Ara tidak pernah menyangka hari ini akan datang. Hari di mana ia bertemu lagi dengan Wiki. Satu kejadian yang Ara sendiri bingung, apakah selama ini ia benar ingin menghindarinya atau justru menantikannya. Dulu, Ara bisa yakin 90% bahwa ia ingin menghindari Wiki. Tapi berkat hal remeh seremeh minuman dark chocolate dan gambar fay-fiyar tadi, Ara jadi bimbang. Dan pikiran itulah yang memenuhi kepalanya selama di perjalanan menyetir pulang.
Wiki. Wiki. Dan Wiki.
Nama itu berdengung di telinga Ara. Juga terbayang-bayang di benaknya. Ara harus menggeleng berkali-kali untuk mengusir pemikiran itu dari kepalanya. Ara tiba di pelataran PJM Apartment, memasuki basemen dan memarkir mobilnya dengan mulus. Sudah tidak terhitung berapa kali Ara melakukan itu setiap hari, kini seolah bukan otaknya lagi yang mengomando dirinya untuk ke kanan-kiri atau maju-mundur saat parkir, tapi murni insting dan gerak spontan dari tubuhnya lah yang menuntunnya.
Diam-diam merayap seperti cicak di lagu anak kecil itu. Begitulah rasa kagumnya pada Wiki terpacu dan seolah tinggal mengikuti intuisi, maka tanpa usaha sekalipun Ara bisa kembali mengenali rasa kagumnya itu dengan mudah.
Ara memasuki gedung apartemennya, menuju bilik lift di basemen. Ia tidak tahu lagi harus senang, kesal, atau meratapi dirinya sendiri. Semua perasaan itu menggebukinya. Lift yang terbuka dan ternyata kosong menambah kesunyian itu menjalar dan semakin menjadi.
[]
“Maksudnya apa, sih?” tanya Ara pada udara kosong sesaat setelah ia menutup pintu di belakangnya. Pertanyaan itu menggantung di udara. Bahkan hiruk pikuk lalu lintas tadi tidak bisa mengalihkan perhatian Ara. Namun saat ia melepaskan sepatu dan menaruhnya di rak serta memakai sendal rumahnya, kesunyian ikut meredam derai pertanyaan itu dalam benaknya.
Ara mengedarkan pandangan ke ruang sebesar 19 x 19 meter di hadapannya. Sinar bulan dan gedung-gedung di sekitar menembus gorden yang sedikit terbuka di ujung sana, tempat meja dan kursinya menghadap ke jendela. Sinar itu menyinari rak yang memenuhi kedua sisi ruangan dengan buku. Pintu kamarnya yang bercat putih itu tertutup rapat, menjadi satu-satunya ruang paling pribadi di unit kecilnya ini. Kebisuan yang entah mengapa memberi kedamaian tersendiri bagi Ara. Ara bergerak menyalakan lampu yang seketika memercikkan warna-warni ke seluruh penjuru ruangan. Mau tidak mau, senyum tersungging di wajah Ara begitu melihat deretan buku-buku kesayangannya di rak.
Apartemen itu meski sempit tapi tertata rapi karena Ara akhirnya bisa tinggal sendirian dan mengatur semua peralatan sesuka hatinya. Di rumahnya dulu, Ara tidak bisa melakukan itu. Seleranya selalu bertolak belakang dengan mama. Sulit sekali menemukan jalan tengah karena di kamus mama memang tidak ada jalan tengah—yang ada hanya jalannya. Jadi kalau tidak setuju, ya kamu nggak punya pilihan selain setuju.
Ara benci berdebat, sejak kecil ia sudah kenyang duluan dengan perdebatan orangtuanya yang ia curi dengar dari balik pintu kamar. Ara berhasil mendapatkan tiket kebebasan ini—tinggal jauh dari rumah dan bahkan kini ia bisa menyewa apartemen sesuai pilihannya. Kalau saat kuliah dulu, ia harus puas dengan kos-kosan kecil di dekat kampus, karena masih dibiayai mama yang bekerja sebagai dosen di salah satu universitas ternama di Jakarta. Sekarang, setelah Ara punya penghasilannya sendiri, ia bisa memilih tempat tinggal yang layak sesuai selera dan kemampuannya.
Semua berkat pengumuman penerimaan Ara di perusahaan besar di bandung sebagai karyawan tetap. Kalau bukan karena gajinya yang lumayan besar, Ara ragu mama akan mengizinkannya pergi jauh dari rumah. Kehadiran papanya juga tidak pernah membantu. Papa yang sejak Ara kecil sudah sering pergi dari rumah selama beberapa hari—Ara tahu itu bukan untuk kepentingan pekerjaannya. Papa adalah pelukis yang bekerja dari rumah, meski harus keluar kota tentu ia tidak perlu bertengkar dengan mama dulu sebelum pergi. Dan saat ia kembali, ia hanya akan memancing emosi mama dan mereka akan bertengkar lagi. Membuat Ara perlahan berpikir bahwa akan lebih baik kalau papanya tidak pernah muncul lagi.
Pergi dari jakarta juga adalah cara Ara untuk bisa melupakan Wiki. Ia tidak tahan jika harus di jakarta, nyaris setiap bepergian ia akan melewati SMA-nya yang berada di tengah kota itu. Ia tidak ingin dirinya lagi dan lagi akan teringat hal-hal kecil di bangunan sekolah itu tempat ia dan Wiki dulu lebih banyak menghabiskan waktu bersama.
Tapi ternyata, Wiki juga ke bandung. Bahkan bekerja di sini juga.
Kenapa? Kenapa orang itu harus datang lagi?
Ara benci mengakui bahwa dirinya masih merasa terganggu dengan kehadiran Wiki. Ara merasa tidak adil karena Wiki terlihat rileks. Hanya sekali saja Ara melihat senyum canggungnya, tapi setelah itu Wiki terlihat bisa santai di dekat Ara.
Bagaimana bisa? Bagaimana cara cowok itu bersikap biasa, tetap ceplas-ceplos dan jadi Wiki yang dulu? Apakah dia memang sudah benar-benar move on?
Ara mengganti baju, mencuci muka, menyikat gigi, memakai skincare malam, dan berbaring di tempat tidurnya menghadap ke langit-langit kamar. Diembuskannya lagi napas berat, entah untuk yang ke berapa kalinya hari ini. Ara berbaring ke samping, berharap ingatan tentang Wiki yang menyerangnya dari depan bisa mental dan segera menjauh. Ara menutup mata. Tapi justru dalam gelap ia terbayang kemunculan Wiki tadi yang direka ingatannya seolah itu adalah scene film. Bagaimana kini badannya sudah semakin tinggi, bahunya yang bidang, garis wajahnya yang semakin tegas. Ara merasa hina karena malah menggunakan ilmu deskripsi tokohnya untuk mendeskripsikan bagaimana tampilan Wiki yang tertinggal di benaknya. Ewh.
[]
Seluas apa sih lingkaran yang dia gambar di sekeliling aku? Bukannya aku sudah lari cukup jauh ya? Bukannya aku sudah berusaha sekuat tenaga ya? Tapi kenapa kok kayaknya nggak sampai-sampai juga di ujung lingkaran ini? Kenapa dia duluan yang pergi? Apa segitu nggak memorable-nya aku di ingatan dia?