaknya songong, alisnya tebel dan tegas gitu, loh. Terus rambutnya di sisir ke belakang, rapi gitu,” aku membayangkan bentukan tokoh leana yang sedang kudeskripsikan sambil memandang udara kosong di depanku. Ponsel Wiki merekam perkataanku. Wiki yang duduk di depanku juga tampak hikmat mendengarkan, yang kutebak di kepalanya juga tengah terlukis sosok leana versinya.

“Sedangkan leo, karena dia seniman, gimana kalau dia punya rambut ikal yang agak bergelombang, dan agak panjang, gitu,” lanjutku sembari menunjuk rambutku sendiri yang sudah mulai agak panjang jauh melewati bahu. Wiki mengamati dan manggut-manggut.

“Alya gimana?”

“Alya… kayak aku aja gimana?” aku menunjuk diriku lagi sambil menaikkan sebelah alis.

“No! Alya bakal kita buat jadi perebut pacar orang, ya jangan dimiripin sama kamu lah visualnya,”

Lihat selengkapnya