“Jadi dia duluan yang nawarin ke elo, Ra?” Kaila mencondongkan kepalanya ke depan seolah kalau di jarak normal dia akan melewatkan ekspresi berharga Ara.
Ara hanya mengangguk kecil. Kaila mundur sambil menutup mulutnya dengan dramatis.
“Wah! Lo kayak Seokjin berarti! Perekrutan di jalan!”
Ara mengerutkan kening, “jaman sekarang banyak kali yang dihubungi penerbit gitu. Novel-novel sekarang aja banyakan dari Wahpad, kan.”
“Ya tapi gue nggak nyangka salah satu dari orang beruntung itu ternyata temen deket gue!” Kaila menoyor pundak Ara, membuat Ara yang sudah hendak memasukkan potongan piza ke mulutnya jadi mereng dan berakhir mengukir olesan sambal merah di pipi Ara.
Ara melirik Kaila tajam.
“Kalem, kalem, nih ada tisu nih,” Kaila menyodorkan tisu dengan cepat ke Ara. Ara melap pipinya dengan pikiran yang melayang ke mana-mana. Ia tahu seharusnya ia senang bukan main. Apalagi Renatrisa yang katanya dipanggil Tris itu ternyata masih berminat meski sudah lewat sebulan. Ya, dia memang sempat senang. Tapi di perjalanan ke bangtan kafe tadi, sebuah pemikiran horor merasuk ke dalam benaknya. Membuat Ara takut kalau lagi-lagi firasat buruknya ini akan menjadi kenyataan.
“Duh nggak sabar nih pengen baca komik lo, Ra. Nanti bakal tayang di platform apa? LINE Webtoon? Ciayo? Tapas?” cecar Kaila membuat Ara heran, tumben sekali sohibnya itu tidak peka sama sekali dengan kebetean Ara—atau jangan-jangan dia memang hanya sedang berpura-pura tidak peka karena sudah excited duluan.
“Katanya sih di LINE Webtoon. Aku baru ngobrol dikit loh, editornya tuh pengen nanti aja cerita panjang lebarnya pas ketemuan katanya, sekalian bahan kontrak dan lain-lain.”
“Tapi gimana? Naskah lo udah dikasih kritik sama dia? Seinget gue Obliviate emang bagus sih, gue aja heran kenapa lo nggak nulis lanjutannya.”
“Baru revisi secara garis besar.”
“Terus minggu depan lo bakal ketemuan sama dia? Sama komikusnya juga?”
Ara mengangguk. “Untung kak Tris juga tahu Zoe café, seenggaknya tempatnya familiar lah buat aku jadi nggak perlu grogi amat.”
“Waaa! Ajakin gue dong, udah lama nggak ke Zoe Café nih!”
“Apaan sih, kamu bukannya sibuk?”
Kaila nyengir kuda. “Bercanda. Lagian lo kenapa sih dari tadi kaku banget kek sapu ijuk?”
Ara tidak langsung menjawab. Dia pun bingung dengan dirinya. Ada perasaan tenang sebelum badai yang Ara rasakan. Ara tahu ia tidak seharusnya menghubung-hubungkan begini, tapi baru minggu sebelumnya Ara memimpikan Wiki. Dan kemudian minggu berikutnya Ara menemukan pesan itu. Meski menurut timeline sebenarnya, pesan itu masuk duluan baru kemudian Ara memimpikan Wiki, tapi—
Kenapa harus komik? Kenapa harus satu dunia itu, yang notabene pernah sangat lekat dengan seorang Wiki?
Ara menutup wajahnya dengan kedua tangan, “oh my God…” gumam Ara dengan suara teredam tangannya.
“Tuh kan, pasti ada yang nggak beres, nih!” suara Kaila meninggi.
Ara tak menjawab.
“Lu kenapa dah? Kek habis mimpiin mantan,” perumpamaan yang lagi-lagi keluar dari mulut Kaila meski ia tampak acuh tak acuh. Tapi justru ucapannya itu membuat Ara membelalak dan menatap Kaila takjub. Punggung Ara menegang. Ara kadang heran mengapa Kaila tidak menjadi polisi, jaksa, atau hakim saja. Dia sangat ahli membaca pikiran orang lain. Kalau Kaila berkarir sebagai penegak hukum, para kriminal pasti akan takut diinterogasi olehnya.
Melihat respon Ara, Kaila sontak ikut membelalak.
“Lo mimpiin dia beneran? Ewh!” ekspresi jijik jelas-jelas terpampang di wajah Kaila. Ara berterima kasih dalam hati atas kejujuran Kaila itu. Ia juga merasa nanar dan jijik pada dirinya sendiri.
“Ya itu mimpi sambil lalu doang kok!” suara Ara melengking dengan dahsyat melebihi yang ia niatkan.
“Kok panik gitu? Emang lo sama dia ngapain di mimpi itu, Ra?” Kaila memajukan kepalanya sambil menaham senyum, bersiap mendengarkan bahan ledekan yang pasti akan ia gunakan selama setahun ke depan. Ara berharap Kaila tidak dapat melihat semu merah di pipinya. Sebab di mimpi itu, bukan Wiki yang ngapa-ngapain Ara, tapi malah dia yang ngapa-ngapain Wiki.
“Aku nggak mau inget. Hapus, hapus, hapus,” Ara menggerak-gerakkan tangannya di atas kepala seolah beneran menghapus awan-awan khayalannya di sana. Mau tak mau Kaila terkikik melihat tingkah Ara itu.
“Percuma lo hapus di sono tapi nggak dihapus di hati,” Kaila menunjuk dada Ara, lalu dengan cepat ia mengambil potongan piza terakhir di piring dan mengunyahnya dengan hikmat seolah kata-katanya barusan bukanlah tusukan yang bisa menembus dada sahabatnya. Satu kunyahan Kaila malah membuatnya menatap piza di tangannya dengan tatapan tak percaya,
“duh, kok gue jago banget ya bikin pizanya? Apa gue ke itali aja ya daripada ke korsel? Tapi gue lebih ngerti bahasa korea sih daripada bahasa itali,” tanya Kaila lebih ke piza di tangannya. Kaila manggut-manggut sambil terus mengunyah dan memuja masakannya sendiri.
Ara mengepalkan tangan. Ingin sekali ia menyumbat mulut Kaila dengan sepotong piza utuh agar mulutnya itu bisa diam sebentar dan berhenti menembaki Ara dengan panah-panah kenyataan yang begitu pahit. Ucapan Kaila memang ada benarnya—tidak, justru sepenuhnya benar.
Karena tidak nyaman curhat ke teman SMAnya yang kenal langsung dengan Wiki, Ara lebih sering curhat blak-blakan soal perasaannya ke Kaila—baik soal Wiki, crush-crush yang hanya lewat sampai orang-orang yang mendekati Ara saat kuliah dulu. Meski Kaila adalah teman kuliah Ara, tapi dia seolah sudah mengenal Wiki luar dalam berkat cerita Ara, bahkan mungkin Kaila lebih mengenal Wiki daripada teman-teman SMA Ara yang lain. Teman-teman SMA Ara selalu menganggap Ara sudah move on, sebab Ara memang bertingkah seperti itu. Hanya pada Kaila, Ara berani mengakui bahwa dia sebenarnya belum bisa melupakan Wiki.
“Aku kenapa sih, Kai? Aku yang nggak normal, kena pelet, atau gimana deh? Kok bisa dihantui sama dia mulu?”
“Bentar, bentar, kok kedengarannya jadi kayak lo nyalahin dia, sih,” Kaila menatap Ara dengan kening berkerut, “Ini kan murni lo nya aja yang susah move on.”
BOOM!
Bom lain baru saja mengenai Ara lagi-lagi tepat di dadanya.
“Tapi mantan aku sebelum dia bisa aku lupain dengan cepat,” sekali-sekali, Ara ingin mencoba mematahkan kata-kata Kaila. Namun, setelah kalimat itu keluar dari mulutnya, ia justru sadar fakta itu tidak akan mendukung argumennya sama sekali.
“Pas kapan? Pas SMP? yaelah itu mah level terendah di piramida asmara, Ra. Malah nggak bisa keitung pacaran deh itu. Jadi ibaratnya nih ya, si Wiki itu pacar pertama lo setelah lo ngerti secuil tentang cinta,” Kaila menjentikkan jarinya di depan wajah Ara dengan ekspresi dramatis.
Ara tak kuasa menahan rasa jijik dalam dirinya. Bulu kuduknya bahkan meremang. Ia sangat gerah jika harus membahas soal cinta-cintaan begini, bahkan dengan Kaila sekalipun. Tapi untuk kali ini, Ara ingin pembahasan ini menemukan titik terangnya, meski hanya secuil—layaknya pengetahuannya soal cinta saat SMA dulu, kalau menurut Kaila.